Tim Hukumindo
Melanjutkan
kuliah sebelumnya berjudul: 'Hukum Sebagai Kaidah Dan Kebiasaan', dalam
kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Sumber-sumber
Hukum. Perlu menjadi catatan di sini, sebagai objek ilmu pengetahuan, hukum
dapat dilihat dari beragam segi, seperti sejarah, filsafat, antropologi budaya,
sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya, dan pada pembahasan ini yang dimaksud
dengan sumber-sumber hukum adalah sumber-sumber hukum dalam arti formal.
Sumber-sumber Hukum Formal
Sumber-sumber
hukum formal dimaksud adalah sebagaimana berikut:
- Undang-undang;
- Adat Dan Kebiasaan;
- Traktat;
- Yurisprudensi;
- Doktrin.[1]
A. Undang-undang
Pada
umumnya, pengertian undang-undang dibagi ke dalam dua, pertama adalah dalam
arti materil dan kedua dalam arti formil. Undang-undang dalam arti materil
adalah sesuatu keputusan Pemerintah, yang mengingat isinya disebut
undang-undang, yaitu tiap-tiap keputusan Pemerintah, yang menetapkan
peraturan-peraturan yang mengikat secara umum (dengan perkataan lain, peraturan-peraturan
hukum obyektif).[2]
Sedangkan
yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti formil ialah keputusan Pemerintah
yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul. Di
Negeri Belanda undang-undang dalam arti formil adalat tiap-tiap keputusan, yang
ditetapkan oleh Raja dan Staten-Generaal
bersama-sama.[3] Tidak jauh berbeda dengan Negara Republik Indonesia,
undang-undang adalah produk hukum yang diproduksi oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan Presiden.
B. Adat Dan Kebiasaan
Hukum
adat ialah bagian dari tata hukum Indonesia yang berasal dari adat istiadat. Adat
istiadat ialah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, merupakan tradisi
dalam masyarakat bumiputera dan yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat
bumiputera itu. Kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh anggota berbagai
persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen)
yang ada di wilayah Indonesia. Misalnya, persekutuan-persekutuan hukum orang
Batak Karo, orang Mandailing, orang Jawa Tengah, dll.[4]
Sedangkan
yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah himpunan kaidah-kaidah yang—biarpun
tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan—dalam suasana ‘werkelijkheid’ ditaati juga, karena
orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah ternyata
kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain
yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan. Dengan demikian
hukum kebiasaan itu kaidah yang, biarpun tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan, masih juga kuatnya sama dengan hukum tertulis.[5]
C. Traktat
Traktat
ialah perjanjian (persetujuan) yang diadakan antara dua atau lebih dari dua
negara. Bilamana traktat itu diadakan antara hanya dua negara, maka perjanjian adalah
suatu perjanjian bilateral; bilamana traktat itu diadakan antara lebih dari dua
negara, maka perjanjian adalah suatu perjanjian multilateral. Bilamana suatu
perjanjian multilateral memberi kesempatan kepada negara-negara yang pada
permulaan tidak turut mengadakannya, kemudian juga menjadi pihaknya, maka
perjanjian adalah suatu perjanjian kolektif atau terbuka. Sebuah contoh tentang
suatu perjanjian kolektif adalah Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa yang
diadakan di San Francisco pada tahun 1945. Traktat memuat hukum yang berlaku di
wilayah pihaknya.[6]
D. Yurisprudensi
Keputusan
seseorang hakim, yang memuat suatu peraturan sendiri, menjadi dasar keputusan
seorang hakim lain, maka keputusan yang disebut pertama itu menjadi sumber
hukum. Keputusan tersebut adalahsumber hukum bagi terutama peradilan (rechtspraak) dan administrasi negara
(tatausaha negara), yaitu bersifat kaidah bagi peradilan dan administrasi
negara itu. Apabila kemudian ternyata bahwa keputusan yang disebut pertama itu
juga mendapat perhatian dari pergaulan umum, maka lama-kelamaan keputusan
tersebut menjadi sumber hukum bagi pergaulan umum, yaitu sumber yang memuat
suatu kaidah yang oleh umum diterim sebagai hukum (menjadi suatu ‘behorensorde’).[7]
E. Doktrin
Anggapan
seorang ahli hukum (yang paling cakap) mempunyai kekuasaan. Mereka yang telah
membaca yurisprudensi, maka mengetahui bahwa hakim itu sering berpegang pada
anggapan seorang sarjana hukum atau beberapa sarjana hukum yang terkenal
namanya. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusan-keputusannya,
maka hakim itu sering menyebut anggapan seorang ahli tentang soal yang harus
diselesaikannya. Apalagi kalau ahli hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Anggapan
itu menjadi dasar keputusan tersebut.[8]
_________________________________
|
1. “Pengantar
Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku
Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam),
1961, Hal.: 135.
2. “Pengantar
Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan
Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 80.
3. Van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 80.
4. E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 155.
5. E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 166-167.
6. E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 185.
7. E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 189.
8. E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 195.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar