Tim Hukumindo
Pada
kuliah sebelumnya berjudul: ‘Sekilas Hukum Pidana’, kita telah mengerti
mengenai definisi hukum pidana dan tugas dari ilmu hukum pidana, maka untuk
kuliah selanjutnya kita mendalami hukum pidana terutama terkait dengan
azas-azas hukum pidana.
Azas-azas Yang
Terkandung Dalam Hukum Pidana
Azas-azas
hukum pidana dapat digolongkan: a). Azas-azas yang dirumuskan di dalam KUHP
atau peraturan perundang-undangan lainnya; b). Azas yang tidak dirumuskan dan
menjadi azas hukum pidana yang tidak tertulis, dan dianut dalam yurisprudensi.[1]
Azas
hukum pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: a). Azas berlakunya undang-undang hukum
pidana menurut tempat, yang mempunyai arti penting bagi penentuan tentang
sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana sesuatu negara itu berlaku
apabila terjadi perbuatan pidana; b). Azas berlakunya undang-undang hukum
pidana menurut waktu, yang mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan
terjadinya perbuatan pidana; c). Azas berlakunya undang-undang hukum pidana
menurut orang sebagai pembuat atau peserta, yang mempunyai arti penting
untuk terjadinya perbuatan pidana dan penuntutannya terhadap seseorang dalam
suatu negara maupun yang berada di luar wilayah negara.[2]
Akan
tetapi lebih baik pembagian tersebut cukup hanya menjadi dua azas, yaitu azas
berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dan waktu saja. Hal ini
disebabkan untuk lebih mudah menghadapi masalah lain di bidang hukum pidana
yang sering mencampuradukkan tentang ajaran mengenai tempat dan waktu
terjadinya delik/perbuatan pidana.[3]
Azas Berlakunya Hukum
Pidana Menurut Tempat
Azas
berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, dapat dibedakan menjadi empat azas. Pertama yaitu azas territorial (territorialiteits-beginsel), azas personal (personaliteits-beginsel),
azas perlindungan atau national passif
(bescermings-beginsel atau passif nationaliteit-beginsel), dan azas
universal (universaliteit-beginsel).[4]
Pasal
2 KUHP mengandung azas territorialitas,
yang menyatakan aturan pidana (wettelijke
strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia. Azas territorial
berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana
yang terjadi di dalam wilayah negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai
warga negara maupun orang asing. Menurut pasal ini berlakunya undang-undang
hukum pidana dititikberatkan pada tempat perbuatan di wilayah negara Indonesia
dan tidak mensyaratkan bahwa si pembuat harus berada di wilayah, tetapi cukup
dengan bersalah dengan melakukan perbuatan pidana yang “terjadi” di dalam wilayah negara Indonesia.[5]
Azas
personal (actief nationaliteit) yang
terkandung dalam Pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah, yaitu:[6]
- Pada ayat (1) ke-1 menentukan beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat diharapkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana negara asing, oleh karena pembuat deliknya adalah warga negara Indonesia dan karena kurang perhatian terhadap kepentingan khusus negara Indonesia, maka kepada setiap warga negara Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
- Ayat (1) ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa: 1) perbuatan-perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan terjadi. Dua syarat itu harus dipenuhi, sebab apabila menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, maka KUHP tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (di luar golongan pertama). Jadi semua kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga negara Indonesia di luar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama sekali. Atau dapat pula dikatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) ke-1 mempunyai tujuan khusus, sedangkan Pasal 5 ayat (1) ke-2 mempunyai tujuan umum yang bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain. Secara teoritis, akan timbul persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan kejahatan di daerah tidak bertuan (laut lepas) di dalam kapal asing atau kapal terbang.
- Pada ayat (2) untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang sing di luar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasi menjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan Pasal 5 ayat (1) kedua masih dapat dilaksanakan.
Pengertian
azas nasional passif adalah azas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum
pidana Indonesia di luar wilayah negara bagi setiap orang, warga negara atau
orang asing yang melanggar kepentingan hukum Indonesia, atau melakukan
perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan kepentingan nasional Indonesia
di luar negeri. Titik berat azas ini ditujukan kepada perlindungan kepentingan
nasional yang dibahayakan oleh perbuatan pidana yang dilakukan seseorang di
luar negeri, sehingga azas yang demikian ini juga dapat disebut azas perlindungan.
Pasal 4 ke-1, ke-2 bagian akhir dan ke-3 KUHP mengandung azas nasional passif.[7]
Azas
universal adalah azas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan
pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah
negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Namun tidak mungkin semua
kepentingan hukum di dunia akan mendapat perlindungan, melainkan hanya untuk
kejahatan yang menyangkut tentang keuangan dan pelayaran. Pasal 4 ke-2 kalimat
pertama dan ke-4 KUHP mengandung azas universal yang melindungi kepentingan
hukum dunia terhadap kejahatan dalam mata uang atau uang kertas dan pembajakan
laut, yang dilakukan oleh setiap orang, dan dimana saja dilakukan.[8]
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 56.
2. Ibid. Hal.: 56-57.
3. Ibid.
Hal.: 57.
4. Ibid.
Hal.: 58.
5. Ibid.
Hal.: 58.
6. Ibid.
Hal.: 62.
7. Ibid.
Hal.: 63-64.
8. Ibid.
Hal.: 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar