Tim Hukumindo
Buntut Perseteruan Pilpres
2019
Setelah
hasil quick count dirilis oleh
beberapa lembaga survey independen, dan telah diketahui hasilnya, ternyata buntut
perseteruan Pilpres tahun 2019 ini antara team Paslon 01 dengan 02 belum juga
mereda. Terakhir adalah seruan people
power oleh tokoh-tokoh Paslon 02 disikapi dengan pembentukan Tim Asistensi
Hukum Kemenko Polhukam yang tugas utamanya adalah mengkaji manuver politik dimaksud
dari sisi hukum, hal ini mengerucut pada perseteruan dua elit politik negeri
ini yaitu Amien Rais dan Wiranto.
Ketua
Dewan Kehormatan PAN Amien Rais mengatakan bakal melaporkan Menko Polhukam Wiranto
ke Mahkamah Internasional karena dianggap menyalahgunakan kekuasaan. Amien
sebelumnya menyindir Tim Asistensi Hukum bentukan Wiranto yang mulai mengkaji
aktivitas sejumlah tokoh, termasuk dirinya. Dia pun mengingatkan Wiranto atas
hal itu. "Di muka bumi ini, orang
ngomong ditangkap itu nggak ada. Wiranto, hati-hati, Anda," kata Amien
setelah menghadiri simposium terkait kecurangan Pemilu 2019 di Hotel Grand
Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5/2019). Dia menyatakan bisa membawa Wiranto ke
Mahkamah Internasional. Menurut Amien, Wiranto telah melakukan
kesewenang-wenangan kekuasaan. "Pak
Wiranto perlu dibawa ke Mahkamah Internasional karena dia melakukan abuse
of power. Dengan kuasanya, dia akan
membidik lawan-lawan politiknya," ujarnya. [1]
Lalu
apa kata Wiranto? Menko Polhukam Wiranto mengaku bingung dirinya akan
dilaporkan ke Mahkamah Internasional. Dia mempertanyakan alasan dirinya akan
dilaporkan ke Mahkamah Internasional itu. "Pak Wiranto lebih berat dari kolonial, mau dimasukin ke Mahkamah
Internasional. Kok saya kok bingung," kata Wiranto dalam sambutannya
saat acara buka bersama sejumlah pimpinan media di Hotel JS Luwansa, Kuningan,
Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2019).[2] Dari dua statement antara Amien Rais
melawan Wiranto di atas, jernih sekali dapat disimpulkan bahwa Amien Rais akan
membawa Wiranto ke Mahkamah Internasional karena melakukan ‘abuse of power’, dan atas statement
Amien Rais tersebut Wiranto bingung menyikapinya. Dikarenakan Menko Polhukam
kita sedang kebingungan, maka menjadi tugas para sarjana hukum yang perduli untuk
membantu menjelaskannya dari sudut pandang hukum.
Sekilas Sejarah The International Criminal Court (ICC)
Meskipun
tidak secara eksplisit menyebutkan Mahkamah Internasional yang mana, namun
penulis yakin bahwa yang dimaksud dengan Mahkamah Internasional oleh Amien Rais
adalah The International Criminal Court
(ICC) yang berkedudukan di Den Haag negeri Belanda. Pada awalnya, Mahkamah
Internasional dibentuk untuk mengadili para pemimpin politik yang dituduh
melakukan kejahatan internasional. Pertama kali diusulkan selama Konferensi
Perdamaian Paris pada tahun 1919 setelah Perang Dunia Pertama. Masalah ini
dibahas lagi pada konferensi yang diadakan di Jenewa di bawah naungan Liga
Bangsa-Bangsa pada tahun 1937, yang menghasilkan kesimpulan dari konvensi
pertama yang menetapkan pembentukan pengadilan internasional permanen untuk
mengadili aksi terorisme internasional. Konvensi tersebut ditandatangani oleh
13 negara, tetapi tidak ada yang meratifikasinya dan konvensi tersebut tidak
pernah berlaku.[3]
Setelah
perang dunia kedua dan perang dingin usai, kemudian diadakan konferensi di Roma
pada Juni 1998, dengan tujuan menyelesaikan perjanjian untuk berfungsi sebagai undang-undang
Pengadilan. Pada 17 Juli 1998,
Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional diadopsi dengan suara 120
banding tujuh, dengan 21 negara abstain. Tujuh negara yang menentang perjanjian
itu adalah Cina, Irak, Israel, Libya, Qatar, Amerika Serikat, dan Yaman. Setelah
60 ratifikasi, Statuta Roma mulai berlaku pada 1 Juli 2002 dan Mahkamah Pidana
Internasional secara resmi didirikan. Pengadilan mengeluarkan surat perintah
penangkapan pertamanya pada tanggal 8 Juli 2005, dan sidang pra-sidang pertama
diadakan pada tahun 2006. Pengadilan mengeluarkan putusan pertamanya pada 2012
ketika mendapati pemimpin pemberontak Kongo Thomas Lubanga Dyilo bersalah atas
kejahatan perang terkait penggunaan tentara anak-anak.[4]
Kompetensi Mengadili/Jurisdiksi The International Criminal Court (ICC)
Menurut
situs resminya, ICC (www.icc-cpi.int) berkompeten
mengadili berdasarkan Statuta Roma, kompetensi mengadili/jurisdiksi hukumnya
terbatas pada setidaknya cakupan empat kejahatan utama. Pertama, kejahatan genosida
dicirikan oleh niat khusus untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok
nasional, etnis, ras atau agama dengan membunuh anggotanya atau dengan cara
lain: menyebabkan kerusakan tubuh atau mental yang serius pada anggota kelompok;
sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan untuk
menyebabkan kehancuran fisiknya secara keseluruhan atau sebagian; menerapkan
tindakan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
secara paksa memindahkan anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.[5]
Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan pelanggaran serius
yang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala besar terhadap penduduk
sipil. Ke 15 bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang tercantum dalam Statuta
Roma termasuk pelanggaran seperti pembunuhan, pemerkosaan, pemenjaraan,
penghilangan paksa, perbudakan—khususnya perempuan dan anak-anak, perbudakan
seksual, penyiksaan, apartheid dan deportasi.[6]
Ketiga, kejahatan perang yang merupakan pelanggaran berat konvensi Jenewa
dalam konteks konflik bersenjata dan termasuk, misalnya, penggunaan tentara
anak-anak; pembunuhan atau penyiksaan orang seperti warga sipil atau tahanan
perang; sengaja mengarahkan serangan terhadap rumah sakit, monumen bersejarah,
atau bangunan yang didedikasikan untuk agama, pendidikan, seni, ilmu
pengetahuan, atau tujuan amal.[7]
Keempat, adalah kejahatan agresi. Ini adalah penggunaan angkatan bersenjata oleh
suatu Negara melawan kedaulatan, integritas atau kemerdekaan Negara lain.
Definisi kejahatan ini diadopsi melalui amandemen Statuta Roma pada Konferensi
Tinjauan Statuta pertama di Kampala, Uganda, pada tahun 2010.[8]
Anggota The International Criminal Court (ICC)
Sampai
dengan tanggal 16 Mei 2019, terdapat 122 negara yang telah meratifikasi Statuta
Roma. Diantaranya adalah: Afganistan, Albania, Andorra, Argentina, Australia, Austria,
Bangladesh, Belgia, Benin, Bolivia, Bostwana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Cambodia,
Canada, Chad, Cile, Colombia, Democratic Republic of Congo, Croatia, Siprus, Estonia,
Fiji, Finlandia, Jerman, Ghana, Yunani, Guatemala, Honduras, Irlandia, Italia, Jepang,
Yordania, Korea Selatan, Maldives, Mali, Malta, Mauritius, Mexico, Moldova, Mongolia,
Montenegro, Namibia, Belanda, Niger, Nigeria, Norwegia, Palestina, Panama, Paraguay,
Peru, Polandia, Portugal, Rumania, Samoa, San Marino, Senegal, Serbia, Sierra
Leone, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Suriname, Swedia, Swiss, Tanzania,
Tajikistan, Trinidad dan Tobago, Tunisia, Uganda, Inggris, Uruguay, Vanuatu, Venezuela,
Zambia.[9]
Hal
yang menarik adalah terdapat beberapa negara yang telah menandatangani Statuta
Roma namun tidak melakukan ratifikasi, atau setidaknya belum melakukan
ratifikasi, yaitu: Bahrain, Israel, Kuwait, Russia, Sudan, Thailand, Ukraina, Amerika
Serikat dan Yaman.[10] Tentunya, beberapa negara yang cukup menarik perhatian
di sini adalah Israel, Russia dan Amerika Serikat.
Lalu
dimana posisi Indonesia? Indonesia tidak termasuk negara yang menandatangani Statuta
Roma, dan tidak termasuk negara yang meratifikasi Statuta Roma. Negara-negara lain
dalam kategori ini diantaranya adalah: Brunei Darussalam, China, Cuba, India,
Irak, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Rwanda, Papua Nugini, Somalia, Sri
Lanka, Togo, Turki, Vietnam.[11] Hal ini berarti secara hukum negara Indonesia
tidak tunduk pada jurisdiksi ICC.
Menjawab Perseteruan
Menko Polhukam Wiranto Vs. Amien Rais
Menyambung
perihal di atas, maka pertanyaan yang timbul atas perseteruan Menko Polhukam
Wiranto melawan Amien Rais adalah: Pertama,
apakah Menko Polhukam Wiranto dapat diajukan dan diadili di The International Criminal Court (ICC)? Kedua,
apakah The International Criminal Court
(ICC) berwenang mengadili perihal 'abuse
of power'?
Jawaban
atas pertanyaan pertama, Menko Polhukam Wiranto tidak dapat diajukan dan
diadili oleh The International Criminal
Court (ICC), dengan alasan sebagaimana telah diterangkan di atas yaitu Indonesia
tidak termasuk negara yang menandatangani Statuta Roma, dan tidak termasuk
negara yang meratifikasi Statuta Roma, oleh karena itu secara hukum, negara Indonesia
tidak tunduk pada ICC. Jawaban atas pertanyaan kedua, ‘abuse of power’ tidak termasuk kompetensi mengadili dari The International Criminal Court (ICC),
sebagaimana telah dibahas di atas, ICC hanya berkompeten mengadili setidaknya 4
(empat) kejahatan, yaitu: Pertama, kejahatan genosida. Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, kejahatan perang. Serta terakhir, yang keempat, kejahatan agresi.
Semoga dengan adanya artikel ini, secara tidak langsung membantu menjawab ‘kebingungan’ Menko Polhukam Wiranto.
________________________________
|
1. "Amien Ingin Bawa ke Mahkamah Internasional, Wiranto Tanggapi Santai",
www.detik.com, Lisye Sri Rahayu, 16 Mei 2019, https://news.detik.com/berita/d-4551510/amien-ingin-bawa-ke-mahkamah-internasional-wiranto-tanggapi-santai
2. "Wiranto Bingung Dirinya Mau Dilaporkan ke Mahkamah Internasional",
www.detik.com, Zakia Liland, 17 Mei 2019, https://news.detik.com/berita/d-4554158/wiranto-bingung-dirinya-mau-dilaporkan-ke-mahkamah-internasional
3. "International Criminal Court", www.wikipedia.org. Diakses pada 18 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Court
5. "How The Court Works", Diakses pada 18 Mei 2019, https://www.icc-cpi.int/about/how-the-court-works
6.
Ibid.
7.
Ibid.
8.
Ibid.
9. "States
parties to the Rome Statute of the International Criminal Court", Diakses pada 18 Mei 2019, https://en.wikipedia.org/wiki/States_parties_to_the_Rome_Statute_of_the_International_Criminal_Court
10. Ibid.
11. Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar