(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Negara dan Ancaman Extra Ordinary Crime
Kejahatan terorisme secara umum bermaksud menjungkalkan idiologi negara umumnya diasosiasikan dengan cara-cara kekerasan, seraya membentuk negara baru sebagai tujuan akhirnya, sesuai dengan idiologi para teroris.
Sasaran utama kejahatan ini adalah institusi-institusi negara, secara lebih khusus seringkali menyasar institusi Polri karena dianggap sebagai barisan terdepan dalam menghalangi tujuan-tujuan para pelaku teroris untuk mendirikan negara baru. Terorisme adalah kejahatan yang secara gamblang menyerang institusi negara yang sumbernya berasal dari luar.
Berbeda dengan kejahatan terorisme, kejahatan korupsi justru berasal dari faktor eksternal, para pelaku umumnya justru dari para penyelenggara negara sendiri. Secara sadar atau tidak, sasaran para koruptor sebenarnya adalah negara juga. Meskipun demikian negara dalam artian yang berbeda dengan perspektif para pelaku terorisme dalam kejahatan teroris.
Negara dalam kejahatan korupsi diartikan secara lebih sempit sebagai sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh otoritas kekuasaan suatu bangsa yang bisa diambil oleh para koruptor dengan cara-cara melawan hukum. Entah melalui suap menyuap, penyalahgunaan kekuasaan, maupun pengaturan tender-tender proyek dan mega proyek pemerintah, serta banyak modus lainnya.
Extra ordinary crime yang terakhir dimaksud di sini adalah kejahatan narkotika. Terdapat kesamaan antara kejahatan narkotika dengan kejahatan terorisme, keduanya sama-sama merupakan kejahatan yang bersumber dari ancaman eksternal yang menyasar negara. Negara dalam konteks ini bukan negara dalam artian institusi-institusinya, namun para pemegang saham mayoritasnya yaitu rakyat.
Penyataan bahwa pada umumnya ancaman kejahatan narkotika adalah berasal dari luar (faktor eksternal) agaknya harus mulai kita pertanyakan. Menurut penulis, terdapat kecenderungan bahwa para pelaku kejahatan narkotika sudah mulai mengerti akan arti pentingnya menjadi bagian dari penyelenggara negara untuk melancarkan bisnis haramnya. Selanjutnya, tulisan ini akan lebih berfokus pada isu kejahatan yang disebutkan terakhir.
Kasus Kejahatan Narkotika yang Melibatkan Penyelenggara Negara Sebagai Bandar
Kasus yang tidak terlalu lama berlalu, tahun 2017, adalah kisah mantan Wakil Ketua DPRD Bali bernama Jero Gede Komang Swastika alias Mang Jangol (41). Mantan politisi Partai Gerindra ini ternyata mempunyai sisi gelap dengan menjadi bandar narkoba. Dari rumahnya, Polisi menemukan dan kemudian menyita dokumen transaksi narkoba jenis sabu, senjata api, senjata tajam dan uang hasil kejahatan. Bahkan rumahnya disebut digunakan untuk melakukan transaksi dan pemakaian langsung ditempat.
Kasus yang masih hangat adalah mantan anggota DPRD Langkat dan mantan kader Partai Nasdem bernama Ibrahim Hasan alias Hongkong (45). Barang bukti yang dirilis BNN adalah lebih dari 100 Kilogram narkotika jenis sabu. Patut dicatat bahwa ini yang terungkap saja, tidak termasuk di luar itu. Ibrahim ditangkap bersama 10 tersangka lainnya yang diduga menjadi rekan kerja jaringan internasional sindikat narkoba.
Dari kedua kasus di atas, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keduanya adalah mantan penyelenggara negara, mantan pejabat publik, yaitu mantan Wakil Ketua DPRD dan Anggota DPRD yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai kebaikan atas nama rakyat. Dan yang ditakutkan dari kasus ini adalah hanya fenomena gunung es, dan kita telah tertinggal mengikuti modus para pelaku kejahatan narkotika.
Pada level bandar, para pelaku kejahatan narkotika adalah orang-orang pintar yang memahami dan bahkan telah menginfiltrasi negara untuk turut berkuasa dengan tujuan-tujuan akhir melawan hukum. Pada level ini, akan sulit mengasosiasikan para pelaku kejahatan narkotika sebagai penjahat kelas teri, sebaliknya ia adalah kejahatan kerah putih yang terorganisir.
Memahami Pemikiran Bandar Narkotika dalam Menjalankan Bisnisnya
Secara ekonomis, bisnis haram narkotika adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Saking menguntungkannya, hahkan ada adagium bahwa bisnis ini sama dengan bisnis 'emas putih'. Adagium yang sebanding dengan bisnis 'emas hitam' yang bersumber dari minyak.
Mengelola sebuah bisnis haram beromset miliaran bahkan triliunan rupiah tentu bukan pekerjaan gampang, oleh karenanya kejahatan narkotika tidak dapat lagi diasosiasikan dengan kejahatan jalanan kelas teri. Kejahatan narkotika sudah mulai terlihat sebagai bisnis haram dengan omset menggiurkan yang dikelola secara serius berdasarkan prinsip mafia yang pemikiran-pemikirannya dapat dirunut pada ajaran atau tokoh-tokoh dunia hitam tertentu.
Melacak pemikiran tentang kejahatan idealnya tentu harus belajar ilmu kriminologi. Teori kriminologi klasik seperti pemikiran Cesare Lombroso (1835-1909) yang menekankan pada aspek fisik para pelaku kriminal agaknya untuk saat ini hanya dapat dijadikan sebagai salah satu referensi saja dalam memahami kejahatan. Dalam konteks modern, sepertinya pemikiran Mario Puzo (1920-1999) dan tokoh dunia hitam Pablo Escobar (1949-1993) lebih mumpuni untuk memahami pemikiran para mafia narkoba dalam menjalankan bisnis hitamnya.
Mario Puzo tersohor dengan salah satu novel fiksi kriminalnya yang berjudul 'The Godfather' (1969), yang kemudian difilmkan oleh Hollywood secara trilogy (1972-1974-1990) dengan judul sama oleh aktor utama Marlon Brando dan Al Pacino. Novel ini sering menjadi rujukan klasik cerita film genre gangster, yang pada intinya bercerita tentang perang para mafia keturunan Italia di Amerika yang mempertahankan dinasti bisnis hitam keluarganya.
Bahkan untuk filmnya seringkali disematkan sebagai film tersukses sepanjang massa, dan meraih sederet penghargaan bergengsi. Dalam novel maupun film ini banyak prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang kerap direplikasi oleh para pengikutnya dalam menjalankan dan melanggengkan kekuasaan bisnisnya. Termasuk ketika bisnisnya bersinggungan dengan masalah-masalah seperti kompetitor bisnis, hukum, polisi, politisi, pers, pengkaderan serta suksesi kepemimpinan dan lain-lain. Bahkan secara satire dapat diartikan sebagai panduan nilai dalam mengarungi kehidupan yang keras di dunia ini.
Pablo Escobar adalah seorang drugs lord kelahiran Kolombia. Sebagaimana dikutip situs Wikipedia, pada masa jayanya, kartel Pablo Escobar (Kartel Medellin) diperkirakan menyediakan 80% dari kokain yang diseludupkan ke Amerika Serikat. Diantara film buatan Hollywood yang memuat kisah Pablo Escobar adalah 'Escobar: Paradise Lost' (2014), 'The Infiltrator' (2016), dan 'Loving Pablo' (2017).
Hal yang penting kaitannya dalam tulisan ini adalah bahwa pada tahun 1982, Escobar terpilih sebagai anggota alternatif dari Kamar Perwakilan Kolombia sebagai bagian dari Partai Liberal Kolombia. Melalui ini ia menjadi bertanggungjawab dalam pembangunan rumah sakit, dan gereja-gereja di Kolombia barat, yang kemudian memberinya popularitas dalam Gereja Katolik Roma lokal, serta seolah menjadikannya sebagai local hero layaknya Robin Hood pada daerah yang sering dikunjunginya.
Bahkan Pablo Escobar terkenal akan salah satu kutipannya yaitu ilmu dasar penyeludupan narkotika adalah sangat sederhana, yaitu suap. Dengan kata lain, Pablo Escobar memahami bahwa dalam menjalankan bisnisnya, masuk ke dalam penyelenggaraan negara telah menjadi salah satu kebutuhan dalam menjalankan bisnisnya. Masuk ke dalam penyelenggaraan negara oleh pelaku kejahatan narkotika di Indonesia adalah kecenderungan baru yang harus diwaspadai, ini memberikannya pemahaman dan akses pada kekuasaan bagi para pelaku kejahatan.
Akibat Kegagalan Negara dalam Menanggulangi Kejahatan Narkotika
Negara kita sudah sadar betul akan bahaya kejahatan narkotika. Bahkan seringkali diberitakan bahwa Indonesia telah menjadi pangsa pasar potensial narkotika internasional. Bahkan negara kita telah memasukkan kejahatan narkotika dalam kategori salah satu kejahatan luar biasa, yang penanggulangannya tidak dapat lagi dilakukan secara biasa saja. Negara sudah darurat kejahatan narkotika. 'Perang' melawan kejahatan narkotika menjadi tidak terelakan.
Kegagalan kita dalam menanggulangi kejahatan narkotika akan mengakibatkan ancaman sangat serius bagi eksistensi negara, taruhannya adalah hilangnya generasi penerus bangsa. Kekalahan negara melawan kejahatan narkotika akan menjerumuskan kita dalam kategori terburuk sebagai narco-state.
Kartel-kartel narkoba telah menyusup ke dalam institusi-institusi negara, 'zombie-zombie' penyalahguna narkoba berkeliaran dalam kantung-kantung daerah kumuh. Dalam kategori ini, bayang-bayang extra judicial killing seperti yang terjadi di Filipina untuk menanggulangi kejahatan narkotika adalah konsekwensi terburuk yang dapat dilakukan oleh negara. Yang tentu saja tidak ramah Hak Asasi Manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar