Senin, 03 Juni 2019

Besar Mertokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada zaman pra kemerdekaan-kemerdekaan, para advokat turut memberi sumbangsih dalam usaha kemerdekaan Indonesia. Diantaranya adalah Alisastroamidjojo, M. Roem, Singgih, Sastro Moeljono, Soedjoedi dan Besar Mertokoesoemo. Artikel ini bermaksud memperkenalkan yang terakhir. Meskipun demikian, masih ada nama-nama lain para tokoh pra kemerdekaan-kemerdekaan RI yang berlatar belakang ilmu hukum, akan tetapi bukan dalam konteks advokat. Dikarenakan keterbatasan literatur, artikel ini bermaksud sebatas memperkenalkan tokoh dimaksud, setidaknya dapat menyajikan informasi khusus terkait profesi advokat.

Latar Belakang Keluarga Dan Pendidikan

Besar Mertokoesoemo terlahir sebagai anak priyayi rendah. Di masa kolonial, hidupnya tergolong beruntung. Laki-laki kelahiran Brebes, 8 Juli 1894 ini adalah putra dari Mas Soemoprawiro Soemowidjojo, seorang mantri gudang garam di Pemalang. Dalam salah satu keterangan, dinamai Besar oleh ayahnya karena dia lahir di bulan ke-sepuluh dalam kalender Islam.[1]

Sebagai anak priyayi, dia disekolahkan di sekolah elite kolonial. Mulai dari SD di Europeesche Lagere School (ELS) di Pekalongan. Lalu sekolah menengahnya dienyam di Hogere Burger School (HBS) Semarang. HBS tak ditamatkannya, karena dia masuk Recht School (sekolah hukum, yang sering diartikan sebagai sekolah kehakiman) di Betawi. Besar yang masuk sekolah kehakiman di tahun 1909 dan lulus pada 1915, Kemudian ditempatkan di Pekalongan sebagai Ambtenaar ter Beschikking (pegawai yang diperbantukan) pada Ketua Pengadilan Negeri. Pada 1919, dia dipindahkan ke Pengadilan Negeri (landraad) Semarang.[2]

Di pengadilan rendah yang biasa mengadili perkara hukum warga negara kelas tiga alias pribumi itu, Besar melihat betapa rendahnya orang-orang pribumi. Menurut Sudiro, Besar sadar dirinya bukan murid yang cerdas di sekolah, tapi ia tak mau berpuas diri dengan hanya bekerja di pengadilan rendah. Besar ingin punya karier lebih baik lagi. Dia tak mau jadi pembela sekelas pokrol bambu, yang pengetahuan dan pemikirannya di bidang hukum tak bisa dibandingkan dengan sarjana hukum kolonial yang biasanya bergelar Meester in Rechten (Mr). Pengacara dengan gelar “Mr” tentu jauh lebih baik. Recht School tidak meluluskan sarjana hukum alias Meester in Rechten. Recht School baru setara sekolah menengah kejuruan. Ketika Besar baru lulus Recht School, Sekolah tinggi hukum alias Recht Hoogeschool (RHS) belum ada di Hindia Belanda. Baru pada 1924 RHS berdiri di lahan bekas Recht School. Untuk meraih gelar "Mr" yang lebih dipandang orang, Besar pun hijrah ke Belanda sekitar 1919-1920.[3]

Advokat Pribumi Pertama

Besar berangkat dan kuliah dengan dana sendiri. Dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden. Lulus sekitar 1923. Setelah pulang ke Hindia Belanda, tentu saja dengan menggondol gelar “Mr” di depan namanya, adalah modal besar baginya untuk membuka praktik pengacara. Menurut salah satu sumber, “Besar tidak sudi menjadi pegawai dari pemerintah penjajahan lagi. Padahal tawaran-tawaran dengan gaji yang besar berkali-kali disampaikan padanya. Beliau telah memilih pekerjaan swasta sebagai advokat (pengacara).”[4]

Menurut Daniel S. Lev, Mr. Besar Martokoesoemo juga pengacara yang buka praktik pertama kali di Indonesia. Laki-laki berpakaian necis yang kerap jadi pengacara untuk orang-orang Belanda di Semarang ini pernah menjadi Ketua Boedi Oetomo cabang Tegal dari 1934 hingga 1939 dan Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) dari 1939 hingga 1940.[5]

Meski di zaman kolonial dia pernah ogah jadi ambtenar, di zaman Jepang, setelah hampir dua dekade jadi pengacara di Tegal dan Semarang, Besar Martokoesoemo rela jadi pamongpraja. Setelah Hindia Belanda bubar dan Jepang berkuasa, daerah-daerah yang diduduki Jepang kekurangan birokrat, karena birokrat Belanda-Eropa banyak masuk kamp tawanan. Akhirnya Besar diangkat sebagai Walikota Tegal, Bupati Tegal, lalu Wakil Residen Pekalongan. Ketika Indonesia merdeka, dia pernah diangkat pula jadi Residen Pekalongan, kemudian Semarang.[6]

Alasan Memilih Karir Advokat

Ada hal menarik, yaitu sekembalinya ke tanah air dan membuka kantor hukum di Tegal. Menurut Daniel S. Lev, dalam bukunya berjudul “Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan”, Penerbit: LP3ES: "Ia (Besar) membuka kantor di Tegal karena keluarganya tinggal disana, dan mungkin karena beberapa orang advokat Belanda sudah buka praktik di daerah itu,". Awalnya niat Besar membuka firma hukum ditentang keras keluarganya. Sebab pihak keluarga lebih menginginkan Besar bekerja sebagai pamong praja ketimbang menjadi pengacara, terlebih bekerja sebagai pamong praja lebih memiliki "prestise" ketimbang sebagai advokat. Keinginan itu bukan tanpa alasan terlebih ayah Besar adalah seorang Jaksa.[7]

Meski dengan berat hati dan disertai dengan gerutuan akhirnya keluarga menyetujui langkah Besar membuka kantor hukum. Seiring berjalannya waktu kantor hukum Besar berkembang dengan pesat. Ia merekrut sejumlah sarjana hukum Indonesia untuk bekerja di kantornya semisal Sastro Mulyono, Suyudi dan Sunardi. Besar juga membuka cabang baru di Semarang. Masih menurut Daniel S. Lev., "Ia (Besar_red) amat mengutamakan kerja baik di antara pada advokat. Masing-masing advokat menerima bagian 600 gulden per-bulan ditambah dengan keuntungan,".[8]

Selama menjadi advokat, Besar mendapatkan penghormatan dari para hakim-hakim Belanda. Sikap hormat yang ditunjukkan hakim-hakim Belanda disebabkan karena pengadilan adalah tempat tinggi untuk mencari keadilan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut advokat dipandang sebagai salah satu unsur penting dalam proses pencarian keadilan dan kepastian hukum. Dari berbagai kasus-kasus yang ditangani olehnya, kasus membela rakyat miskin adalah kasus yang paling berkesan sekaligus membuat jengkel Besar. Betapa tidak dalam setiap sidang di landraad, hakim menggunakan bahasa Belanda dan jaksa menterjemahkan dakwaan hakim. Dalam perkara pidana di depan landraad terdakwa bangsa Indonesia asal desa duduk di lantai, membongkok dalam-dalam dan sangat ketakutan. "Mr. Besar mengutarakan kesemuanya itu dengan kebencian yang sangat kentara terhadap sikap merendahkan diri orang Indonesia di depan pengadilan," tandas Daniel S. Lev.[9]
________________________________
1.  "Mr. Besar Martokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama Kelahiran Brebes", Tirto.id, Diakses pada 30 Mei 2019, https://tirto.id/mr-besar-martokoesoemo-advokat-pribumi-pertama-kelahiran-brebes-cQJ6.
2.     Ibid.
3.     Ibid.
4.     Ibid.
5.     Ibid.
6.     Ibid.
7. "Mengenal Besar Mertokusumo, Advokat Pertama Di Indonesia", Merahputih.com, Bahaudin Marcopolo, 25 Januari 2016, Diakses Pada 30 Mei 2019, https://merahputih.com/post/read/mengenal-besar-martokoesoemo-advokat-pertama-di-indonesia
8.     Ibid.
9.     Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A Wife in India Asked For a Divorce Because Her Husband Rarely Bathed

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " 4 Big Companies That Went Bankrupt in I...