Rabu, 16 Oktober 2019

Kesalahan Sebagai Elemen Subjektif Dari Strafbaar Feit

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Pengertian Perbuatan Pidana dan Strafbaar Feit’, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Kesalahan sebagai elemen Subjektif dari Strafbaar Feit.

Beberapa penulis Belanda sering menyebutkan bidang kesalahan sebagai elemen subjektif dari strafbaar feit. Disitu harus diartikan strafbaar feit menurut pengertian luas sebagai elemen subjektif dari strafbaar feit, karena yang paling utama menunjuk kepada pertanggungan jawab dari si pembuat atas perbuatan pidana yang telah dilakukan. Orang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukan, apabila perbuatannya itu dapat dicela. Sifat celaan terhadap si pembuat sudah cukup apabila dicela menurut hukum.[1]

Berikutnya dikatakan pula bidang kesalahan sebagai elemen subjektif dari strafbaar feit oleh karena menunjuk pada keadaan si pembuat sebagai subjek dari perbuatan yang dilakukan menurut rumusan delik, dan disebut dalam kalimat dengan kata netral “barang siapa”. Selanjutnya di dalam hal Kejahatan Buku II KUHP biasanya kesalahan itu menunjuk tentang keadaan sikap batin si pembuat sebagai kejiwaan yang terdapat di dalam rumusan delik, antara lain oleh pembentuk undang-undang disebutkan mengenai kejahatan dengan sengaja atau dengan alpa.[2]

Konsekwensi daripada pandangan bahwa kesalahan merupakan elemen subjektif dari strafbaar feit, maka kesalahan itu mengandung segi psikologis dan segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar bagi segi yuridis, dimana segi yang pertama merupakan dasar untuk mengadakan pencelaan yang harus ada terlebih dahulu, baru kemudian segi yang kedua untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.[3]

Tidak mengherankan apabila ada ahli hukum pidana yang mengatakan bahwa titik berat “kesalahan” merupakan suatu pengertian psikologis, akan tetapi konsepsi tentang kesalahan dengan pengertian psikologis itu lambat laun dipikirkan kembali, karena sangat sukar untuk menentukannya. Bagaimana manusia dapat mengetahui alam batin orang yang melakukan perbuatan yang bersifat kriminil itu? Hanya Tuhanlah yang tahu.[4]

Titik berat pengertian kesalahan itu tidak lagi terletak pada psyche orang yang berbuat itu sendiri, melainkan bagaimana keadaan psyche-nya orang itu ketika diberi nilai orang lain.[5]

Segi yuridis daripada kesalahan dapat dikatakan jika seseorang mempunyai kesalahan karena sesuatu perbuatan yang dinyatakan sebagai perbuatan yang keliru dan kepada si pembuat dapat diberikan celaan terhadap dirinya secara pribadi. Ajaran tentang kesalahan yang demikian itu memberikan kesempatan untuk secara subjektif mencela dan jika perlu menjatuhkan pidana terhadap suatu perbuatan yang objektif sebagai perbuatan yang keliru karena melawan hukum. Jadi dari segi yuridis tentang kesalahan menjadi jembatan bagi kita untuk memberikan celaan yang dapat berupa pidana tertentu kepada orang yang melakukan perbuatan sebagai pembuat dan terhadap suatu perbuatan yang keliru karena melawan hukum.[6]

Isi kesalahan itu sendiri berupa celaan terhadap si pembuat karena ia dapat menginsyafi atas kekeliruannya, dan ia seharusnya memang dapat menghindarinya, terhadap perbuatan yang keliru karena melawan hukum sebagai dasarnya celaan itu.[7]

Adakalanya isi kesalahan tersebut di atas dapat disimpulkan mempunyai tiga bagian, yaitu: a). Tentang kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan. b). Tentang hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan (dolus atau culpa). c). Tentang tidak adanya alasan penghapus kesalahan/pemaaf (schuld ontbreekt).[8]

Hal ini berarti pada tataran empiris, seorang terdakwa di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan akan dapat dinyatakan mempunyai kesalahan apabila menurut konstruksi yuridis telah ternyata lebih dahulu melakukan perbuatan pidana dengan elemen pokoknya bersifat melawan hukum, dan mempunyai kemampuan bertanggung jawab, atau mempunyai bentuk kesengajaan/kealpaan, dan tidak adanya alasan pemaaf.[9]

Mengenai kehendak manusia dalam melakukan perbuatan pidana dengan kesalahan, dipandang dari sudut filosofis terdapat perbedaan paham. Persoalannya terletak pada pertanyaan: apakah dari seorang manusia itu dapat mempunyai kehendak yang bebas terhadap perbuatannya? Ajaran klasik mengutamakan kebebasan individu, yang berarti menerima kebebasan kehendak dan oleh sebab itu segala perbuatan manusia selalu ditentukan oleh kehendak yang bebas, dengan akibat tiada suatu perbuatan pun yang dilakukan oleh manusia itu tidak dipertanggungjawabkan/dipersalahkan kepadanya. Jawaban atas pertanyaan dimaksud menurut paham Determinisme adalah bahwa dari seorang manusia tak dapat diharapkan mempunyai kehendak yang bebas. Menurut cara berpikir dalam determinisme akan sukar menemukan adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Sebaliknya, indeterminisme berpendapat bahwa dari seorang manusia itu dapat dikatakan mempunyai kehendak yang bebas, sekalipun sedikit atau banyak dipengaruhi faktor-faktor dari dalam atau luar dirinya karena diharapkan dapat menentukan kehendaknya.[10]

Ajaran determinisme dan indeterminisme telah mencapai suatu kompromi menjadi teori modern dan teori neodeterminisme. Teori modern mengikuti jalan tengah yang pada dasarnya berpegang pada determinisme dan dalam beberapa hal kehendak manusia itu ditentukan oleh beberapa faktor dari luar dan dalam dirinya, akan tetapi tetap menerima kesalahan sebagai dasar untuk menjatuhkan celaan dalam hukum pidana. Teori neodeterminisme mempunyai dasar alam pikiran dari determinisme akan tetapi bukan berpegang pada faham bahwa “orang tidak bebas kehendaknya”, melainkan bahwa manusia itu adalah anggota masyarakat yang harus menginsyafi perbuatannya dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain dan dasar inilah orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.[11]

Inti mengenai kemampuan bertanggungjawab itu berupa keadaan jiwa/batin seseorang yang sehat pada waktu melakukan perbuatan pidana. Di samping itu kemampuan bertanggung jawab meliputi tiga hal, yaitu:[12]
  • Tentang keadaan jiwa/batin yang sakit;
  • Tentang keadaan jiwa/batin seseorang yang terlampau muda sehingga konstitusi psyche-nya belum matang;
  • Tentang keadaan jiwa/batin yang organ batinya baik akan tetapi fungsinya mendapat gangguan sehingga tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya.

_________________________________
1. “Asas-asas Hukum Pidana”, Prof. DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 137.
2.  Ibid. Hal.: 137.
3.  Ibid. Hal.: 138.
4.  Ibid. Hal.: 138.
5.  Ibid. Hal.: 138.
6.  Ibid. Hal.: 139.
7.  Ibid. Hal.: 139.
8.  Ibid. Hal.: 141.
9.  Ibid. Hal.: 141.
10.        Ibid. Hal.: 142-143.
11.        Ibid. Hal.: 143.
12.        Ibid. Hal.: 143-144.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar