Senin, 08 April 2019

Ancaman Hukum Menyelenggarakan Perayaan Hajatan yang Mengganggu Jalan

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Di bumi pertiwi ini, salah satu fenomena yang kerap kali mudah dijumpai pada akhir pekan adalah 'hajatan', atau beragam istilah lain yang menunjuk pada hal yang sama seperti 'jagung manten' kalau di Jogja, atau istilah lain seperti 'kawinan'. Biasanya pada hari Sabtu dan Minggu di berbagai tempat mudah dijumpai penyelengaraan hajatan. Pada umumnya digelar untuk resepsi perkawinan, namun ada juga untuk gelaran sunatan serta memperingati kehamilan usia tujuh bulan. Secara budaya, hajatan bisa diartikan sebuah manifestasi rasa syukur atas sebuah tahapan berkehidupan, melalui semacam mekanisme perayaan.       

Perayaan sebuah hajatan tentu kerap kali mempunyai konsekwensi energi dan ruang. Pada masyarakat urban yang berkecukupan, penyelenggaraannya sudah well organize, bahkan dengan budget yang tentu di atas rata-rata dan di tempat-tempat yang representatif seperti Gedung atau Balai. 

Sedangkan bagi masyarakat yang secara ekonomi masih menengah ke bawah, meskipun dalam kondisi tertentu tidak selalu, penyelenggaraannya kerap kali menyesuaikan dengan kondisi yang ada, termasuk mengenai tempat. Tempat yang dipilih biasanya adalah rumah, umumnya rumah mempelai wanita. Masalah terjadi ketika tempat hajatan dekat dengan jalan sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas, atau bahkan dalam realitanya di lapangan, perayaan hajatan dimaksud justru menggunakan jalan sebagai area penerimaan tamu dan sebagai lahan parkir kendaraan, bahkan yang lebih ekstrim adalah jalannya ditutup secara sepihak tanpa izin sehingga pelintas harus memutar jauh.    

Ancaman Merintangi Jalan Umum dan Terganggunya Fungsi Jalan

Mengacu pada norma hukum positif yang berlaku, setidaknya ada dua aturan yang berhubungan lansung terkait hal dimaksud yang mengancam jika jalan umum dirintangi atau jika fungsi dari sebuah jalan terganggu, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan.

Ketentuan pertama adalah Pasal 192 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja membinasakan, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi, atau merusakkan sesuatu pekerjaan untuk lalu lintas bagi umum, merintangi sesuatu jalan umum, baik jalan didarat maupun jalan di air, atau merintangi sesuatu tindakan yang diambil untuk keselamatan bagi pekerjaan atau jalan yang serupa itu dihukum: 1e. Penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan lalu lintas. 2e. Penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika perbuatan itu dapat mendatangkan bahaya bagi keselamatan lalu lintas dan ada orang mati lantaran itu."

Ketentuan berikutnya adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan. Pasal 11 angka 2 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mengatur mengenai "ruang manfaat jalan" adalah: meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan ambang pengamannya. Pasal 11 angka 3 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mengatur mengenai "ruang milik jalan" adalah: meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Dan Pasal 11 angka 4 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, mengatur mengenai "ruang pengawasan jalan" adalah: merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: (1). Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, (2). Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, dan (3). Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan.

Pasal 63 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan berbunyi sebagai berikut: (1). Setiap orang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp. 1. 500.000.000,- (Satu miliar lima ratus juta Rupiah), (2). 

Setiap orang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah), dan (3). Setiap orang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua ratus juta Rupiah).

Pasal 64 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan berbunyi sebagai berikut: (1). Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (Tiga ratus juta Rupiah), (2). 

Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) hari atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta Rupiah) dan (3). Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 12 (dua belas) hari atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,- (Seratus dua puluh juta Rupiah).

Secara umum dapat dipahami bahwa ketentuan Pasal 63 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan adalah mengatur ancaman terkait kesengajaan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan, sedangkan Pasal 64 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan adalah terkait dengan ancaman atas kealpaan. Dari dua ketentuan hukum positif di atas, menurut penulis tidak ada alasan yang sifatnya normatif, karena aturan hukum tertulisnya telah tersedia.

Pentingnya Sosialisasi  

Jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 192 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 63 dan Pasal 64 Undang-undang Nomor: 38 Tahun 2004 tentang Jalan adalah mengatur ancaman terkait merintangi sesuatu jalan umum, kesengajaan dan kealpaan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dengan fenomena perayaan sebuah hajatan yang kerap kali bertentangan dengan aturan hukum dimaksud, maka resiko pelanggaran atas aturan hukum dimaksud cukup terbuka lebar.

Potensi pelanggaran hukum atas perayaan sebuah hajatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan atau merintangi sesuatu jalan umum yang cukup terbuka lebar tadi, belum diimbangi oleh sosialisasi yang memadai tentang adanya aturan hukum dimaksud. Bahkan secara kasat mata, kerugian masyarakat secara luas atas akibat terganggunya fungsi jalan dan lebih jauh mungkin perintangan sesuatu jalan umum dengan adanya perayaan acara hajatan dimaksud telah terjadi. 

Hal yang paling sederhana serta berkaitan langsung adalah kerugian materiil berupa bertambahnya bahan bakar dan waktu yang harus dikeluarkan seorang pengendara kendaraan bermotor ketika harus memutar atau terjebak kemacetan akibat dari perayaan sebuah hajatan.

 Hanya saja dalam masyarakat kita, seringkali hukum dicari setelah akibat-akibat terburuk muncul. Artinya hukum dicari ketika akibat dari suatu perbuatan sudah pada tataran 'mendatangkan bahaya' misalnya dengan timbulnya korban jiwa. Padahal, sisi hukum yang lain juga menampilkan fungsi preventif guna mencegah hal-hal negatif yang mungkin terjadi. 

Praktiknya, penggunaan balai desa/kelurahan sebagai tempat perayaan hajatan masih relatif kecil sebagai salah satu solusi guna meminimalisasi dampak negatif dari kegiatan dimaksud. Hal ini mengandaikan pentingnya sosialisasi atas aturan-aturan hukum terkait oleh para pemangku kepentingan, misalnya aparat Kepolisian dan aparat Pemerintahan. Masyarakat harus diedukasi agar tindakan-tindakannya yang berakibat pada orang lain tidak menimbulkan kerugian, terlebih lagi mendatangkan bahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...