Tim Hukumindo
Pada
kuliah sebelumnya berjudul: ‘Azas Hukum Pidana Menurut Tempat’, kita telah mengerti mengenai azas-azas hukum pidana
menurut tempat, maka untuk kuliah selanjutnya kita mendalami azas hukum pidana menurut
waktu.
Sumber
utama tentang berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, tersimpul di
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Antara lain pengertian yang dapat diberikan kepada
Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah:[1]
- Mempunyai makna “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya: tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu. (Sifat umum adagium di dalam ilmu hukum pidana);
- Mempunyai makna “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut” (Mr. J.E. Jonkers 1946: 37);
- Mempunyai makna “lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu (Mr. D.H. Suringa 1968: 305).
Pada
mulanya timbul pikiran klasik melalui saluran politik untuk melindungi kepentingan
“rakyat banyak” dari kekuasaan
sewenang-wenang dari Raja-raja yang absolut, dengan cara membatasi kekuasaan
Raja untuk menuntut dan menjatuhkan putusan pengadilan yang bertentangan dengan
azas-azas yang diakui sesuai dengan hak asasi manusia.[2]
Perlindungan
kepentingan rakyat di negara Barat itu ternyata lebih menitikberatkan kepada
kepentingan individu yang terkandung dalam deklarasi Magna Charta 1215 dan
Habeas Corpus Act 1679. Di Eropa, terutama Prancis, dianggap tokoh yang pertama
adalah Montesquieu menyatakan perlunya perlindungan kemerdekaan dan pribadi
individu terhadap suatu tuntutan serta tindakan hakim yang sewenang-wenang.
Seorang sarjana Jerman bernama A. Von Feurbach merumuskan adagium dalam bahasa
Latin “Nullum delictum, nulla poena sine
praevia lege poenali” yang terkandung dalam buku karangan “Lehrbuch des peinlichen Rechts” (1801).[3]
Sepanjang
sejarah perkembangan hukum pidana dengan segala faktor-faktor yang
mempengaruhi, kiranya dapat disusun dalam empat macam sifat ajaran yang
dikandung oleh azas legalitas:[4]
- Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum (rechtszekerheid en rechtsgelijkheid) terhadap penguasa agar tidak sewenang-wenang.
- Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat serta tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota masyarakat, karena itu masyarakat harus mengetahui lebih dahulu rumusan peraturan yang memuat tentang perbuatan pidana dan ancaman pidananya.
- Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada dua unsur yang sama pentingnya, yaitu bahwa yang diatur oleh hukum pidana tidak hanya memuat ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang mau menghindari perbuatan itu, tetapi harus juga diatur mengenai ancaman pidananya agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.
- Azas legalitas hukum pidana, yang mendasarkan titik berat pada perlindungan hukum lebih utama kepada negara dan masyarakat daripada kepentingan individu, dengan pokok pikiran tertuju kepada “a crime is a socially dangerous act of commission of ommission as prescribed in criminal law”.
Berlakunya
azas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP sebenarnya tidaklah mutlak, dengan
alasan bahwa KUHP bukan merupakan undang-undang dasar melainkan sekedar
kodifikasi undang-undang hukum pidana, dan selain itu derajat undang-undang
selalu dimungkinkan dapat diubah oleh pembentuk undang-undang (DPR bersama
Pemerintah) jika dipandang perlu. Lain halnya apabila asas legalitas itu
sekaligus ada perumusannya di dalam Undang-undang Dasar yang tidak secara mudah
untuk mengadakan perubahannya.[5]
Pembentuk
undang-undang telah menetapkan pengecualiannya Pasal 1 ayat (1) KUHP di dalam
Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mempunyai dua ketentuan pokok, yaitu: a). Sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan; b). Dipakai aturan
yang meringankan/menguntungkan. [6]
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 68.
2. Ibid.
Hal.: 68.
3. Ibid.
Hal.: 69.
4. Ibid.
Hal.: 72-73.
5. Ibid.
Hal.: 76.
6. Ibid.
Hal.: 76.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar