Tim Hukumindo
Kuliah
sebelumnya berjudul: ‘Azas-azas Tidak Tertulis Dalam Hukum Pidana’, telah kita lalui, selanjutnya dalam
kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan pengertian dari "delik".
Istilah Delik
Di
dalam KUHP (WvS) dikenal dengan istilah strafbaar
feit. Kepustakaan hukum pidana sering mempergunakan istilah ‘delik’, sedangkan pembuat undang-undang
dalam merumuskan undang-undang mempergunakan istilah ‘peristiwa pidana’ atau ‘perbuatan
pidana’, atau ‘tindak pidana’. Tanpa
mempersoalkan perbedaan istilah seperti tersebut di atas, yang nantinya akan
ditulis tersendiri, pada kesempatan ini akan dicari pengertian strafbaar feit lebih dahulu menurut
pendapat para ahli hukum Belanda.[1]
Pengertian Delik
Vos
dalam Bambang Poernomo terlebih dahulu mengemukakan arti delict sebagai “Tatbestandmassigheit”
dan delik sebagai “Wesenschau”. Makna
“Tatbestandmassigheit” merupakan
kelakuan yang mencocoki lukisan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang
yang bersangkutan, maka dari situ telah ada delik. Sedangkan makna “Wesenschau” merupakan kelakuan yang
mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka
baru merupakan delik apabila kelakuan itu “dem
Wesen nach” yaitu menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang
dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan.[2]
Delik
menurut pengertian sebagai “Wesenschau”
telah diikuti oleh para ahli hukum pidana dan jurisprudensi di negeri Belanda
dalam hubungannya dengan ajaran sifat melawan hukum yang materiil.[3]
Pengertian
dari istilah “strafbaar feit” menurut
Vos dalam Bambang Poernomo adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana
oleh peraturan perundang-undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya
dilaran dengan ancaman pidana.[4]
Menurut
Pompe dalam Bambang Poernomo, pengertian “strafbaar
feit” dibedakan atas:[5]
- Definisi menurut teori memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
- Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Sejalan
dengan definisi yang membedakan antara pengertian menurut teori dan menurut
hukum positif itu, juga dapat dikemukakan pandangan dari Jonkers yang telah
memberikan definisi ‘strafbaar feit’ menjadi
dua pengertian:[6]
- Definisi pendek memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;
- Definisi panjang atau lebih mendalam yang memberikan pengertian ‘strafbaar feit’ adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jalan
pikiran menurut definisi pendek pada hakikatnya menyatakan bahwa pastilah untuk
setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain
daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang.[7]
Sedangkan
dalam definisi yang panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan
pertanggungan jawab yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara
tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diam-diam
dianggap ada. Apabila dirumuskan secara tegas justru dalam membuktikan
unsur-unsur delik tersebut akan banyak persoalan, untuk setiap kali harus
dibuktikan yang merupakan beban yang berat bagi penuntut umum.[8]
Di
dalam mencari elemen yang terdapat di dalam ‘strafbaar feit’ oleh Vos telah ditunjuk pendapat dari Simons yang
menyatakan suatu ‘strafbaar feit’ adalah
perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan. Dari pengertian ini dapat dikatakan suatu ‘strafbaar feit’ mempunyai elemen “wederrechtelijkheid” dan “schuld”.[9]
Bambang
Poernomo menyimpulkan, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti, yaitu menunjuk kepada perbuatan
yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan.[10]
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 90.
2. Ibid.
Hal.: 90.
3. Ibid.
Hal.: 91.
4. Ibid.
Hal.: 91.
5. Ibid.
Hal.: 91.
6. Ibid.
Hal.: 91.
7. Ibid.
Hal.: 91.
8. Ibid.
Hal.: 91-92.
9. Ibid.
Hal.: 92.
10.
Ibid. Hal.: 92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar