Rabu, 03 Juli 2019

Azas-azas Hukum Pidana Menurut Tempat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya berjudul: ‘Sekilas Hukum Pidana’, kita telah mengerti mengenai definisi hukum pidana dan tugas dari ilmu hukum pidana, maka untuk kuliah selanjutnya kita mendalami hukum pidana terutama terkait dengan azas-azas hukum pidana.

Azas-azas Yang Terkandung Dalam Hukum Pidana

Azas-azas hukum pidana dapat digolongkan: a). Azas-azas yang dirumuskan di dalam KUHP atau peraturan perundang-undangan lainnya; b). Azas yang tidak dirumuskan dan menjadi azas hukum pidana yang tidak tertulis, dan dianut dalam yurisprudensi.[1]

Azas hukum pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: a). Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, yang mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya undang-undang hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana; b). Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, yang mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana; c). Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang sebagai pembuat atau peserta, yang mempunyai arti penting untuk terjadinya perbuatan pidana dan penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu negara maupun yang berada di luar wilayah negara.[2]

Akan tetapi lebih baik pembagian tersebut cukup hanya menjadi dua azas, yaitu azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat dan waktu saja. Hal ini disebabkan untuk lebih mudah menghadapi masalah lain di bidang hukum pidana yang sering mencampuradukkan tentang ajaran mengenai tempat dan waktu terjadinya delik/perbuatan pidana.[3]

Azas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

Azas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat, dapat dibedakan menjadi empat azas. Pertama yaitu azas territorial (territorialiteits-beginsel), azas personal (personaliteits-beginsel), azas perlindungan atau national passif (bescermings-beginsel atau passif nationaliteit-beginsel), dan azas universal (universaliteit-beginsel).[4]

Pasal 2 KUHP mengandung azas territorialitas, yang menyatakan aturan pidana (wettelijke strafbepalingen) dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia. Azas territorial berarti perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, yang dilakukan oleh setiap orang, baik sebagai warga negara maupun orang asing. Menurut pasal ini berlakunya undang-undang hukum pidana dititikberatkan pada tempat perbuatan di wilayah negara Indonesia dan tidak mensyaratkan bahwa si pembuat harus berada di wilayah, tetapi cukup dengan bersalah dengan melakukan perbuatan pidana yang “terjadi” di dalam wilayah negara Indonesia.[5]

Azas personal (actief nationaliteit) yang terkandung dalam Pasal 5 KUHP dapat dibagi atas tiga golongan masalah, yaitu:[6]

  1. Pada ayat (1) ke-1 menentukan beberapa perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan nasional bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan itu tidak dapat diharapkan dikenai pidana ataupun sungguh-sungguh untuk dituntut oleh undang-undang hukum pidana negara asing, oleh karena pembuat deliknya adalah warga negara Indonesia dan karena kurang perhatian terhadap kepentingan khusus negara Indonesia, maka kepada setiap warga negara Indonesia yang di luar wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana tertentu itu berlaku KUHP.
  2. Ayat (1) ke-2 memperluas ketentuan golongan pertama, dengan syarat-syarat bahwa: 1) perbuatan-perbuatan yang terjadi harus merupakan kejahatan menurut ketentuan KUHP, dan 2) juga harus merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana negara asing dimana perbuatan terjadi. Dua syarat itu harus dipenuhi, sebab apabila menurut hukum pidana negara asing tidak diancam dengan pidana, maka KUHP tidak berlaku sekalipun sebagai kejahatan (di luar golongan pertama). Jadi semua kejahatan yang diatur dalam KUHP praktisnya mengikuti warga negara Indonesia di luar negeri, dengan pengecualian terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut hukum pidana negara asing tidak dapat dipidana sama sekali. Atau dapat pula dikatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) ke-1 mempunyai tujuan khusus, sedangkan Pasal 5 ayat (1) ke-2 mempunyai tujuan umum yang bersyarat, sehingga kedua-duanya tidak dapat meniadakan yang lain. Secara teoritis, akan timbul persoalan apabila warga negara Indonesia melakukan kejahatan di daerah tidak bertuan (laut lepas) di dalam kapal asing atau kapal terbang.
  3. Pada ayat (2) untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan dengan perhitungan yang masak dan agar tidak lolos dari tuntutan hukum, yaitu apabila orang sing di luar negeri melakukan kejahatan (golongan kedua) dan sesudah itu melakukan naturalisasi menjadi warga negara Indonesia, maka penuntutan atas kejahatan Pasal 5 ayat (1) kedua masih dapat dilaksanakan.

Pengertian azas nasional passif adalah azas yang menyatakan berlakunya undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah negara bagi setiap orang, warga negara atau orang asing yang melanggar kepentingan hukum Indonesia, atau melakukan perbuatan pidana yang membahayakan kepentingan kepentingan nasional Indonesia di luar negeri. Titik berat azas ini ditujukan kepada perlindungan kepentingan nasional yang dibahayakan oleh perbuatan pidana yang dilakukan seseorang di luar negeri, sehingga azas yang demikian ini juga dapat disebut azas perlindungan. Pasal 4 ke-1, ke-2 bagian akhir dan ke-3 KUHP mengandung azas nasional passif.[7]

Azas universal adalah azas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Namun tidak mungkin semua kepentingan hukum di dunia akan mendapat perlindungan, melainkan hanya untuk kejahatan yang menyangkut tentang keuangan dan pelayaran. Pasal 4 ke-2 kalimat pertama dan ke-4 KUHP mengandung azas universal yang melindungi kepentingan hukum dunia terhadap kejahatan dalam mata uang atau uang kertas dan pembajakan laut, yang dilakukan oleh setiap orang, dan dimana saja dilakukan.[8]

_________________________________
1.  “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 56.
2.  Ibid. Hal.: 56-57.
3.  Ibid. Hal.: 57.
4.  Ibid. Hal.: 58.
5.  Ibid. Hal.: 58.
6.  Ibid. Hal.: 62.
7.  Ibid. Hal.: 63-64.
8.  Ibid. Hal.: 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar