Tim Hukumindo
Kuliah
Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: ‘Sumber-sumber Hukum’ telah kita
lalui, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang membantu
pembentukan hukum. Di samping sumber-sumber hukum dalam arti formil yang telah
di bahas sebelumnya, masih terdapat hal-hal lain yang membantu pembentukan
hukum. Menurut L.J. van Apeldoorn hal dimaksud adalah persetujuan antara yang
berkepentingan, pengadilan dan ilmu pengetahuan.
A. Perjanjian
Ada
analogi tertentu antara undang-undang dan perjanjian. Hingga batas tertentu,
para pihak yang mengadakan perjanjian berbuat sebagai pembentuk undang-undang:
ia membentuk sesuatu peraturan. Jadi apabila perjanjian itu kita sebut sumber
hukum, maka kata hukum itu kita pakai
dalam arti yang lain daripada apabila kita menyebut undang-undang sebagai
sumber hukum. Dalam hal yang terakhir, dengan hukum dimaksud, peraturan-peraturan
yang umum mengikat, jadi apa yang dalam kebiasaan hukum disebut hukum obyektif; dalam hal yang pertama,
dimaksud sesuatu peraturan yang dibentuk untuk hal yang tertentu atau ‘hukum yang konkrit’. Perbedaan antara
kedua hal tersebut ialah bahwa undang-undang adalah keputusan kehendak dari
suatu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak; dengan perkataan
lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri
pada undang-undang terlepas dari kehendaknya.[1]
Dalam
hal itu jangan kita lupa, bahwa dalam menguraikan pengertian undang-undang dan
perjanjian itu kita menarik batas lebih tajam daripada keadaan sebenarnya.
Dalam keadaan sebenarnya, tidak adalah pemisahan yang mutlak, kedua hal
tersebut kadang-kadang sangat mendekati.[2] Penulis setuju denan hal ini, bahwa
meskipun antara Perjanjian (sebagai
salah satu faktor yang membantu pembentukan hukum) dengan Undang-undang (sebagai sumber hukum) dapat dibedakan pada aras analisa
keilmuan hukum, namun keduanya saling berkaitan, sehingga dalam batas tertentu
dapat dibedakan dan sekaligus juga saling berkaitan.
B. Peradilan
Sebagaimana
halnya dengan undang-undang dan perjanjian, maka antara undang-undang dan
keputusan hakim terdapat analogi. Keduanya membentuk peraturan. Akan tetapi, secara
umum, keputusan hakim membentuknya dalam konkreto, undang-undang dalam
abstrakto. Keputusan hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara. Hakim
tidak dapat membentuk peraturan-peraturan yang umum mengikat.[3]
Di
Negeri Belanda tidak ada hakim yang terikat pada keputusan hakim lain; juga
tidak pada keputusan hakim-hakim yang lebih tinggi. Dalam pada itu biasanya
para hakim mengikuti keputusan-keputusan yang dahulu diberikannya sendiri atau
oleh orang lain. Terutama, mengenai keputusan-keputusan badan peradilan yang
tertinggi, Mahkamah Agung.[4] Hal yang sama terjadi di Indonesia (menganut
sistem hukum Eropa-Kontinental),
yaitu keputusan hakim bersifat independen, putusan hakim sebelumnya tidak
mengikat hakim untuk memutus perkara setelahnya. Sebaliknya, sistem hukum
Anglo-Saxon, keputusan hakim setelahnya adalah terikat pada putusan hakim
sebelumnya untuk perkara-perkara sejenis.
Walaupun
di Negeri Belanda pengadilan tidak merupakan sumber hukum dalam arti formil,
akan tetapi ia sangat membantu pembentukan hukum. Itu sudah dilakukannya selama
ia berdiri. Di Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan, para hakim terikat
pada keputusan-keputusan hakim yang tingkatnya lebih tinggi daripada diri
sendiri, atau yang setingkat dengan dia. Jadi di negeri tersebut, peradilan
memang merupakan sumber hukum dalam arti formil. “Judge-made law” atau “common
law” mengambil tempat yang penting di samping “statute law” (hukum undang-undang).[5] Penulis kira perbedaannya
menjadi jelas, bahwa dalam sistem hukum Anglo-Saxon/Common Law, peradilan
adalah salah satu sumber hukum, sebaliknya pada sistem hukum Eropa Kontinental.
C. Ajaran Hukum
Sejarah
mencatat, bahwa pada bangsa Romawi, ajaran hukum adalah merupakan salah satu
sumber hukum. Singkat kata, para sarjana hukum yang ternama pada waktu itu
membuat semacam buku/kitab-kitab yang berisikan catatan-catatan hukum kebiasaan
sesuatu suku, negeri atau kota, untuk memenuhi kebutuhan utama pada masa itu,
dikemudian zaman menjadi semacam literatur yang diwajibkan, bahkan beberapa
dari buku/kitab-kitab hukum itu memperoleh kekuasaan yang demikian besarnya,
sehingga ia dipakai dalam peradilan, seolah-olah ia bukan catatan-catatan hukum
partikulir, melainkan catatan hukum resmi. Contoh yang diajukan oleh L.J. van
Apeldoorn misalnya: “Grand Coutumier de
Normandie” (abad ke-13), yang penulisnya tidak dikenal.[6]
Di
Negeri Belanda, ajaran hukum bukan sumber hukum dalam ari formil. Hukum yuris
Romawi, yang sebenarnya bukan ilmu pengetahuan, melainkan agak merupakan
sesuatu hasil kesenian yang gemilang
perihal praktek hukum (ars boni et aequi)
adalah tersusun dari nasehat-nasehat yang diberikan oleh para ahli hukum
mengenai peristiwa-peristiwa yang diacarakan dan karena itu dapat dipakai untuk
praktek. Di Negeri Belanda, ajaran hukum lebih-lebih mempunyai sifat teoritis,
juga dalam hal ia langsung mengabdi pada pelaksanaan hukum.[7]
Walaupun
di Negeri Belanda ajaran hukum bukan sumber hukum dalam arti formil, ini tidak menghalang-halangi, bahwa ia merupakan faktor yang penting dalam
pembentukan hukum. Itu sudah barang yang sewajarnya karena peradilan di Negeri
Belanda dipegang oleh hakim-hakim yang mendapat pendidikan ilmiah, sehingga
walaupun mereka tidak mengakui kekuasaan ajaran hukum sebagai kekuasaan yang
mengikat, merekapun akan dipengaruhi juga.[8]
_________________________________
|
1. “Pengantar
Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan
Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 155-156.
2. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 156.
3. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 159.
4. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 161.
5. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 162.
6. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 164-165.
7. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 166-167.
8. L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 168.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar