Minggu, 18 Agustus 2019

Rehabilitasi Sebagai Hak Penyalahguna Narkotika


(istimewa)

Oleh:
Abdul Ghofur, S.H.
(Divisi Hukum dan Hak Asasi Manusi (HAM) Generasi Anti Narkotika Nasional (GANN) Kota Tangerang.)

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang dimaksud narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun emisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapatm enimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).

Sumber Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, negara kita sudah masuk ke dalam kondisi 'darurat narkotika' sejak 1971 sampai dengan saat ini oleh karena penyalahgunaan narkotika dengan segala macam jenis dan modusnya.

Semestinya, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, pengembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kata penyalahgunaan mempunyai arti proses, cara, perbuatan menyalahgunakan, penyelewengan, sedangkan penyalah gunan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Jadi, dari dua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika yang bertujuan bukan untuk kepentingan kesehatan, pengembangan pengetahuan dan teknologi serta dilakukan dengan tanpa hak dan melawan hukum.

Umumnya, masyarakat sudah mengetahui dampak negatif penyalahgunaan narkotika. Selain akibat hukum yang berujung pada hukuman penjara bahkan hukuman mati, penyalahgunaan narkotika juga menimbulkan rasa ketergantungan dengan narkotika baik secara fisik maupun psikis.

Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran (ukuran) yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama. Apabila penggunaannya dikurangi atau justru dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.

Dalam rangka pengendalian dan menekan tingginya angka penyalahgunaan narkotika berserta dampaknya, maka pemerintah mewajibkan pecandu dan korban penyahguna narkotika menjalani rehabilitasi. Dengan kata lain, rehabilitasi adalah hak bagi pecandu dan koban penyahgunaan narkotika yang menjadi tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan ataupun persidangan di pengadilan.

Bentuk rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dibagi menjadi dua.

Pertama, rehabilitasi medis, yaitu suatu proses pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Kedua, rehabilitasi sosial, yaitu suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalah kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi secara medis maupun sosial baru dapat dilakukan setelah mendapatkan asesmen dari Tim Asesmen Terpadu. Tim Asesmen Terpadu (TAT) adalah tim yang terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hasil rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu itulah rehabilitasi di lembaga rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dapat diselenggarakan semestinya.

Hak rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial di lembaga rehabilasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika diklasifikasikan menjadi empat. Pertama, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika. Kedua, tersangka penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu serta terbukti positiif menggunakan narkotika. Ketiga, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum yang ditangkap atau tertangkap tangan dengan barang bukti melebihi dari jumlah tertentu dan positif memakai Narkotika; Keempat, tersangka penyalahgunaan narkotika diduga sebagai pengedar.

Batas jumlah tertentu bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika pada klasifikasi kedua di atas ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 03 Tahun 2011 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010 sebagai berikut: Kelompok methamphetamine (sabu) seberat 1 (satu) gram. Kelompok MDMA (ekstasi) seberat 24 (dua puluh empat) gram, sama dengan 8 (delapan) butir. Kelompok heroin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok kokain seberat 1,8 (satu koma delapan) gram. Kelompok ganja seberat 5 (lima) gram. Kelompok koka seberat 5 (lima) gram. Meskalin seberat 5 (lima) gram.

Kelompok psilosybin sebanyak 3 (tiga) gram; Kelompok LSD (dlysergic acid diethylamide seberat 2 (dua) gram; Kelompok PCP (phecyclidine) seberat 3 (tiga) gram; Kelompok fentanyl seberat 1 (satu) gram; Kelompok metadon seberat 0,5 (nol koma lima) gram; Kelompok morfin seberat 1,8 (satu koma delapan) gram; Kelompok petidin seberat 0,96 (nol koma sembilan puluh enam) gram; Kelompok kodein seberat 72 (tujuh puluh dua) gram; Kelompok bufrenorfin seberat 32 (tiga puluh dua) milligram. Dan untuk barang bukti melebihi jumlah tertentu sebagaimana pada klasifikasi ketiga di atas adalah melebihi jumlah yang telah ditentukan oleh SEMA Nomor: 04 Tahun 2010 ini.

Bagi pecandu, korban dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti tapi terbukti positiif menggunakan narkotika berhak ditempatkan di tempat rehabilitas milik pemerintah atau pun swasta yang telah ditetapkan sebagai tempat rehabilitasi narkotika. Namun, bagi pecandu, pengedar dan penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti yang melebihi jumlah sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 04 Tahun 2010 berhak mendapatakan rehabilitasi di tempat rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan.

Dalam penempatan pecandu dan penyalahguna narkotika ke lembaga rehabilitasi milik pemerintah, swasta, maupun lembaga rehabilitasi yang ada di dalam lapas, rutan atau cabang rutan, penyidik atau penuntut umum harus menyesuaikan dengan hasil tes urine, darah, rambut dan/atau DNA, dan membuatkan berita acara pemeriksaan hasil laboratorium, berita acara pemeriksaan oleh penyidik dan telah dinyatakan dengan rekomendasi hasil asesmen dari Tim Asesmen Terpadu.

Rangkaian proses permohonan rehabilitasi dimulai dari saat penangkapan oleh Penyidik Polri dan/atau Penyidik BNN dengan mengajukan permohonan asesmen. Asesmen adalah kegiatan yang meliputi wawancara, tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat psikiatris, serta riwayat keluarga dan sosial tersangka dan/atau terdakwa, observasi atas perilaku tersangka dan pemeriksaan fisik dan psikis. Pada tahap penyidikan, asesmen diajukan oleh penyidik, dan pada saat proses persidangan, asesmen diajukan oleh jaksa penuntut umum. Penyidik atau penuntut umum mengajukan asesmen kepada Tim Asesmen Terpadu secara tertulis selambat-lambatnya 1 x 24 (satu kali dua puluh empat jam) dan ditembuskan ke BNN sesuai dengan tempat kejadian perkara.

Setelah permohonan diterima dengan nomor register asesmen, maka selambat-lambatnya 6 (enam) hari Tim Asesmen Terpadu memberikan rekomendasi hasil asesmen yang telah ditandatangani oleh 2 (dua) orang tim hukum dan rekomendasi pelaksanaan rehabilitasi kepada penyidik ataupun jaksa penuntut umum untuk dilaporkan ke pengadilan negeri setempat dan mendapatkan penetapan. Selanjutnya penyidik ataupun penuntut umum menempatkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah dengan dilengkapi berita acara penempatan di lembaga rehabilitasi.

“Tulisan ini dibuat untuk memberikan transendensi kepada kita untuk membantu pecandu dan korban penyalahguna narkotika mendapatkan hak-haknya. Sekaligus memahami teknis dan mekanisme memperjuangkan hak dan martabat mereka sebagai manusia, membantu mereka menjalani konsientisasi hidup yang terrus terarah sebagai proses dimana manusia mendapatkan kesadaran yang semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidup dan kemampuannya untuk mengubah realitas dari belenggu kejahatan narkotika.”

*) Dikutip dari laman berikut ini.


2 komentar:

  1. Hak untuk mendapatkan rehabilitasi penyalahgunaan narkotika adalah HAM

    Berjuang untuk keluar dari lingkaran kejahatan narkotika itu sendiri pastinya butuh support dari berbagai kalangan termasuk keluarga maupun orang sekitarnya

    Empati dan simpati yg diberikan kepada korban sangatlah berarti untuk menimbulkan rasa nyaman dan aman agar bisa keluar dari jeratan narkotika itu sendiri.


    Tulisan yang Bagus bgt, recomended bgt buat di baca berbagai kalangan,
    Nambah wawasan, bahasanya sngt mudah difahami.
    Dan himbauan untuk para korban mendapatkan hak untuk rehabilitasi.


    Semoga Indonesia bukan lagi jadi darurat narkotika untuk kedepannya. Aamiin

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas komentarnya.

    BalasHapus