Jumat, 03 Mei 2019

Eksistensi Anarcho-syndicalism dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Sekilas Anarcho-syndicalism

Dua hari yang lalu, ketika peringatan May Day (Hari Buruh Internasional) di Jakarta, ada fenomena yang menarik perhatian aparat keamanan, yaitu vandalisme mulai dari corat-coret tembok sampai dengan merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta. Aparat keamanan memberikan keterangan bahwa para pelakunya adalah kelompok “anarcho-syndicalism”. Terlepas dari adanya dugaan tindak pidana dari kejadian dimaksud, sebagai bagian dari sikap ilmiah, ada baiknya terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan “anarcho-syndicalism”.

Sebelum masuk ke anarkisme, perlu ditegaskan di sini terkait makna vandalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, vandalisme adalah (1) Perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya); 2 Perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.[1] Jadi perlu dipahami bahwa vandalisme adalah terkait tindakan seseorang, bukan sebuah aliran pemikiran atau semacam paham. Kembali ke anarkisme, aliran pemikiran ini mempunyai akar panjang di Eropa. Istilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, ‘anarkos’, yang berarti tanpa penguasa. Namun bentuk anarkisme yang berkembang luas saat ini terbentuk saat Revolusi Prancis, di mana industrialisasi meluas. Banyak orang marah terhimpit dan marah di bawah kekuasaan monarki dan kekuatan elit kapitalis.[2]

Di antara tokohnya adalah Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865) yang merupakan filsuf Prancis ternama abad ke-19, adalah orang pertama yang mendapuk dirinya sebagai seorang anarkis. Ucapannya pada 1849 sangat terkenal: “Siapapun yang menggunakan kekerasan untuk memerintah saya adalah seorang perebut kekuasaan dan seorang tiran, dan saya menganggapnya sebagai musuh saya.” Berbeda dengan pengertian kontemporer, Proudhon berusaha mengubah konotasi negatif penuh kekerasan yang kerap dilekatkan pada anarkisme. Menurut Proudhon, anarkisme adalah cara paling rasional dan adil untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Antara lain dia menganjurkan apa yang dia disebut “mutualisme” dan (melampaui zamannya) menciptakan konsep bebas pinjaman dari bank dan serikat pekerja untuk melindungi kepentingan buruh.[3]

Menurut Brian Crabtree dalam tulisan “The History of Anarchism“, meski Proudhon tak mengakui hak milik, dia juga tidak mendukung komunisme. Dia menggarisbawahi pentingnya hak pekerja untuk mengendalikan alat produksi sebagai bagian penting dari kebebasan. Proudhon adalah orang pertama yang menggagas serikat pekerja. Bersama rekan-rekannya, pada 1864 dia membentuk First International Workingmen’s Association, sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia.[4]

Pemikir lainnya adalah Mikhail Bakunin (1814-1876), seorang intelektual Rusia, merupakan nama penting berikutnya dalam perkembangan pemikiran anarkis di Eropa. Dia mengembangkan pemikiran Proudhon menjadi “anarkisme kolektif”, di mana pekerja bergabung secara setara untuk mengendalikan sepenuhnya hasil produksi mereka. Titik berat pemikiran Bakunin ada pada “anarko-sindikalisme”, di mana serikat pekerja, yang dipimpin para anarkis, memperjuangkan kebebasan lebih besar bagi diri mereka sendiri. Bakunin percaya bahwa anarki hanya dimungkinkan melalui sebuah revolusi yang menghancurkan seluruh institusi yang ada. Bakunin tidak menyetujui visi Karl Marx tentang “diktator proletariat”, dan menulis pada 1868 bahwa “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.”[5]

Beberapa hal penting menjadi catatan. Pertama, anarko-sindikalisme berakar dari revolusi Prancis. Di satu sisi, ketika revolusi industri meluas maka ia melahirkan kelas elit kapitalis, dan elit kapitalis ini membutuhkan kekuasaan kaum monarki (penguasa negara) untuk menjalankan agendanya. Di sisi lain, untuk menjalankan agenda revolusi industri, kaum elit kapitalis juga membutuhkan buruh untuk menjalankan produksi. Di sinilah terjadi pertentangan antara kaum anarko-sindikalisme dengan elit kapitalis dan penguasa negara.

Catatan kedua, sebagai sebuah ajaran pemikiran, anarko-sindikalisme berbeda dengan komunisme. Meskipun secara akar masalah terdapat persamaan, atau setidaknya persinggungan. Jika komunisme bermaksud mendirikan diktator proletariat untuk menyelesaikan permasalahan di maksud, artinya eksistensi penguasa negara yang dahulunya diisi oleh kaum monarki (penguasa negara) digantikan oleh kekuatan diktator proletar. Maka pada anarko-sindikalisme berbeda, kaum ini justru berpendapat bahwa negara adalah bagian dari kekuatan yang juga menindas, oleh karenanya harus dilenyapkan, dan tujuannya adalah bukan hanya menciptakan tatanan tanpa kelas, tapi juga melenyapkan institusi kekuasaan seperti negara. Sederhananya, kekuatan penindas buruh bagi kaum anarko-sindikalisme ada dua, yaitu elit pemodal dan juga penguasa negara. Lalu kira-kira masyarakat seperti apa jadinya? Sebagaimana diterangkan di atas, konsepnya adalah menciptakan masyarakat tanpa negara yang ‘mutualisme’, sederajat dan saling menguntungkan.

Eksistensi Anarcho-syndicalism Dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

Dikarenakan pada May Day kemarin fenomena anarko-sindikalisme ini salah satunya terjadi di Indonesia, maka disadari atau tidak oleh kaum ini, terdapat konsekuensi hukum daripadanya. Menurut penulis, hampir bisa dipastikan gerakan yang secara tidak langsung berimplikasi ingin melenyapkan eksistensi elit pemodal dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dipastikan bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan sebagai turunannya juga bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.

Penulis belum memperoleh informasi apakah perkumpulan anarko-sindikalisme di Indonesia telah mempunyai badan hukum resmi. Misalnya didirikan berdasarkan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut: "Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh". Namun asumsi ini hampir tidak mungkin, karena kaum ini secara pemikiran menolak eksistensi kekuasaan negara. Meskipun demikian, sepengetahuan penulis, aturan hukum maupun produk hukum yang secara langsung menyatakan bahwa anarko-syndikalisme adalah sebuah organisasi atau paham terlarang di Indonesia juga tidak ada, atau setidaknya belum ada.

Sebagai perbandingan, mari kita lihat beberapa permasalahan sejenis. Contoh pertama adalah Komunisme. Di Indonesia, eksistensinya adalah dilarang melalui aturan hukum berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor: XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Contoh kedua adalah terkait Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Awalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai organisasi kemasyarakatan (ORMAS), kemudian terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akibat bertentangan dengan aturan dimaksud (dianggap anti-Pancasila), status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bukan hanya itu, pun setelah diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Nomor: 211/G/2017/PTUN.JKT. didaftarkan tanggal 13 Oktober 2017, PTUN Jakarta menolak gugatan dimaksud. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini juga dikuatkan pada tingkat Banding melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:196 B/2018/PT.TUN.JKT. Serta pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung juga menolak gugatan ini melalui Putusan Nomor: 27 K/TUN/2019, diputus pada hari Kamis, 14 Februari 2019.

Belajar dari dua permasalahan sejenis di atas, yaitu Komunisme dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), maka terkait dengan isu anarko-sindikalisme di Indonesia sampai saat ini hampir bisa dipastikan bukanlah gerakan yang telah mempunyai badan hukum resmi yang selayaknya diakui negara, baik itu sebagai organisasi buruh atau organisasi kemasyarakatan. Karena dari segi pemikiran saja sudah menentang eksistensi negara. Menurut penulis, keberadaannya harus dilihat sebagai perkumpulan di luar framing hukum positif Indonesia terkait.

Konsekuensi Hukum Pidana

Akan tetapi, akibat dari tindakan mengatasnamakan apapun di wilayah Republik Indonesia yang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik seperti telah disebutkan di awal, menjadikan perbuatan dimaksud (merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta) potensial dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 dan/atau Pasal 406 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).  

Pasal 170 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “(1)   Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2)   Tersalah dihukum: 1. Dengan penjara  selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka; 2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh; 3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang”.

Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Dalam perspektif hukum, terdapat ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal-pasal KUHP di atas dalam hal ekspresi pemikiran melanggar koridor hukum. Saran penulis, ekspresi pemikiran bisa melalui cara lain agar tidak melanggar hukum, salah satunya mungkin bisa melalui seni tarik suara seperti John Lenon dalam lagunya berjudul “Imagine” (1971) yang beberapa bait liriknya dikutip sebagai berikut: “...Imagine there's no countries, It isn't hard to do, Nothing to kill or die for, And no religion too, Imagine all the people living life in peace, you... Imagine no possessions, I wonder if you can, No need for greed or hunger, A brotherhood of man, Imagine all the people sharing all the world, you...”.

________________________________
1.  Vandalisme”, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), https://kbbi.web.id/vandalisme
2.  "Tiga Abad Anarkisme Eropa”, Devi Fitria, 07 Januari 2011, Historia.id., https://historia.id/politik/articles/tiga-abad-anarkisme-eropa-6lB3v
3.  Ibid.
4.  Ibid.
5.  Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar