Jumat, 10 Mei 2019

Faktor-faktor Yang Membantu Pembentukan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: ‘Sumber-sumber Hukum’ telah kita lalui, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. Di samping sumber-sumber hukum dalam arti formil yang telah di bahas sebelumnya, masih terdapat hal-hal lain yang membantu pembentukan hukum. Menurut L.J. van Apeldoorn hal dimaksud adalah persetujuan antara yang berkepentingan, pengadilan dan ilmu pengetahuan.

A. Perjanjian

Ada analogi tertentu antara undang-undang dan perjanjian. Hingga batas tertentu, para pihak yang mengadakan perjanjian berbuat sebagai pembentuk undang-undang: ia membentuk sesuatu peraturan. Jadi apabila perjanjian itu kita sebut sumber hukum, maka kata hukum itu kita pakai dalam arti yang lain daripada apabila kita menyebut undang-undang sebagai sumber hukum. Dalam hal yang terakhir, dengan hukum dimaksud, peraturan-peraturan yang umum mengikat, jadi apa yang dalam kebiasaan hukum disebut hukum obyektif; dalam hal yang pertama, dimaksud sesuatu peraturan yang dibentuk untuk hal yang tertentu atau ‘hukum yang konkrit’. Perbedaan antara kedua hal tersebut ialah bahwa undang-undang adalah keputusan kehendak dari suatu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak; dengan perkataan lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri pada undang-undang terlepas dari kehendaknya.[1]

Dalam hal itu jangan kita lupa, bahwa dalam menguraikan pengertian undang-undang dan perjanjian itu kita menarik batas lebih tajam daripada keadaan sebenarnya. Dalam keadaan sebenarnya, tidak adalah pemisahan yang mutlak, kedua hal tersebut kadang-kadang sangat mendekati.[2] Penulis setuju denan hal ini, bahwa meskipun antara Perjanjian (sebagai salah satu faktor yang membantu pembentukan hukum) dengan Undang-undang (sebagai sumber hukum) dapat dibedakan pada aras analisa keilmuan hukum, namun keduanya saling berkaitan, sehingga dalam batas tertentu dapat dibedakan dan sekaligus juga saling berkaitan.

B. Peradilan

Sebagaimana halnya dengan undang-undang dan perjanjian, maka antara undang-undang dan keputusan hakim terdapat analogi. Keduanya membentuk peraturan. Akan tetapi, secara umum, keputusan hakim membentuknya dalam konkreto, undang-undang dalam abstrakto. Keputusan hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara. Hakim tidak dapat membentuk peraturan-peraturan yang umum mengikat.[3]

Di Negeri Belanda tidak ada hakim yang terikat pada keputusan hakim lain; juga tidak pada keputusan hakim-hakim yang lebih tinggi. Dalam pada itu biasanya para hakim mengikuti keputusan-keputusan yang dahulu diberikannya sendiri atau oleh orang lain. Terutama, mengenai keputusan-keputusan badan peradilan yang tertinggi, Mahkamah Agung.[4] Hal yang sama terjadi di Indonesia (menganut sistem hukum Eropa-Kontinental), yaitu keputusan hakim bersifat independen, putusan hakim sebelumnya tidak mengikat hakim untuk memutus perkara setelahnya. Sebaliknya, sistem hukum Anglo-Saxon, keputusan hakim setelahnya adalah terikat pada putusan hakim sebelumnya untuk perkara-perkara sejenis.

Walaupun di Negeri Belanda pengadilan tidak merupakan sumber hukum dalam arti formil, akan tetapi ia sangat membantu pembentukan hukum. Itu sudah dilakukannya selama ia berdiri. Di Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan, para hakim terikat pada keputusan-keputusan hakim yang tingkatnya lebih tinggi daripada diri sendiri, atau yang setingkat dengan dia. Jadi di negeri tersebut, peradilan memang merupakan sumber hukum dalam arti formil. “Judge-made law” atau “common law” mengambil tempat yang penting di samping “statute law” (hukum undang-undang).[5] Penulis kira perbedaannya menjadi jelas, bahwa dalam sistem hukum Anglo-Saxon/Common Law, peradilan adalah salah satu sumber hukum, sebaliknya pada sistem hukum Eropa Kontinental.

C. Ajaran Hukum

Sejarah mencatat, bahwa pada bangsa Romawi, ajaran hukum adalah merupakan salah satu sumber hukum. Singkat kata, para sarjana hukum yang ternama pada waktu itu membuat semacam buku/kitab-kitab yang berisikan catatan-catatan hukum kebiasaan sesuatu suku, negeri atau kota, untuk memenuhi kebutuhan utama pada masa itu, dikemudian zaman menjadi semacam literatur yang diwajibkan, bahkan beberapa dari buku/kitab-kitab hukum itu memperoleh kekuasaan yang demikian besarnya, sehingga ia dipakai dalam peradilan, seolah-olah ia bukan catatan-catatan hukum partikulir, melainkan catatan hukum resmi. Contoh yang diajukan oleh L.J. van Apeldoorn misalnya: “Grand Coutumier de Normandie” (abad ke-13), yang penulisnya tidak dikenal.[6]

Di Negeri Belanda, ajaran hukum bukan sumber hukum dalam ari formil. Hukum yuris Romawi, yang sebenarnya bukan ilmu pengetahuan, melainkan agak merupakan sesuatu hasil kesenian yang gemilang perihal praktek hukum (ars boni et aequi) adalah tersusun dari nasehat-nasehat yang diberikan oleh para ahli hukum mengenai peristiwa-peristiwa yang diacarakan dan karena itu dapat dipakai untuk praktek. Di Negeri Belanda, ajaran hukum lebih-lebih mempunyai sifat teoritis, juga dalam hal ia langsung mengabdi pada pelaksanaan hukum.[7]

Walaupun di Negeri Belanda ajaran hukum bukan sumber hukum dalam arti formil, ini tidak menghalang-halangi, bahwa ia merupakan faktor yang penting dalam pembentukan hukum. Itu sudah barang yang sewajarnya karena peradilan di Negeri Belanda dipegang oleh hakim-hakim yang mendapat pendidikan ilmiah, sehingga walaupun mereka tidak mengakui kekuasaan ajaran hukum sebagai kekuasaan yang mengikat, merekapun akan dipengaruhi juga.[8]

_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 155-156.
2.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 156.
3.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 159.
4.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 161.
5.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 162.
6.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 164-165.
7.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 166-167.
8.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 168.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar