Tim Hukumindo
Sekilas Anarcho-syndicalism
Dua
hari yang lalu, ketika peringatan May Day
(Hari Buruh Internasional) di Jakarta, ada fenomena yang menarik perhatian aparat
keamanan, yaitu vandalisme mulai dari corat-coret tembok sampai dengan merusak
pagar halte Tosari Trans Jakarta. Aparat keamanan memberikan keterangan bahwa
para pelakunya adalah kelompok “anarcho-syndicalism”.
Terlepas dari adanya dugaan tindak pidana dari kejadian dimaksud, sebagai
bagian dari sikap ilmiah, ada baiknya terlebih dahulu memahami apa yang
dimaksud dengan “anarcho-syndicalism”.
Sebelum
masuk ke anarkisme, perlu ditegaskan di sini terkait makna vandalisme. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, vandalisme adalah (1) Perbuatan merusak dan menghancurkan
hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya); 2
Perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.[1] Jadi perlu dipahami
bahwa vandalisme adalah terkait tindakan seseorang, bukan sebuah aliran
pemikiran atau semacam paham. Kembali ke anarkisme, aliran pemikiran ini mempunyai
akar panjang di Eropa. Istilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, ‘anarkos’, yang berarti tanpa penguasa. Namun
bentuk anarkisme yang berkembang luas saat ini terbentuk saat Revolusi Prancis,
di mana industrialisasi meluas. Banyak orang marah terhimpit dan marah di bawah
kekuasaan monarki dan kekuatan elit kapitalis.[2]
Di antara
tokohnya adalah Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865)
yang merupakan filsuf Prancis ternama abad ke-19, adalah orang pertama yang
mendapuk dirinya sebagai seorang anarkis. Ucapannya pada 1849 sangat terkenal:
“Siapapun yang menggunakan kekerasan
untuk memerintah saya adalah seorang perebut kekuasaan dan seorang tiran, dan
saya menganggapnya sebagai musuh saya.” Berbeda dengan pengertian
kontemporer, Proudhon berusaha mengubah konotasi negatif penuh kekerasan yang
kerap dilekatkan pada anarkisme. Menurut Proudhon, anarkisme adalah cara paling
rasional dan adil untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Antara lain dia
menganjurkan apa yang dia disebut “mutualisme”
dan (melampaui zamannya) menciptakan konsep bebas pinjaman dari bank dan
serikat pekerja untuk melindungi kepentingan buruh.[3]
Menurut
Brian Crabtree dalam tulisan “The History of Anarchism“, meski
Proudhon tak mengakui hak milik, dia juga tidak mendukung komunisme. Dia
menggarisbawahi pentingnya hak pekerja untuk mengendalikan alat produksi
sebagai bagian penting dari kebebasan. Proudhon adalah orang pertama yang
menggagas serikat pekerja. Bersama rekan-rekannya, pada 1864 dia membentuk First International Workingmen’s Association,
sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia.[4]
Pemikir
lainnya adalah Mikhail Bakunin (1814-1876),
seorang intelektual Rusia, merupakan nama penting berikutnya dalam perkembangan
pemikiran anarkis di Eropa. Dia mengembangkan pemikiran Proudhon menjadi “anarkisme kolektif”, di mana pekerja
bergabung secara setara untuk mengendalikan sepenuhnya hasil produksi mereka. Titik
berat pemikiran Bakunin ada pada “anarko-sindikalisme”,
di mana serikat pekerja, yang dipimpin para anarkis, memperjuangkan kebebasan
lebih besar bagi diri mereka sendiri. Bakunin percaya bahwa anarki hanya
dimungkinkan melalui sebuah revolusi yang menghancurkan seluruh institusi yang
ada. Bakunin tidak menyetujui visi Karl Marx tentang “diktator proletariat”, dan menulis pada 1868 bahwa “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan
dan sebuah bentuk kebrutalan.”[5]
Beberapa
hal penting menjadi catatan. Pertama, anarko-sindikalisme berakar dari revolusi
Prancis. Di satu sisi, ketika revolusi industri meluas maka ia melahirkan kelas
elit kapitalis, dan elit kapitalis ini membutuhkan kekuasaan kaum monarki
(penguasa negara) untuk menjalankan agendanya. Di sisi lain, untuk menjalankan
agenda revolusi industri, kaum elit kapitalis juga membutuhkan buruh untuk
menjalankan produksi. Di sinilah terjadi pertentangan antara kaum
anarko-sindikalisme dengan elit kapitalis dan penguasa negara.
Catatan
kedua, sebagai sebuah ajaran pemikiran, anarko-sindikalisme berbeda dengan
komunisme. Meskipun secara akar masalah terdapat persamaan, atau setidaknya
persinggungan. Jika komunisme bermaksud mendirikan diktator proletariat untuk
menyelesaikan permasalahan di maksud, artinya eksistensi penguasa negara yang
dahulunya diisi oleh kaum monarki (penguasa negara) digantikan oleh kekuatan diktator
proletar. Maka pada anarko-sindikalisme berbeda, kaum ini justru berpendapat bahwa
negara adalah bagian dari kekuatan yang juga menindas, oleh karenanya harus
dilenyapkan, dan tujuannya adalah bukan hanya menciptakan tatanan tanpa kelas,
tapi juga melenyapkan institusi kekuasaan seperti negara. Sederhananya,
kekuatan penindas buruh bagi kaum anarko-sindikalisme ada dua, yaitu elit
pemodal dan juga penguasa negara. Lalu kira-kira masyarakat seperti apa
jadinya? Sebagaimana diterangkan di atas, konsepnya adalah menciptakan
masyarakat tanpa negara yang ‘mutualisme’, sederajat dan saling menguntungkan.
Eksistensi Anarcho-syndicalism Dalam Bingkai Hukum
Positif Negara Republik Indonesia
Dikarenakan
pada May Day kemarin fenomena anarko-sindikalisme
ini salah satunya terjadi di Indonesia, maka disadari atau tidak oleh kaum ini,
terdapat konsekuensi hukum daripadanya. Menurut penulis, hampir bisa dipastikan
gerakan yang secara tidak langsung berimplikasi ingin melenyapkan eksistensi elit
pemodal dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dipastikan
bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan sebagai turunannya
juga bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.
Penulis
belum memperoleh informasi apakah perkumpulan anarko-sindikalisme di Indonesia
telah mempunyai badan hukum resmi. Misalnya didirikan berdasarkan Pasal 104
ayat (1) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan berbunyi
sebagai berikut: "Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh". Namun asumsi ini hampir tidak mungkin, karena kaum ini secara
pemikiran menolak eksistensi kekuasaan negara. Meskipun demikian, sepengetahuan
penulis, aturan hukum maupun produk hukum yang secara langsung menyatakan bahwa
anarko-syndikalisme adalah sebuah organisasi atau paham terlarang di Indonesia
juga tidak ada, atau setidaknya belum ada.
Sebagai
perbandingan, mari kita lihat beberapa permasalahan sejenis. Contoh pertama adalah
Komunisme. Di Indonesia, eksistensinya adalah dilarang melalui aturan hukum
berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia
Nomor: XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk
Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Contoh
kedua adalah terkait Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Awalnya Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
sebagai organisasi kemasyarakatan (ORMAS), kemudian terbit Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akibat bertentangan dengan aturan dimaksud (dianggap anti-Pancasila), status badan
hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan
Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian
Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bukan hanya itu, pun
setelah diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Nomor: 211/G/2017/PTUN.JKT.
didaftarkan tanggal 13 Oktober 2017, PTUN Jakarta menolak gugatan dimaksud. Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara ini juga dikuatkan pada tingkat Banding melalui Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:196 B/2018/PT.TUN.JKT. Serta pada
tingkat Kasasi Mahkamah Agung juga menolak gugatan ini melalui Putusan Nomor:
27 K/TUN/2019, diputus pada hari Kamis, 14 Februari 2019.
Belajar
dari dua permasalahan sejenis di atas, yaitu Komunisme dan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), maka terkait dengan isu anarko-sindikalisme di Indonesia sampai
saat ini hampir bisa dipastikan bukanlah gerakan yang telah mempunyai badan
hukum resmi yang selayaknya diakui negara, baik itu sebagai organisasi buruh
atau organisasi kemasyarakatan. Karena dari segi pemikiran saja sudah menentang
eksistensi negara. Menurut penulis, keberadaannya harus dilihat sebagai perkumpulan
di luar framing hukum positif
Indonesia terkait.
Konsekuensi Hukum
Pidana
Akan
tetapi, akibat dari tindakan mengatasnamakan apapun di wilayah Republik Indonesia
yang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik seperti telah disebutkan di awal,
menjadikan perbuatan dimaksud (merusak
pagar halte Tosari Trans Jakarta) potensial dapat dipidana sebagaimana
diatur dalam Pasal 170 dan/atau Pasal 406 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
Pasal
170 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai
berikut: “(1) Barang siapa yang di muka umum
bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2)
Tersalah dihukum: 1. Dengan
penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika
ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu
menyebabkan sesuatu luka; 2. Dengan
penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka
berat pada tubuh; 3. Dengan penjara
selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang”.
Pasal
406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan
hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Dalam
perspektif hukum, terdapat ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal-pasal
KUHP di atas dalam hal ekspresi pemikiran melanggar koridor hukum. Saran
penulis, ekspresi pemikiran bisa melalui cara lain agar tidak melanggar hukum,
salah satunya mungkin bisa melalui seni tarik suara seperti John Lenon dalam lagunya
berjudul “Imagine” (1971) yang beberapa
bait liriknya dikutip sebagai berikut: “...Imagine
there's no countries, It isn't hard to do, Nothing to kill or die for, And no
religion too, Imagine all the people living life in peace, you... Imagine no possessions, I wonder if
you can, No need for greed or hunger, A brotherhood of man, Imagine all the
people sharing all the world, you...”.
________________________________
|
2. "Tiga Abad Anarkisme Eropa”, Devi Fitria, 07 Januari 2011, Historia.id.,
https://historia.id/politik/articles/tiga-abad-anarkisme-eropa-6lB3v
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar