Tim Hukumindo
Telah
kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pengertian Perbuatan Pidana Dan Strafbaar Feit’,
pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Istilah dan Pengertian Kesalahan (Schuld).
Seseorang
melakukan sesuatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu
perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang hukum pidana sebagai perbuatan
pidana, belumlah berarti bahwa dia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, yang tergantung kepada kesalahannya.[1]
Dapat
dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu
keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana,
dan perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi
kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan
pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan
Hakim terhadap seorang tertuduh yang dituntut di muka pengadilan.[2]
Vos
menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya perbuatan tidaklah mungkin
dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan hukumnya perbuatan
mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Prof. Moeljatno, S.H., menyatakan lebih
baik dengan kalimat, bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi
pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan
perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana.[3]
Istilah
kesalahan berasal dari kata “schuld”,
yang sampai saat sekarang belum resmi diakui sebagai istilah ilmiah yang
mempunyai pengertian pasti, namun sudah sering dipergunakan di dalam
penulisan-penulisan.[4]
Apakah
pengertian kesalahan itu, menurut pandangan para ahli hukum pidana? Ternyata
terdapat keanekaragaman pendapat mengenai apa yang dimaksud pengertian
kesalahan.[5]
Menurut
Jonkers di dalam keterangan tentang “schuldbegrip”
membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan yaitu:[6]
- Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet of schuld);
- Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid);
- dan kemampuan bertanggung jawab (de toerekenbaarheid).
Pompe
berpendapat bahwa pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal yang tercela
(verwijtbaarheid) yang pada
hakikatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid)
kelakuan yang bersifat melawan hukum (der
wederrechtelijke gedraging).
Kemudian dijelaskan pula tentang hakikat tidak mencegah kelakuan yang bersifat
melawan hukum (vermijdbaarheid der
wederrechtelijke gedraging) di dalam perumusan hukum positif, di situ
berarti mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet
en onachtzaamheid) yang mengarah kepada sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kemampuan
bertanggungjawab (toerekenbaarheid).[7]
Kedua
pengertian tentang kesalahan tersebut di atas tampak sekali di dalam bidang
kesalahan terselip elemen melawan hukum. Pendapat ini sebenarnya bertentangan
dengan pandangan mengenai elemen melawan hukum seharusnya terletak pada bidang
perbuatan pidana. Kemudian untuk lebih menyesuaikan dengan pandangan tentang
perbuatan pidana dipisahkan dari kesalahan dengan unsurnya masing-masing,
berikut ini dikemukakan dari beberapa ahli hukum yang berpandangan lain
daripada yang tersebut lebih dahulu. Vos memandang pengertian kesalahan
mempunyai tiga tanda khusus yaitu:[8]
- Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid van de dader);
- Hubungan batin tertentu dari orang yang berbuat, yang perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan;
- Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya.
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia,
Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 135.
2. Ibid.
Hal.: 135.
3. Ibid.
Hal.: 135.
4. Ibid.
Hal.: 135.
5. Ibid.
Hal.: 136.
6. Ibid.
Hal.: 136.
7. Ibid.
Hal.: 136.
8. Ibid.
Hal.: 136-137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar