Tim Hukumindo
Rencana Pemindahan Ibu
Kota Negara Ke Luar Pulau Jawa
Presiden
Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa. Hal itu
diputuskan Jokowi dalam rapat terbatas terkait pemindahan Ibu Kota di Kantor
Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019). Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro
mengatakan, Jokowi berencana memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. [1] Hal ini
menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, meskipun demikian rencana ini
bukanlah hal baru.
"Dalam rapat tadi diputuskan, Presiden
memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. Ini
barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini," kata
Bambang. Menurut Bambang, keputusan Jokowi itu diambil dengan mempertimbangkan
agar Indonesia tidak Jawa sentris. Diharapkan nantinya pertumbuhan ekonomi bisa
merata di setiap wilayah. [2]
Menurut
penulis, setidaknya ada dua hal penting dari berita di atas, pertama adalah ibu
kota akan dipindahkan ke luar jawa, dan kedua adalah tujuan dari rencana tersebut
agar pertumbuhan ekonomi merata di setiap wilayah, alasannya adalah faktor
ekonomi. Sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, perpindahan Ibu Kota
Negara bukanlah hal yang baru, setidaknya tercatat telah dua kali mengalami
perpindahan, ke daerah mana saja itu? Apa saja alasan utamanya? Serta apa dasar
hukumnya?
Sejarah Perpindahan
Ibu Kota Republik Indonesia
Sepanjang
sejarah perjuangan negara ini, Indonesia setidaknya mengalami dua kali
perpindahan Ibu Kota. Pertama adalah perpindahan dari Jakarta ke Yogjakarta
ketika terjadi Agresi Militer I Belanda, dan kedua adalah perpindahan dari
Yogyakarta ke Bukittinggi untuk mencegah kekosongan kekuasaan setelah Agresi
Militer II dari Belanda.
Perpindahan
Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta hanya berselang lima bulan
setelah deklarasi kemerdekaan. Pemindahan Ibu Kota dilakukan karena Belanda
datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu dan Jakarta berhasil
diduduki pada 29 September 1945. [3] Kemudian pada tanggal 2 Januari 1946
Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibukota NKRI
dipindah ke Yogyakarta. Tawaran Sultan diterima dengan oleh Soekarno,
sehingga tanggal 4 Januari ibukota NKRI
resmi pindah ke Yogyakarta. [4] Inilah perpindahan pertama, yaitu pada 4
Januari 1946. Adapun alasannya, setelah jatuhnya Jakarta ke tangan Belanda dan
Sekutu, maka Yogyakarta dinilai sebagai wilayah yang paling siap dari sisi
ekonomi, politik dan keamanan pada waktu itu.
Setelah
Ibu Kota Negara Indonesia pindah ke Yogyakarta, kerajaan Belanda melancarkan
agresi militer II pada 19 Desember 1948. Sederhananya, setelah kembali
menginjakan kaki di nusantara, khususnya di Jakarta melalui Agresi Militer I
dengan membonceng Sekutu, Kerajaan Belanda ingin kembali berkuasa. Maka
dibuatlah Agresi Militer II, hal ini bertujuan untuk menumpas pemerintahan
negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Mengembalikan kendali kekuasaan
kolonial Kerajaan Belanda di nusantara. Agresi Militer II ini mengakibatkan
jatuhnya Yogyakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia ke tangan Belanda, dan
pemimpin Republik Indonesia tertinggi, yaitu Soekarno-Hatta ditangkap dan
kemudian diasingkan ke luar jawa.
Namun
sebelum diasingkan Presiden Sokarno memberikan surat kuasa kepada Safrudin
Prawiranegara yang berada di Bukittinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat.
[5] Tanggal 22 Desember 1948, Syafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. PDRI dibentuk
karena Belanda menduduki Ibu Kota RI saat itu, Yogyakarta. Para pemimpin
Republik pun ditangkap, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan
lainnya, lalu diasingkan ke luar Jawa. [6] Dengan demikian, hanya berselang dua
hari setelah kejatuhan Yogyakarta, dibentuklah pemerintahan darurat Republik
Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Inilah perpindahan kedua, adapun
alasan perpindahan Ibu Kota dari Yogyakarta ke Bukittinggi ini adalah dikarenakan
pemerintahan berada pada kondisi darurat.
Dasar Hukum
Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia
Dari
latar sejarah dapat kita pahami bahwa perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta
ke Yogyakarta, dan dari Yogyakarta ke Bukittinggi, kedua-duanya disebabkan oleh
faktor utama yaitu keadaan darurat. Jatuhnya wilayah Jakarta dan Yogyakarta ke
tangan Sekutu dan Belanda pada waktu itu menjadi alasan utama dipindahkannya
Ibu Kota Negara.
Dalam
keadaan darurat seperti telah dijelaskan di atas, aspek hukum terkait
perpindahan Ibu Kota Negara, terutama berdasarkan hukum positif pada waktu itu
tidaklah mengemuka. Meskipun demikian, adalah tidak tepat pula jika mengatakan
pada waktu itu tidak ada dasar hukumnya. Menurut hemat penulis, hal ini bisa
dikembalikan dasar hukumnya kepada Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan dan
dinyatakan berlaku pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Setidaknya terdapat satu
pasal di dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen yang relevan pada
waktu itu, pertama adalah Pasal 4 ayat (1). Adapun bunyinya adalah sebagai
berikut:
Pasal
4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945: “Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
Juga
relevan adalah Pasal 12 Undang-undang Dasar 1945, perihal Presiden menyatakan
keadaan bahaya. Akan tetapi, dalam kondisi darurat seperti itu, Presiden berperan
dominan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Maka secara hukum Presiden
menjadi berwenang untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari satu daerah Indonesia
ke daerah lainnya. Mungkin harus dikaji kembali sumber-sumber sejarah terkait sisi
hukum administrasi pemerintahannya sebagai instrumen hukum turunan dari
Undang-undang Dasar. Sehingga belum telihat ketika Presiden Soekarno memindahkan
Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada waktu itu dengan
menerbitkan instrumen hukum apa? Dan alih tangan kekuasaan pemerintahan dari Presiden
Soekarno ke Syafruddin Prawiranegara yang mengumumkan berdirinya Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi memakai instrumen hukum apa? Namun
demikian, kita tentunya tidak dapat selalu berpikir positivistik an sich, karena pemerintahan negara pada
waktu itu sangatlah tidak ideal.
Beda
dulu dengan sekarang. Sebagaimana diterangkan di awal, alasan pemindahan Ibu
Kota Negara saat ini adalah terutama dikarenakan faktor ekonomi, yaitu melakukan
pemerataan pertumbuhan. Saat ini tidak ada alasan negara dalam keadaan darurat
sebagaimana alasan pemindahan Ibu Kota sebelumnya pada awal perjuangan
kemerdekaan. Lalu bagaimana dengan instrumen hukumnya?
Sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, sampai dengan amandemen ke-4, tidak
diatur mengenai ketentuan Ibu Kota Negara Indonesia harus di wilayah tertentu,
namun yang pasti masih di dalam wilayah Republik Indonesia (vide Pasal25 A Undang-undang Dasar 1945). Siapa yang dapat mengambil kebijakan atas pemindahan
Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya adalah Presiden, dasar hukumnya adalah
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dikutip di atas. Apa
bentuk instrumen hukum turunan dari Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945
untuk melandasi kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya menurut
hemat penulis adalah cukup dengan diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres).
Entah jika kemudian Presiden mempunyai pertimbangan lain, misalnya dengan
mengusulkan Undang-undang ke DPR. Mari kita cermati bersama perkembangannya.
_______________________________
|
1. Kompas.com, "Rencana Pemindahan Ibu Kota, Bagaimana Nasib
Jakarta?", 30 April 2019, https://megapolitan.kompas.com/read/2019/04/30/08063981/rencana-pemindahan-ibu-kota-bagaimana-nasib-jakarta.
2. Ibid.
3. Liputan6.com, “Cerita di Balik Aksi Pindah Ibu Kota ke Jogja”, 15 Agustus 2016, https://www.liputan6.com/regional/read/2577674/cerita-di-balik-aksi-pindah-ibu-kota-ke-jogja
4. Republika.Co.id, "Tanggal 4 Januari 1946 Ibukota NKRI Pindah
ke Yogyakarta", 04 Jan 2011, https://nasional.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/01/04/156100-tanggal-4-januari-1946-ibukota-nkri-pindah-ke-yogyakarta
5. Jagosejarah.blogspot.com,
22 September 2016,
http://jagosejarah.blogspot.com/2014/09/agresi-militer-belanda-2.html
6. Tirto.id., “Syafruddin Prawiranegara: Menyelamatkan Republik, Lalu Membelot",
15 Februari 2018,
https://tirto.id/syafruddin-prawiranegara-menyelamatkan-republik-lalu-membelot-cEwq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar