(id.Wikipedia.org)
Oleh:
Tim Hukumindo
Kehidupan Awal
Hugo
Grotius (lahir 10 April 1583 – meninggal 28 Agustus 1645 pada umur 62 tahun),
juga dikenal sebagai Huug de Groot
(Belanda: [ˈɦœyɣ
də ɣroːt]) atau Hugo de Groot (Belanda: [ˈɦyɣoː
də ɣroːt]), adalah seorang ahli hukum berkebangsaan
Belanda. Grotius meletakkan dasar bagi hukum internasional berdasarkan hukum
alam. Sebagai seorang pemuda yang dipandang genius secara intelektual, ia pernah
dipenjarakan karena keterlibatannya dalam perselisihan intra-Calvinis di dalam
Republik Belanda. Ia menulis sebagian besar karya utamanya dalam pengasingan di
Prancis.[1]
Grotius
lahir di Delft saat berlangsungnya Pemberontakan Belanda, sebagai anak pertama
dari pasangan Jan de Groot dan Alida van Overschie. Ayahnya adalah
seorang pria terpelajar, juga seseorang yang menganut pandangan politik
berbeda. Sang ayah mempersiapkan putranya sejak usia dini dengan pendidikan
Aristotelian dan humanis tradisional. Sebagai seorang pembelajar yang genius,
Hugo memasuki Universitas Leiden saat ia baru berusia 11 tahun. Di sana ia
menempuh pendidikannya bersama dengan beberapa intelektual yang paling diakui
di Eropa utara pada saat itu. Di negeri Holandia (Belanda), Grotius diangkat
sebagai advokat untuk Den Haag pada tahun 1599, dan kemudian sebagai
historiograf resmi bagi Negara-Negara Holandia pada tahun 1601.[2]
Doktrin Mare Liberum
Salah
satu mahakaryanya, Mare Liberum selama
berabad-abad telah menjadi dasar paling penting bagi perkembangan hukum laut modern.
Grotius, bagi para pengkritiknya sering disebut sebagai orang yang membukakan
jalan (dengan ajaran kebebasan berlayarnya) bagi imperialisme Belanda yang
akhirnya membuat Indonesia terjajah selama ratusan tahun. Tetapi bagi para
pengagumnya, Grotius adalah seorang pemikir hukum, diplomat, teolog ulung.[3]
Selepas
lulus dari Universitas Leiden, dia sempat membuka kantor hukum. Salah satu
kliennya adalah Dutch East Indie Company
atau yang lebih dikenal sebagai Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC). Ketika menangani VOC inilah dia banyak
bersentuhan dengan sengketa dagang antara Belanda dan Spanyol di Selat Malaka.
Dari situ, Grotius kemudian mulai menyusun dasar-dasar yang kelak menjelma
menjadi doktrin Mare Liberum (Laut
Terbuka) yang ia perkenalkan melalui buku dengan judul yang sama pada tahun
1609. Melalui doktrin tersebut, Grotius pada intinya ingin mengatakan bahwa
konsep kepemilikan (possession)
termasuk kepemilikan laut, hanya dapat terjadi terhadap benda-benda yang dapat
dipegang teguh serta jelas batas-batasnya. Sementara laut adalah sesuatu yang
tidak terbatas dan bersifat cair.[4]
Grotius
mengemukakan 13 dalilnya. Dari ke-13 dalil ini dapatlah digolongkan ke dalam 4
(empat) dalil utama, yaitu: (1) Berdasarkan hukum bangsa-bangsa, navigasi
atau pelayaran adalah bebas untuk setiap negara; (2) Bahwa Portugis tidak memiliki hak berdasarkan (atas) hak
penemuan (discovery) kedaulatan atas perairan
Hindia yang Belanda bermaksud melakukan pelayaran atasnya; (3) Bahwa perairan Hindia atau atau hak berlayar
tidak menjadi milik Portugis berdasarkan pendudukan (title of occupation); dan (4)
Bahwa berdasarkan hukum bangsabangsa perdagangan adalah kebebasan bagi setiap
orang (“By the law of nations trade is
free to all persons whatsoever”).[5]
Dengan
demikian, menurut Grotius, klaim kepemilikan terhadap laut sebagaimana lazim
terjadi saat itu berdasarkan teori penemuan (discovery) atau penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription) tidak dapat diterima. Doktrin Mare
Liberum menuai protes keras dan dianggap membahayakan kekuatan status quo saat itu. Raja Inggris,
Charles I kemudian meminta kepada para ilmuwan di negaranya untuk membantah
doktrin Mare Liberum. John Selden
adalah ilmuwan hukum terkemuka asal Inggris yang paling gigih melawan gagasan Mare Liberum. Pada tahun 1635 Selden
menerbitkan buku dengan judul yang provokatif, Mare Claussum (Laut Tertutup) untuk memberi justifikasi bahwa laut
bisa dimiliki.[6]
Bagi
Selden, teori Mare Liberum yang
diusung Grotius memang penting, tapi pengalaman sejarah membuktikan bahwa
lautan dapat dimiliki oleh negara-negara yang memiliki kekuatan untuk
menjaganya. Oleh karena itu, berdasarkan konsep prescription lautan dapat dimiliki. Argumen yang mengatakan bahwa
laut tidak dapat dimiliki karena bersifat cair dibantah oleh Selden dengan
mengatakan sungai dan perairan pantai yang bersifat cair pun pada kenyataannya
dapat dikuasai oleh negara-negara yang memiliki kekuatan untuk menguasai dan
menjaganya.[7] Meskipun tidak berkaitan secara langsung, bandingkan dengan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja dalam tautan berikut.
Dikemudian hari kita tahu bahwa, baik teori Grotius maupun Selden tidak dapat diterapkan
secara kaku. Hukum laut yang kita kenal saat ini, seperti tercermin dalam United Nations Convention on the Law of the
Sea (UNCLOS), menerima sebagian doktrin Mare
Liberum dan menerima sebagian doktrin Mare
Clausum. UNCLOS misalnya mengakui konsep kepemilikian atas laut (seperti
laut wilayah atau territorial sea)
tetapi pada saat yang sama juga mengakui adanya hak melintas secara damai (innocent passage) yang harus dihormati
oleh negara-negara yang memiliki laut.[8]
Implikasi Pemikirannya
Terhadap Akses Laut Bagi Perdagangan Bebas
Pemikiran
Grotius tetap relevan hingga saat ini, terutama terkait dengan dalilnya yang
pertama bahwa: ‘Berdasarkan hukum
bangsa-bangsa, navigasi atau pelayaran adalah bebas untuk setiap negara’,
dalam konteks kekinian dan relevansinya dengan hukum laut, yang dimaksud
Grotius dengan wilayah laut ini adalah dalam kategori ‘laut lepas’. Pasal 86
UNCLOS, terkait laut lepas, mendefinisikannya sebagai berikut: “merupakan semua bagian dari laut yang tidak
termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), dalam laut teritorial atau dalam
perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan”. Termasuk di dalam wilayah laut lepas ini, salah satunya adalah,
kebebasan untuk berlayar.
Meskipun
oleh para pengkritiknya disebut sebagai orang yang membukakan jalan bagi
imperialisme Belanda ke Nusantara, namun saat ini implikasi pemikiran Grotius
adalah sebagai landasan bagi terlaksananya perdagangan bebas di dunia. Lewat
laut, khususnya wilayah laut lepas, berbagai komoditas dari seluruh penjuru
dunia berupa kargo dikirim dan diperdagangkan.
________________________________
|
1. "Hugo Grotius", Wikipedia.org., Diakses pada 24 Mei 2019,
https://id.wikipedia.org/wiki/Hugo_Grotius
2.
Ibid.
3. "Grotius: Dari Mare Liberum Hingga Teologi yang Membebaskan",
Kumparan.com, Ali Murtado, 5 April 2019,
https://kumparan.com/ali-murtado1550498424284868859/grotius-dari-mare-liberum-hingga-teologi-yang-membebaskan-1qpA2rc2Y3i
4.
Ali
Murtado, Ibid.
5. "Sumbangan Hukum Alam Dan
Pemikiran Grotius Terhadap Hukum Internasional", Huala Adolf, Majalah Hukum Nasional
Nomor: 2 Tahun 2017, Hal.: 7.
6.
Ali
Murtado, Op. Cit.
7.
Ali
Murtado, Op. Cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar