Senin, 08 April 2019

Problematika dalam Proses Pengangkatan dan Penyumpahan Advokat di Indonesia

(iStock)

Oleh: 
Tim Hukumindo

Baru-baru ini kembali terjadi polemik dalam dunia advokat, di mana salah satu organisasi profesi ini bermaksud mengkonversi masa bakti pensiunan penegak hukum dan militer menjadi masa magang dalam profesi advokat. 

Dengan kata lain dapat dimaknai bahwa seseorang yang hendak menjadi advokat dengan latar belakang pensiunan penegak hukum dan militer tidak perlu menjalani proses magang profesi advokat. 

Menurut hemat penulis, hal ini tentu menjadi masalah, namun realitanya adalah bukan satu-satunya masalah yang timbul dalam proses pengangkatan dan penyumpahan advokat, bahkan setiap tahapannya tidak luput dari problematika tersendiri.

Dalam dunia hukum, dibandingkan dengan profesi yang lain misalnya Notaris, sepertinya profesi Advokat ini lebih eye catching, setidaknya pada masa kontemporer di mana dengan bantuan media menjadikan citra profesi ini jauh dari kesan sebuah profesi serius dan dingin. 

Mari sejenak kita tinggalkan kesan yang didapat dari jauh dan menyelam bersama seraya melihat-lihat secara lebih dekat tahapan-tahapan yang harus dilalui agar seseorang dapat menyandang profesi yang satu ini.

Sebagai sebuah profesi, tentu mempunyai tangga-tangga yang harus ditapaki hingga akhirnya bisa menjalankan profesi ini seutuhnya. Masalahnya adalah, tidak setiap tangga yang harus ditapaki oleh seorang advokat sudah merupakan tangga steady kokoh yang terbukti dapat melahirkan advokat paripurna. 

Tahapan-tahapan yang harus dilalui ketika seseorang ingin menjadi Advokat tidak lepas dari kondisi-kondisi yang tidak ideal. Setidaknya saat ini, tahapan-tahapan dimaksud adalah penuh bolong disana-sini dan menjadi kewajiban bagi yang peduli untuk menambalnya.

Sejak tahun 2003, profesi Advokat mempunyai landasan hukum melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (Undang-undang Advokat), di dalamnya mengatur bahwa untuk dapat diangkat menjadi Advokat mensyaratkan agar terlebih dahulu mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

Kemudian lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) dan magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat "Magang", hingga akhirnya berhak untuk diangkat dan disumpah menjadi Advokat.

Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Advokat berbunyi sebagai berikut: "Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat".

Yang kerap menjadi masalah adalah pelaksanaan pendidikan profesi advokat dilaksanakan secara singkat, bahkan kilat. Jangka waktu pelaksanaan yang 'dipadatkan' seringkali ditemui dan dengan metode transfer pengetahuan yang terbilang mandiri, kerap kali pemateri hanya menerangkan orientasi suatu materi pembelajaran saja, selebihnya calon advokat berusaha mendalami secara sendiri dibantu dengan setia oleh lembar-lembar photo copy makalah yang diberikan. 

Bisa ditebak, praktik demikian kadangkala hanya mengedepankan dampak ekonomi dari kejar setoran penyelenggara saja, yang memang biaya pendidikannya tergolong tidak murah, tanpa memikirkan lebih jauh mengenai peningkatan kualitas keilmuan calon advokat.

Hal sebagaimana tersebut di atas tentu bukan satu-satunya masalah terkait pendidikan khusus profesi ini, kurikulum dan ketimpangan pemateri antara daerah satu dengan yang lainnya juga kerap ditemui. 

Bahkan sepengalaman penulis, kerap kali pemateri bukan dari latar belakang advokat, meskipun mungkin maksudnya adalah baik, namun menurut hemat penulis seyogianya pendidikan disampaikan oleh pemateri dengan kompetensi dan kapasitas profesi advokat, bukan yang lain.

Ujian Profesi Advokat (UPA)

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Advokat mengatur bahwa salah satu syarat untuk diangkat menjadi Advokat adalah lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat. Ujian sedianya adalah tolok ukur dalam menilai kompetensi seorang calon advokat. 

Kompetensi dalam bidang apa? Kompetensi dalam bidang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum yang berkaitan langsung dengan profesi advokat. Diantaranya dapat dirujuk secara sederhana pada bidang hukum acara, baik hukum acara perdata, pidana dan lainnya.

Pada rentang waktu yang penulis lalui, dari sisi materi pengujian sudah cukup baik dan relevan dengan konteks pekerjaan yang nantinya akan dilakukan, meskipun hal ini tentu saja terbatas pada bekal secara teori. 

Dan kadang kala hal ini saja tidak cukup. Hanya saja, yang menjadi perhatian penulis saat ini adalah menurunnya passing grade untuk kelulusan calon advokat. Bahkan waktu sebelum penulis mengikuti ujian ini, lulus UPA adalah perihal yang tergolong sulit, bahkan beberapa kolega sampai dua atau tiga kali mengikuti UPA baru kemudian lulus. Dibutuhkan keseriusan proses belajar untuk melaluinya. 

Beda dengan kondisi saat ini, konon dalam hal ujian tertulis, tidak lagi terlalu dipermasalahkan kesalahan antara membuat gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan hukum, padahal dalam dunia praktik hal ini tentu saja sangat penting menyangkut analisa masalah hukum yang akan ditangani.

Lebih mudahnya perihal ujian profesi advokat ini ditengarai terjadi sebagai akibat dari perebutan massa calon advokat setelah terjadinya perpecahan organisasi advokat yang realitanya kembali menjadi 'multi bar'. 

Kondisi ini menjadikan lulus ujian advokat menjadi lebih mudah, namun kualitas lulusan juga menjadi menurun kompetensi keilmuannya. 

Akumulasi kerugian yang harus ditanggung di hilir adalah rendahnya kompetensi keilmuan seorang advokat yang harus ditanggung klien. Belum lagi permasalahan bahwa di luar organisasi yang penulis ikuti, sebut saja organisasi advokat 'X', justru menerapkan kebijakan 'ujian' yang sangat jauh berbeda.

Magang

Salah satu ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Advokat juga mensyaratkan magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat. 

Idealnya magang dimaksud adalah sebagai 'pra kondisi' melihat dan mengalami secara langsung tugas-tugas dari seorang advokat dalam menjalankan profesinya. Menurut hemat penulis magang ini sederhana sana, yaitu upaya mereplikasi dalam konteks yang baik dan benar dari perspektif hukum atas sebuah profesi yang kelak dijalankannya.

Adapun permasalahan yang kemudian timbul saat ini, seperti diskresi atas penafsiran magang oleh sebuah organisasi tertentu, tentu di luar kewajaran. Mari kita umpamakan, seorang yang belajar tekun selama dua tahun berturut-turut untuk membuat mie ayam, setidaknya setelah dua tahun mendekati dan tahu betul akan tata cara membuat mie ayam. 

Meskipun tetangganya setiap hari selama sepuluh tahun sudah ahli membuat bakso, tentu saja bekal ilmu membuat bakso tidak dapat dijadikan alasan untuk kemudian seseorang telah kompeten membuat mie ayam. Keduanya adalah menghasilkan hal yang berbeda, meskipun jika ditarik-tarik dan dipaksakan ada saja yang mengklaim persamaannya.

Permasalahan yang sudah lama dan menjadi 'gunung es' dalam konteks magang ini adalah 'magang KTP', magang yang hanya sekedar memenuhi salah satu syarat administrasi pelantikan advokat. 

Bisa ditanyakan kepada ketua-ketua organisasi Advokat versi manapun, tentu kalau jujur, ia tidak akan bisa menampik. Bisa dibayangkan, seseorang yang didatangi calon klien dan setuju untuk membuatkannya semangkuk mie ayam akan tetapi tidak pernah mempunyai pengalaman empiris dalam membuat semangkuk mie ayam, atau pernah mempunyai pengalaman empiris membuat bakso, namun tentu saja yang dituntut dalam hal ini adalah pengalaman empirisnya dalam membuat semangkuk mie ayam. 

Magang adalah proses yang penting. Proses yang secara empiris bermaksud meningkatkan kapasitas dan kompetensi calon advokat dalam menjalankan profesinya kelak.

Pengangkatan & Pengambilan Sumpah

Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Advokat mengatur mengenai pengangkatan Advokat

"Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: warga negara Republik Indonesia, bertempat tinggal di Indonesia, tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri atau Pejabat Negara; Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun, berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat, magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat, tidak pernah dipindana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dan berperilaku baik, jujur, bertanggungjawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi."

Syarat dimaksud tentu sedianya adalah hasil dari proses legislasi di DPR ketika mensyahkan Undang-undang Advokat, meskipun penulis tidak setuju seluruhnya atas syarat-syarat dimaksud, misalkan terkait diaturnya mengenai syarat umur minimal untuk diangkat menjadi advokat, bukan syarat maksimal umur yang dapat diangkat menjadi advokat. Namun hal ini selayaknya menjadi soal tersendiri.

Persoalan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat adalah titik krusial, karena banyak pihak yang memiliki minat dan kepentingan namun seringkali enggan mengumpulkan syarat-syaratnya dan kalah oleh rasa malas dalam menempuh proses-prosesnya. 

Ada korelasi yang kuat antara realitas 'multi bar' organisasi advokat saat ini dengan permasalahan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat. Laksana penjual kecap, semua organisasi advokat menyatakan dirinya nomor satu dan berhak menyelengarakan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat.

Penulis mempunyai pengalaman pahit terkait proses pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat, dikarenakan setelah menapaki proses magang dua tahun berturut-turut tidak juga diangkat dan disumpah dikarenakan pada waktu itu selalu saja digagalkan oleh organisasi advokat lainnya, dan hal ini berlangsung dua tahun setelah waktu yang disyaratkan, sehingga kumulatif menjadi empat tahun menunggu pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat.

Sebaliknya saat ini, proses pengangkatan dan penyumpahan advokat seolah memasuki musim semi, laksana bunga yang bermekaran, berbagai organisasi advokat berlomba-lomba menyelenggarakan pengangkatan dan pengambilan sumpah advokat. 

Tentunya dengan syarat dan ketentuan yang ditafsirkan pada masing-masing organisasi advokat. Berita baiknya adalah meningkatnya secara kuantitas jumlah calon advokat yang diangkat dan disumpah. 

Berita kurang baiknya adalah calon advokat yang diangkat dan disumpah secara kualitatif bisa dikatakan cenderung menurun. Tidak mengherankan jika kemudian hari dalam berpraktik ditemukan advokat-advokat yang kurang cakap dalam menjalankan profesinya, bahkan kerapkali hanya mengandalkan argumentasi pasal 'pokoknya' dan kedekatan personal dengan cara 'minta tolong'.

Bahkan membela klien dengan cara-cara melawan hukum, yang jauh sekali korelasinya dengan kompetensi yang seharusnya dibangun oleh seorang advokat.

Atas realita serta permasalahan-permasalahan yang ada dalam setiap tahapan pengangkatan dan penyumpahan advokat di atas, sepantasnya para advokat sendiri agar semakin mawas diri menyikapi cobaan yang timbul. 

Meskipun profesi yang satu ini telah dapat dilacak asal-usulnya pada zaman Romawi kuno, agaknya untuk konteks Indonesia ke depannya masih akan terus diuji oleh zaman guna membentuk jati diri profesinya.

________________

*Untuk mendukung platform Hukumindo, anda dapat melakukan donasi sebagaimana deskripsi pada link berikut ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...