(id.Wikipedia.org)
Oleh:
Tim Hukumindo
Pada zaman pra kemerdekaan-kemerdekaan, para advokat turut memberi sumbangsih dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Diantaranya adalah Alisastroamidjojo, M. Roem, Singgih, Sastro Moeljono, Soedjoedi dan Besar Mertokoesoemo. Artikel ini bermaksud memperkenalkan yang terakhir. Meskipun demikian, masih ada nama-nama lain para tokoh pra kemerdekaan-kemerdekaan RI yang berlatar belakang ilmu hukum, akan tetapi bukan dalam konteks advokat. Dikarenakan keterbatasan literatur, artikel ini bermaksud sebatas memperkenalkan tokoh dimaksud, setidaknya dapat menyajikan informasi khusus terkait profesi advokat.
Latar Belakang Keluarga Dan Pendidikan
Latar Belakang Keluarga Dan Pendidikan
Besar
Mertokoesoemo terlahir sebagai anak priyayi rendah. Di masa kolonial, hidupnya
tergolong beruntung. Laki-laki kelahiran Brebes, 8 Juli 1894 ini adalah putra
dari Mas Soemoprawiro Soemowidjojo, seorang mantri gudang garam di Pemalang. Dalam
salah satu keterangan, dinamai Besar oleh ayahnya karena dia lahir di bulan ke-sepuluh
dalam kalender Islam.[1]
Sebagai
anak priyayi, dia disekolahkan di sekolah elite kolonial. Mulai dari SD di Europeesche Lagere School (ELS) di
Pekalongan. Lalu sekolah menengahnya dienyam di Hogere Burger School (HBS) Semarang. HBS tak ditamatkannya, karena
dia masuk Recht School (sekolah
hukum, yang sering diartikan sebagai sekolah kehakiman) di Betawi. Besar yang
masuk sekolah kehakiman di tahun 1909 dan lulus pada 1915, Kemudian ditempatkan
di Pekalongan sebagai Ambtenaar ter
Beschikking (pegawai yang diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Negeri. Pada
1919, dia dipindahkan ke Pengadilan Negeri (landraad)
Semarang.[2]
Di
pengadilan rendah yang biasa mengadili perkara hukum warga negara kelas tiga
alias pribumi itu, Besar melihat betapa rendahnya orang-orang pribumi. Menurut
Sudiro, Besar sadar dirinya bukan murid yang cerdas di sekolah, tapi ia tak mau
berpuas diri dengan hanya bekerja di pengadilan rendah. Besar ingin punya
karier lebih baik lagi. Dia tak mau jadi pembela sekelas pokrol bambu, yang
pengetahuan dan pemikirannya di bidang hukum tak bisa dibandingkan dengan
sarjana hukum kolonial yang biasanya bergelar Meester in Rechten (Mr). Pengacara dengan gelar “Mr” tentu jauh
lebih baik. Recht School tidak
meluluskan sarjana hukum alias Meester in
Rechten. Recht School baru setara sekolah menengah kejuruan. Ketika Besar
baru lulus Recht School, Sekolah
tinggi hukum alias Recht Hoogeschool
(RHS) belum ada di Hindia Belanda. Baru pada 1924 RHS berdiri di lahan bekas Recht School. Untuk meraih gelar
"Mr" yang lebih dipandang orang, Besar pun hijrah ke Belanda sekitar
1919-1920.[3]
Advokat Pribumi
Pertama
Besar
berangkat dan kuliah dengan dana sendiri. Dia kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Leiden. Lulus sekitar 1923. Setelah pulang ke Hindia Belanda, tentu
saja dengan menggondol gelar “Mr” di depan namanya, adalah modal besar baginya
untuk membuka praktik pengacara. Menurut salah satu sumber, “Besar tidak sudi menjadi pegawai dari
pemerintah penjajahan lagi. Padahal tawaran-tawaran dengan gaji yang besar
berkali-kali disampaikan padanya. Beliau telah memilih pekerjaan swasta sebagai
advokat (pengacara).”[4]
Menurut
Daniel S. Lev, Mr. Besar Martokoesoemo juga pengacara yang buka praktik pertama
kali di Indonesia. Laki-laki berpakaian necis yang kerap jadi pengacara untuk
orang-orang Belanda di Semarang ini pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo cabang
Tegal dari 1934 hingga 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari
1939 hingga 1940.[5]
Meski
di zaman kolonial dia pernah ogah jadi ambtenar,
di zaman Jepang, setelah hampir dua dekade jadi pengacara di Tegal dan
Semarang, Besar Martokoesoemo rela jadi pamongpraja. Setelah Hindia Belanda
bubar dan Jepang berkuasa, daerah-daerah yang diduduki Jepang kekurangan birokrat,
karena birokrat Belanda-Eropa banyak masuk kamp tawanan. Akhirnya Besar
diangkat sebagai Walikota Tegal, Bupati Tegal, lalu Wakil Residen Pekalongan.
Ketika Indonesia merdeka, dia pernah diangkat pula jadi Residen Pekalongan,
kemudian Semarang.[6]
Alasan Memilih Karir
Advokat
Ada
hal menarik, yaitu sekembalinya ke tanah air dan membuka kantor hukum di Tegal.
Menurut Daniel S. Lev, dalam bukunya berjudul “Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan”,
Penerbit: LP3ES: "Ia (Besar) membuka
kantor di Tegal karena keluarganya tinggal disana, dan mungkin karena beberapa
orang advokat Belanda sudah buka praktik di daerah itu,". Awalnya niat
Besar membuka firma hukum ditentang keras keluarganya. Sebab pihak keluarga
lebih menginginkan Besar bekerja sebagai pamong praja ketimbang menjadi
pengacara, terlebih bekerja sebagai pamong praja lebih memiliki "prestise" ketimbang sebagai
advokat. Keinginan itu bukan tanpa alasan terlebih ayah Besar adalah seorang
Jaksa.[7]
Meski
dengan berat hati dan disertai dengan gerutuan akhirnya keluarga menyetujui
langkah Besar membuka kantor hukum. Seiring berjalannya waktu kantor hukum
Besar berkembang dengan pesat. Ia merekrut sejumlah sarjana hukum Indonesia
untuk bekerja di kantornya semisal Sastro Mulyono, Suyudi dan Sunardi. Besar
juga membuka cabang baru di Semarang. Masih menurut Daniel S. Lev., "Ia (Besar_red) amat mengutamakan kerja
baik di antara pada advokat. Masing-masing advokat menerima bagian 600 gulden
per-bulan ditambah dengan keuntungan,".[8]
Selama
menjadi advokat, Besar mendapatkan penghormatan dari para hakim-hakim Belanda.
Sikap hormat yang ditunjukkan hakim-hakim Belanda disebabkan karena pengadilan
adalah tempat tinggi untuk mencari keadilan. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut advokat dipandang sebagai salah satu unsur penting dalam proses
pencarian keadilan dan kepastian hukum. Dari berbagai kasus-kasus yang
ditangani olehnya, kasus membela rakyat miskin adalah kasus yang paling
berkesan sekaligus membuat jengkel Besar. Betapa tidak dalam setiap sidang di
landraad, hakim menggunakan bahasa Belanda dan jaksa menterjemahkan dakwaan
hakim. Dalam perkara pidana di depan landraad terdakwa bangsa Indonesia asal
desa duduk di lantai, membongkok dalam-dalam dan sangat ketakutan. "Mr. Besar mengutarakan kesemuanya itu
dengan kebencian yang sangat kentara terhadap sikap merendahkan diri orang
Indonesia di depan pengadilan," tandas Daniel S. Lev.[9]
________________________________
|
1. "Mr. Besar Martokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama Kelahiran Brebes",
Tirto.id, Diakses pada 30 Mei 2019, https://tirto.id/mr-besar-martokoesoemo-advokat-pribumi-pertama-kelahiran-brebes-cQJ6.
2.
Ibid.
3.
Ibid.
4.
Ibid.
5.
Ibid.
6.
Ibid.
7. "Mengenal Besar Mertokusumo,
Advokat Pertama Di Indonesia", Merahputih.com,
Bahaudin Marcopolo, 25 Januari 2016, Diakses Pada 30 Mei 2019, https://merahputih.com/post/read/mengenal-besar-martokoesoemo-advokat-pertama-di-indonesia
8.
Ibid.
9.
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar