Tim Hukumindo
Dalam
kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Masalah yang Terdapat dalam Elemen Kelakuan, Elemen Akibat, dan Elemen Melawan Hukum’,
telah dibahas sekilas mengenai problem kausalitas, pada kesempatan ini akan diteruskan
dan dilakukan pembahasan lebih lanjut.
Sebagaimana
dipahami sebelumnya, di dalam merumuskan delik sebagai strafbaarfeit terdapat elemen akibat dari perbuatan, artinya suatu
hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang
dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Penentuan hubungan kausalitas
yang beraneka ragam dapat dikelompokan menjadi beberapa teori dasar pertumbuhan
yurisprudensi:[1]
- Teori Conditio Sine Qua Non;
- Kelompok teori yang mengindividualisasi;
- Kelompok teori yang menggeneralisasi;
- Teori Relevansi;
- Yurisprudensi mengenai penentuan kasusalitas.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, maka selanjutnya akan dibahas satu per satu
sebagaimana berikut ini.
1. Teori Condition
Sine Qua Non
Teori
ini dikemukakan oleh Von Buri, seorang berkebangsaan Jerman. Menurut teori ini,
semua syarat yang menyebabkan akibat dipandang sebagai musabab. Semua syarat
dipandang sebagai musabab untuk terjadinya akibat, sehingga tidak dibedakan
mana syarat yang dapat menjadi musabab dan mana yang hanya merupakan syarat
belaka, maka ajaran teori ini (menjadi) terlalu luas.[2]
Perbuatan
menempatkan pelayan tidur di dapur belakang kemudian ternyata digigit serangga
berbisa dan meninggal, maka perbuatan menempatkan pelayan itu di dapur dianggap
kausal kematian. Teori ini menyamakan antara syarat dan musabab, pada
hakikatnya dapat menjadi dasar dari semua ajaran kausal dengan sedikit
perbedaan pola berpikir. Di satu pihak mencari syarat mana yang terpenting
untuk terjadinya akibat dan di lain pihak menghargai sama tiap-tiap syarat yang
secara umum dapat menimbulkan akibat.[3]
2. Kelompok Teori yang
Mengindividualisasi
Kelompok
teori yang mengindividualisasi (individualiseerende
theorien) menentukan syarat mana menurut kenyataan, dengan pertimbangan post factum setelah peristiwa terjadi,
syarat mana yang mempunyai pengaruh terbesar untuk terjadinya akibat.[4]
Teori
ini dapat dirangkum sebagai berikut:[5]
- Teori “meist wirksame Bedigung” dari K. Birkmeyer, mengajarkan tentang faktor yang paling aktif dan elektif. Teori ini timbul kesulitan apabila ada dua menarik kereta, kuda manakah yang paling kuat menarik kereta yang bergerak itu.
- Teori “Gleichgewicht” atau “Uebergewicht”, menyatakan bahwa musabab adalah syarat yang mendorong ke arah timbulnya akibat (positieve) jika dibandingkan dengan syarat yang mencegah (negatieve), atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa syarat adalah musabab jika syarat positif itu menentukan di atas syarat negatif.
- Teori “die Art des Werdens” dari Kohler, mengajarkan dengan membandingkan syarat manakah yang menurut sifatnya dapan menjadi musabab yang menimbulkan akibat.
3. Kelompok Teori yang
Menggeneralisasi
Kelompok
teori yang menggeneralisasi (generaliseerende
theorieen) menghargai pelbagai faktor, yang dapat ditujukan sebagai syarat
untuk terjadinya akibat yang dipertimbangkan secara abstrak menurut sifat umum,
dengan pertimbangan secara ante factum yang
mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat.[6]
Teori
ini dapat dirangkum sebagai berikut:[7]
- Teori “adequate” dari von Kries, mengajarkan teori tentang musabab, adalah sebagai serentetan syarat yang pada umumnya, menurut jalannya kejadian yang normal, dapat menimbulkan akibat. Yang dimaksud normal menurut keadaan sekitar terjadinya akibat dimana terdakwa mengetahui atau seharusnya mengetahui.
- Teori “der adequate Verursachung vom Standpunkte objectivnachtraglicher Prognose” dari Rumelin, mengajarkan teori adequate atas peramalan objektif dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah terjadi akibat.
- Teori “adequate” dari Traeger, mengajarkan teori seimbang, dalam menentukan musabab harus dicari dari syarat yang manakah yang seimbang dengan akibat yang timbul.
4. Teori Relevansi
Teori
“Relevantie” dari Mezger dalam karangannya tentang “Strafrecht” tahun 1931,
mengajarkan bahwa dalam menentukan hubungan sebab-akibat tidak mengadakan
perbedaan antara musabab dan syarat, melainkan dimulai dengan menafsirkan
rumusan delik yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan kelakuan
yang manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat. Jadi
pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu didasarkan apa yang dirumuskan
dalam undang-undang.[8]
Penentuan
hubungan kausal antara kelakuan dan akibat sebagaimana disebutkan di atas, pada
umumnya diterapkan terhadap jenis delik yang dirumuskan commissie delicten yang meliputi materiele delicten, geqwalificeerde delicten, dan formeele delicten.[9]
5. Yurisprudensi mengenai
penentuan kausalitas
Yurisprudensi
mengenai kausalitas berubah-ubah mengikuti ajaran yang berkembang, hal ini
ternyata dalam putusan pengadilan dari negeri Belanda dan Hindia Belanda
dahulu.[10]
Sebelum
tahun 1911 dengan arrest HR 7 Juni 1911 W. 9209 memutuskan bahwa oleh karena
undang-undang tidak menentukan tentang ajaran sebab akibat, maka menyerahkan
kepada hakim dengan kebijaksanaannya untuk memilih ajaran kausalitas.[11]
Pada
tahun 1929 dengan arrest HR 8 April
1920 W. 12004 telah memutuskan perkara dengan ajaran conditio sine qua non dari Von Buri.[12]
Kemudian
dalam tahun 1933 dengan arrest HR 30
Oktober 1933 W. 12683 NJ telah memberikan putusan perkara dengan mengikuti
ajaran adequate yang subjektif dari
V. Kries. Dan ada pula putusan yang mengikuti ajaran adequate yang objektif dari Rumelin dalam putusan HR 11 April 1938
NJ 1938 No. 1020 dan HR 24 Januari 1950 NJ 1950 No. 293.[13]
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 107-108.
2. Ibid.
Hal.: 109.
3. Ibid.
Hal.: 109.
4. Ibid.
Hal.: 109-110.
5. Ibid.
Hal.: 110.
6. Ibid.
Hal.: 110.
7. Ibid.
Hal.: 110.
8. Ibid.
Hal.: 111.
9. Ibid.
Hal.: 112.
10.
Ibid. Hal.: 112.
11.
Ibid. Hal.: 112.
12.
Ibid. Hal.: 112-113.
13.
Ibid. Hal.: 113.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar