Tim Hukumindo
Telah
kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pertumbuhan dan Batasan Sifat Melawan Hukum Materiil’, pada kesempatan ini akan dibahas
mengenai tempat dan waktu terjadinya delik.
Di
mana tempatnya dan kapan terjadinya delik itu dilakukan, dalam kenyataan tidak
begitu mudah untuk menetapkan, mengingat undang-undang tidak memberikan
ketentuan, yang berarti diserahkan kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan
keputusan hakim dalam yurisprudensi. Sebagaimana lazimnya apabila tidak ada
ketentuan yang tegas, hal itu akan menimbulkan berbagai pandangan di dalam
doktrin. Dalam kepustakaan mengenai tempat dan waktu terjadinya delik dinamakan
locus delicti dan tempus delicti.[1]
Ajaran
tentang locus delicti dan tempus delicti, akan diselesaikan dengan cara yang
sama, namun cara itu dapat berbeda karena berlainan tolak pangkal berpikirnya. Van Bemmelen memulai dengan sudut
pandangan bahwa delik itu pada dasarnya terdiri atas kelakuan (gedraging), seperti halnya mengambil
dalam kejahatan pencurian atau merampas nyawa dalam kejahatan pembunuhan, akan
tetapi kelakuan itu kadang-kadang dibantu dengan sebuah alat (instrumen) agar orang yang berbuat itu
dapat bekerja dengan baik, dan kadang-kadang juga kelakuan itu mempunyai akibat
(gevolgen) yang terjadi di lain
tempat (atau waktu) daripada tempat atau waktu kelakuan. Pada umumnya locus dan tempus delicti berpedoman dimana tempat dan waktu kelakuan secara materiele (materiele gedraging) terjadi sesuai dengan rumusan delik.[2]
Pada
dasarnya locus dan tempus delicti berpedoman menurut
kelakuan yang secara materiil terjadi, akan tetapi adakalanya terjadi keadaan
yang menyertai untuk diperluas dengan “alat/instrumen” dan atau “akibat/gevolgen”,
sehingga dapat disimpulkan hanya diakui tiga ajaran, yaitu:
- Yang mendasarkan di mana perbuatan terjadi yang dilakukan oleh seseorang;
- Yang mendasarkan di mana alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan;
- Yang mendasarkan atas di mana akibat yang langsung menimbulkan kejadian dan di mana akibat itu ditentukan atau telah selesai oleh delik.
Namun
dari ketiga ajaran itu, dapat digabungkan menjadi bersifat kompromi, yang
dinamakan “theorie van de meervoudige
plaats en tijds”.[3]
Kegunaan
teori penentuan locus delicti dan tempus delicti adalah untuk memecahkan
persoalan tentang berlakunya peraturan hukum pidana atau kewenangan instansi
untuk menuntut dan mengadili. Locus
delicti mempunyai arti penting bagi berlakunya KUHP berhubung dengan Pasal
2-8, dan kekuasaan instansi kejaksaan untuk menuntut maupun pengadilan yang
mengadili. Tempus delicti mempunyai
arti penting bagi lex temporis delicti maupun
hukum transitor, dan mengenai keadaan
jiwa atau umur dari terdakwa, serta berlakunya tenggang daluwarsa.[4]
_________________________________
|
1.“Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 121.
2. Ibid.
Hal.: 122.
3. Ibid.
Hal.: 122.
4. Ibid.
Hal.: 123.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar