Tim Hukumindo
Telah
kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Hukum dan Hak”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu
Hukum, akan dibahas tentang Pembagian Hukum Objektif.
Hukum
objektif menurut pengertian di sini adalah hukum yang dipahami dari sifat
hubungan-hubungan yang diaturnya. Objektif yang dimaksud adalah
peraturan-peraturan hukum yang bergantung kepada hakekat kepentingan-kepentingan
yang diaturnya.
I. Pembagian Menurut Isi
Hukum
Pembagian
menurut isi hukum dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah hukum publik, dan
kedua adalah hukum perdata.
Kepentingan-kepentingan
yang diatur oleh hukum dapat berupa dua kepentingan. Pertama, kepentingan-kepentingan umum atau kepentingan-kepentingan publik. Kedua, kepentingan-kepentingan khusus atau kepentingan-kepentingan perdata.[1]
Terdapat
keberatan mengenai kriteria ini, memang ini ada benarnya. Pada tiap-tiap
peraturan hukum memang tersangkut kepentingan umum. Sebaliknya tiap-tiap
peraturan hukum juga menyinggung kepentingan-kepentingan perseorangan. Akan
tetapi hal itu tidaklah melemahkan kriteria yang kita terima di atas tadi.
Sebab kriteria itu tidak terletak pada hal bahwa pada peraturan hukum yang satu
tersangkut kepentingan pribadi; melainkan bahwa hukum publik mengatur
kepentingan umum dan hukum perdata mengatur kepentingan pribadi.[2]
Jadi
hukum perdata adalah
peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus
dan yang soal akan dipertahankannya atau tidak diserahkan kepada yang
berkepentingan. Hukum publik adalah
peraturan-peraturan hukum yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan umum dan
yang karena itu, soal mempertahankannya dilakukan pemerintah.[3]
II. Pembagian Hukum
Menurut Daya Kerjanya
Pembagian
hukum menurut daya kerjanya dibagi ke dalam dua bagian, yaitu hukum yang
memaksa dan hukum yang mengatur.
Nama
hukum yang memaksa tidaklah tepat.
Segala hukum sifatnya memaksa. Tetapi dengan hukum yang memaksa (juga disebut hukum yang memerintah atau hukum yang mutlak) dimaksud
peraturan-peraturan, untuk orang-orang yang berkepentingan tidak boleh
menyimpang dari perjanjian. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat,
artinya tidak perduli para pihak menghendakinya atau tidak.[4]
Juga
nama hukum yang mengatur, sebenarnya kurang
tepat. Dikarenakan segala hukum sifatnya mengatur. Tetapi dengan hukum yang
mengatur (disebut juga hukum tambahan,
hukum relatif atau hukum dispositif)
dimaksud adalah peraturan-peraturan yang tunduk kepada peraturan yang dibuat
dengan perjanjian oleh yang berkepentingan. Hukum yang mengatur hanya mengatur
dan tidak mengikat tanpa syarat. Ia hanya mengikat jika dan sepanjang para
pihak yang berkepentingan tidak menentukan peraturan lain dengan perjanjian.[5]
Di
antara perbedaan hukum yang memaksa dan hukum yang mengatur pada satu pihak dan
hukum publik dan hukum perdata pada pihak lain terdapat persamaan. Hukum publik
biasanya hukum yang memaksa, karena ia mengatur kepentingan-kepentingan umum. Karena
itu biasanya tidak diperbolehkan menyimpang daripadanya untuk
kepentingan-kepentingan subjek hukum (purusa) khusus,
meskipun terdapat pengecualian, akan tetapi jarang.[6]
Sebaliknya,
hukum perdata biasanya adalah hukum yang mengatur, karena ia mengatur
kepentingan perdata. Dan pembentuk undang-undang pada umumnya memberi kebebasan
pada subjek hukum (purusa) khusus untuk mengatur
kepentingan-kepentingan sebagaimana yang dikehendaki. Dengan kata lain, pada
umumnya hukum perdata adalah wilayah otonomi daripada purusa-purusa/subjek
hukum-subjek hukum khusus.[7]
_________________________________
|
1. “Pengantar
Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan
Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 171.
2. L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 172.
3. L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 174.
4. L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 182-183.
5. L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 183.
6. L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.
7. L. J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar