Tim Hukumindo
Telah
kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Istilah dan Perbuatan Pidana’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengertian
Perbuatan Pidana dan Strafbaar Feit.
Perlu
dijelaskan dahulu adanya penafsiran yang sama atau yang berbeda mengenai
pengertian “perbuatan pidana” dan “tindak pidana”. Selain pengertian yang
diajukan oleh Jonkers, juga telah dikembangkan pengertian perbuatan pidana yang terpisah dari pertanggungjawaban pidana,
sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Moeljatno.[1]
Konsekuensi
dari rumusan strafbaar feit menurut
pandangan Pompe, Jonkers dan Vos telah tumbuh pemikiran baru yang membuat
pemisahan antara "de strafbaarheit van
het feit” dan “de strafbaarheid van
de dader”. Dengan perkataan lain tumbuh pemikiran baru tentang pemisahan
antara “perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana” dan “orang
yang melanggar larangan yang dapat dipidana”, di satu pihak tentang perbuatan
pidana dan di lain pihak tentang kesalahan.[2]
Prof.
Moeljatno, S.H., adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang
telah menganut dan memperkenalkan pengajaran hukum pidana Indonesia tentang
perlunya susunan pemikiran yang memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban dalam hukum pidana.[3]
Dasar
pemikiran adanya perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana
masih dapat dilengkapi dengan masalah yang ditimbulkan karena adanya
perbandingan rumusan strafbaar feit
di satu pihak oleh Simons dan Jonkers, sedangkan di lain pihak oleh Van Hamel
dan Pompe. Simons dan Jonkers dengan rumusannya tentang strafbaar feit telah merumuskan adanya unsur “schuld (opzet of schuld)” dan “toerekeningsvatbaar”,
dimana kedua unsur itu dicantumkan bersama-sama dalam rumusan strafbaar feit. Dari rumusan Simons dan
Jonkers itu kiranya tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami dasar
pemikiran tentang pemisahan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Namun di dalam rumusan strafbaar feit
yang klasik dari Van Hamel dan rumusan strafbaar
feit yang teoritis dari Pompe di situ dijumpai unsur “schuld” saja, sehingga dasar pemikiran yang ada harus tersusun
menjadi perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana.[4]
Doktrin
pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana,
maupun pemisahan antara perbuatan pidana dan kesalahan dalam hukum pidana,
kiranya tidak perlu dipandang sebagai perbedaan prinsip, apabila diikuti
pandangan itu bahwa toerekeningsvatbaarheid
adalah dasar yang penting untuk adanya schuld,
jadi hanyalah letak penekanan saja yang menitikberatkan pada toerekeningsvatbaarheid (pertanggungan
jawab) ataukah pada schuld (kesalahan).[5]
Prof.
Moeljatno, S.H., memberikan arti “perbuatan pidana” mengandung pengertian
bahwa: pertama, adalah kelakuan dan
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan, dan yang kedua, adalah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan
yang merupakan pertanggungjawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan
pidana. Apabila disimpulkan, maka perbuatan pidana itu hanyalah menunjukan
sifatnya perbuatan yang terlarang dengan diancam pidana.[6]
_________________________________
|
1. “Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 125.
2. Ibid.
Hal.: 127.
3. Ibid.
Hal.: 127.
4. Ibid.
Hal.: 128-129.
5. Ibid.
Hal.: 129.
6. Ibid.
Hal.: 129-130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar