Oleh:
Tim Hukumindo
Melanjutkan
kuliah sebelumnya berjudul: Apa yang dimaksud dengan Hukum? Dalam kesempatan
ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Tujuan Hukum.
Sebagaimana halnya tidak ada terminologi tunggal mengenai Hukum, hal yang sama
juga terjadi dalam konteks tujuan hukum. Tujuan hukum berbeda-beda, namun
secara umum tidak terlalu banyak sebagaimana halnya definisi hukum.
Tujuan Hukum adalah Keadilan
Hukum
bertujuan untuk mencapai keadilan. Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan,
pertama keadilan distributif, dan kedua adalah keadilan komutatif. Keadilan
distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah
menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapatkan bagian
yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Contohnya adalah tiap-tiap orang Belanda dapat
diangkat untuk tiap-tiap jabatan, maka belum berarti bahwa tiap-tiap orang
Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan
berarti bahwa jabatan-jabatan harus diberikan pada mereka yang berdasarkan
jasa-jasanya patut memperolehnya. Keadilan komutatif ialah keadilan yang
memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa
perseorangan. Ia memegang peranan dalam tukar-menukar, pada pertukaran
barang-barang dan jasa-jasa, dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat
persamaan antara apa yang dipertukarkan.[1]
Tujuan
hukum untuk keadilan seringkali disebut pertama kali karena memang paling
populer. Terutama bagi awam atau orang yang hendak belajar mengenai ilmu hukum,
keadilan seringkali melekat sebagai tujuan hukum.
Tujuan Hukum adalah
Kepastian Hukum
Dalam
realita, seringkali tujuan hukum sebagai keadilan dilebih-lebihkan semata. Ulasan
van Apeldoorn sebagai berikut, hukum (juga) menetapkan peraturan-peraturan umum
yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan hidup. Jika hukum
semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi
tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat membentuk
peraturan-peraturan umum. Dan peraturan-peraturan umum inilah yang harus
dilakukan. Adalah syarat baginya (hukum) untuk berfungsi. Tertib hukum yang
yang tak mempunyai peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis, tak mungkin.
Tak adanya peraturan umum, berarti ketidak tentuan yang sungguh-sungguh,
mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil. Dan ketidaktentuan itu selalu
akan menyebabkan perselisihan antara orang-orang. [2]
Tujuan
hukum untuk kepastian hukum adalah kritik atas tujuan hukum untuk keadilan, ia mengandaikan
bahwa tujuan keadilan tidak mungkin terlaksana tanpa adanya peaturan-peraturan
yang sifatnya pasti sebagai panduan.
Tujuan Hukum adalah Kemanfaatan
(faedah)
Menurut
anggapan ini, hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi
orang. Karena apa yang berfaedah bagi orang yang satu mungkin merugikan orang
yang lain, maka menurut anggapan ini tujuan hukum dirumuskan sebagai: ‘menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya
pada orang sebanyak-banyaknya’.[3]
Memang
tujuan hukum sebagai kemanfaatan adalah juga kritik atas tujuan hukum sebagai
kepastian hukum, karena tidak selalu kepastian hukum bermanfaat atau berfaedah.
Contoh, menegakkan hukum Lalu Lintas di pagi hari ketika jam sibuk adalah
sejalan dengan kepastian hukum, akan tetapi menjadi tidak bermanfaat karena
ketika aparat Polisi banyak melakukan penilangan, maka sekejap kemudian jalanan
raya ramai yang hiruk pikuk dengan kendaraan menjadi macet total. Oleh karena
itu, jam operasi tilang kemudian diundur ke jam yang lebih longgar, misalnya di
atas jam 10 siang.
Pada
era kontemporer, tujuan hukum berupa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
seringkali diistilahkan dengan supremasi hukum. Oleh karena itu, tujuan hukum
tidak dapat lagi berdiri sendiri-sendiri, ia saling mengisi dan saling
melengkapi.
1. “Pengantar
Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan
Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 11-12.
2. Van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 12.
3. “Pengantar
Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku
Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam),
1961, Hal.: 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar