Rabu, 23 Oktober 2019

Penyelesaian Sengketa Pada Suku Osing (Kabupaten Banyuwangi)

(liputan6.com)

Oleh:
M. Noor Fajar Al Arif F., S.H., M.H. & Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H.
(Publikasi hasil Penelitian Sepenuhnya bersumber dari Journal of Indonesian Adat Law (JIAL), Volume: 2, Nomor: 2, Agustus 2018, Hal.: 30-44 dan atas izin salah satu Peneliti)

ABSTRAK
Penelitian   ini bertujuan   untuk  menggambarkan   fenomena   hukum   dan   cara penyelesaian sengketa di Suku Osing. Suku Osing  adalah  suku  yang  sudah beradaptasi  dengan  teknologi  dan  kehidupan  modern. Penelitian  ini  masuk  dalam jenis  penelitian  kualitatif  yang  bersifat  deskriptif. Jenis  penelitian  deskripsi  yang digunakan  adalah  metode  survei. Dalam mengumpulkan  data digunakan metode wawancara dialogik. Wawancara dilakukan secara informal terhadap 3 (tiga) orang yang dianggap mengetahui permasalahan dan konsidi Suku Osing yang terbaru yang akan  diteliti. Hasil  dari  penelitian  ini  menunjukan  bahwa Suku Osing hidup rukun, berdampingan dan  masih  mempertahankan hukum adatnya. Suku Osing walaupun  sudah  berinteraksi  dengan  teknologi  dan  dunia  modern  tetapi  dalam penyelesaian sengketa/perselisihan lebih mengutamakan hukum adat dibandingkan dengan  hukum   negara. Penyelesaian sengketa di Suku Osing terkesan  tidak  tertata dengan  baik  dalam  hal  kelembagaan. Oleh  karena  itu warga Suku Osing sebaiknya mengembalikan  fungsi  Lembaga  Adat  Masyarakat  Osing Kemiren (LAMUK) tidak hanya sebagai Lembaga konsultasi untuk melakukan ritual tetapi juga sebagai lembaga penyelesaian sengketa karena dengan berfungsinya LAMUK akan menjadi salah satu ciri khas Suku Osing dalam ranah hukum.

Kata-Kata kunci: Suku Osing; penyelesaian sengketa; hukum adat.

ABSTRACT
This study aims to describe the legal phenomena and ways of resolving disputes in the Osing Tribe. The Osing tribe is a tribe that has adapted to technology and modern life. This research is included in the type of qualitative research that is descriptive in nature. The type of research description used is the survey method. In collecting data, a dialogic interview method is used. Interviews were  conducted informally on 3 (three) people who were considered to be aware of  the latest problems and the Osing Tribe consensus to be studied. The results of this study show that the osing tribe lives in harmony, side by side and still  maintains its customary law. The Osing tribe even though it has interacted with  technology and the modern world but in resolving disputes/disputes prioritizes  customary law compared to state law. The dispute resolution in the Osing Tribe  seems not well organized in terms of institutions. Therefore the Osing Tribe  should restore the function of the Kemiren Osing Community Institution (LAMUK) not only as a consultation institution to carry out rituals but also as a dispute settlement institution because the functioning of LAMUK will be one of the characteristics of the Osing Tribe in the legal sphere.

Keywords: Osing Tribe; dispute resolution; adat law.

Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang besar yang tidak hanya dikenal dengan kekayaan alamnya berupa sumber mineral, flora fauna tetapi juga dikenal dengan memiliki  banyak suku, budaya, bahasa dan lain-lain. Banyaknya suku, budaya dan bahasa memberikan keberagaman tersendiri dan masih banyak suku yang bisa melestarikan budaya leluhur. Menurut  Dhari  dan  Suparman,  dari  satu sisi, secara  teoretis  keragaman budaya (multikultural) di satu  sisi merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang  mencerminkan jati diri bangsa. Secara empirik menjadi unsur pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu kemajemukan budaya juga menjadi   modal   budaya   (cultural   capital)   dan kekuatan  budaya  (cultural  power)  yang   menggerakan  dinamika  kehidupan bangsa dan bernegara (Safa’at, 2015: 48).

Laporan The  World  Conservation  Union (1997),  dari  sekitar  6000 kebudayaan di dunia, 4000-5000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti masyarakat adat merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat di dunia. Dari  jumlah  tersebut  sebagian  besar  berada  di  Indonesia  yang  tersebar  di  berbagai kepulauan (Safa’at, 2013: 162). Salah  satu masyarakat  adat  yang  masih  eksis adalah suku osing yang terletak di Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur.

Asal  mula Suku Osing  tidak  dapat  dilepaskan  dari Kerajaan  Blambangan, yaitu  Kerajaan  Hindu  yang  terletak  di  ujung  timur Pulau Jawa.  Banyak anggapan Suku Osing merupakan suku pemberontak dan tidak dapat diatur, namun sebenarnya pada  saat  itu Kerajaan  Majapahit  runtuh,  diwaktu  yang  sama  ajaran  agama  Islam mulai  datang  sehingga  suku  Osing  melepaskan  diri ke  wilayah  timur,  karena  ingin mempertahankan kepercayaannya. Suku osing banyak berdomisili di desa Kemiren, desa ini memiliki letak strategis di wilayah perjalanan menuju ke kawah Ijen. Desa ini memiliki luas 117.052 m2, memanjang 3 (tiga) kilometer yang kedua sisi daerah utara  dan  selatannya  dibatasi  oleh  kedua  sungai,  Gulung  dan  Sobo  yang  mengalir dari arah barat ke timur. Pemukiman suku ini berderat memanjang dari timur ke arah barat. Ditengah pemukiman terdapat sebuah jalan yang cukup tinggi dengan daerah persawahan yang cukup banyak (Wijaya dan Purwanto, tanpa tahun: 118).

Dalam kehidupan bermasyarakat, Suku Osing berusaha untuk membangun hubungan  baik  dengan  komunitas  dan  masyarakatnya.  Mereka  memiliki  prinsip hidup  bermasyarakat  bahwa  hubungan  antarmanusia  dalam  masyarakat  itu  harus baik. Hubungan baik ini dapat dibangun melalui berbagai cara sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai pandangan hidupnya. Bagi Suku Osing, hubungan antar  manusia  menduduki  tempat  yang  penting,  yakni  menunjukkan  sikap  yang selalu  menjunjung  tinggi  hubungan  horizontal  dengan  sesamanya (Suyitno,  2010: 163).

Sebagai suku yang dikelilingi oleh suku Jawa dan suku Madura. Suku Osing masih eksis dan mampu beradaptasi dan berkomunikasi dalam kehidupan bermasyarakat  dengan  suku-suku lain  dalam aktivitas keseharian. Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik antar suku atau pun konflik dalam masyarakat osing itu sendiri.

Menurut Bohanan, secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inherent) dari kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak  multikultural (Safa’at,  2015:  48).  Secara  sosiologis,  konflik  adalah pertentangan  yang  ditandai  oleh  pergerakan  dari  beberapa  pihak  sehingga  terjadi persinggungan, konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antarkelompok (intergroup conpflict), konflik antara  kelompok  dengan  negara  (vertikal  conflict). Konflik  antarnegara  (interstate conflict),  setiap  skala  memiliki latar  belakang dan perkembangannya, masyarakat manusia di dunia pada  dasarnya memiliki  sejarah  konflik  dalam  skala  antara perseorangan  sampai  antarnegara,  konflik  yang  bisa  dikelola  secara  arif  dan bijaksana akan mendinaminasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak mengahadirkan kekerasan (Susan, 2009: xxiii-xxiv).

Penyelesaian  konflik  dengan  bijak   membawa  perubahan  pola  pikir masyarakat dalam berinteraksi dengan masyarakat lain. Untuk penyelesaian atau konflik/perselisihan interpersonal  conflict terutama  sesama  warga,  suku  osing masih  memegang  teguh  kebudayaanya,  suku  osing  memiliki  sistem  hukum tersendiri  yang  tumbuh  dan  berkembang  untuk  menyelesaikan  permasalahan hukum   yang   terjadi di teritorial   suku   osing.   Penyelesaian sengketa atau perselisihan yang  terjadi  lebih  mengutamakan  hukum  adatnya  dibandingkan dengan hukum  negara,  karena  politik  pengaturan  penyelesaian sengketa  atau perselisihan menggunakan  hukum  negara  bersifat  kaku  dan  mengedepankan kepastian undang-undang.

Meskipun  kepastian  hukum  ternyata  ada,  maka  kepastian  hukum  yang muncul  kerapkali  hanyalah  berupa  kepastian  hukum  yuridis  atau  teoritikal belaka. Karena di dalam praktik, baik instansi pemerintah ataupun lainnya belum tentu akan tunduk dan taat terhadap hukum. Kadang bahkan dapat dikatakan bahwa penataan pada hukum jarang atau sama sekali tidak ada. Antara perundang-undangan dengan kenyataan kita temukan adanya jurang yang lebar. Dengan  kata  lain,  hanya  ada  sedikit  kepastian  hukum  yang  nyata (real  legal certainty)(Irianto dkk, 2012: 121-122).

Metode Penelitian
Penelitian ini masuk  dalam  jenis  penelitian  kualitatif yang bersifat  deskriptif, merupakan penelitian yang bertujuan untuk melukiskan (menggambarkan) sesuatu permasalahan  di  daerah  tertentu  atau  pada  saat  tertentu. Metode penelitian  ini digunakan  untuk  melukiskan  secara  sistematis  fakta  atau  karakteristik  populasi tertentu atau bidang tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat. Metode deskriptif  bukan saja  menjabarkan  (analitis), akan  tetapi  juga  memadukan. Bukan saja melakukan klasifikasi tetapi juga organisasi. Metode penelitian deskriptif pada hakikatnya  adalah  mencari  teori  bukan  menguji  teori. Metode  ini  menitikberatkan  pada observasi dan suasana alamiah (Suteki dan Galang Taufani, 2010:133-134).

Jenis  penelitian  deskripsi  yang  digunakan  adalah  metode  survei,  menurut Moh.  Nazir,  metode  survei  yaitu  penyelidikan  yang  dilakukan  untuk  memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada untuk mencari keterangan-keterangan secara faktual,  baik  tentang  institusi  sosial,  ekonomi  atau  politik    dari  suatu  kelompok ataupun suatu daerah (Suteki dan Taufani, 2010:133-134).

Dalam  mengumpulkan  data-data,  digunakan  dengan  wawancara  dialogik. Wawancara  dilakukan  secara  informal  terhadap  3  (tiga)  orang  yang  dianggap mengetahui permasalahan dan kondisi  suku  osing  yang  terbaru/up date yang akan diteliti. Sumber yang pertama yaitu Suhaemi adalah ketua adat suku osing. Sumber yang kedua yaitu Domitus Rato adalah akademisi/ahli sejajarah dan pemerhati suku osing.  Sumber  yang ketiga yaitu  Irwan  adalah  Akademisi  Universitas  17  Agustus Banyuwangi.  Kelemahan  dalam  pencarian data  penelitian ini bersifat  klasik  yaitu keterbatasan  waktu   yang   dimiliki,   namun   peneliti berusaha maksimal   dalam pencarian data yang terpercaya.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam  realitas  kehidupan  masyarakat, konflik sebagai fakta sosial  merupakan suatu hal yang pasti dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Adanya perbedaan status, pandangan, kepentingan dapat dipastikan menjadi alat pemicu terjadinya konflik.

Penerapan hukum dalam  menghadapi realitas  seperti itu harus  mencari, menemukan dan membangun cara-cara serta teknik tersendiri untuk bisa menjadi satu-satunya institusi  penentu  dan  penjaga  ketertiban  dalam  ruang  kehidupan yang supra majemuk itu (Safa’at, 2015:163).

Teori Pluralisme Hukum
Sebagai  Negara mega cultural yang memiliki ratusan kelompok etnis  dan bahasa, sudah  menjadi  konsekuensi  logis  adanya  kemajemukan  dalam  berinteraksi,  fakta tersebut adalah cerminan dari pluralism hukum. Kultur hukum dan rotasi dan kondisi masyarakat  yang  beraneka  ragam  ini  akan  melahirkan  pluralisme  hukum  dalam masyarakat.  Pluralisme  hukum  dalam  masyarakat  adalah  kenyataan  yang  cukup banyak  dari  para  ahli  antropologi  atau  para  peneliti.  Realitas  yang  ada  pada masyarakat  yang  lebih  luas  dari  satu  hukum  yang  hidup  dan  juga  pranatanya Pengaturannya   dapat   berjalan   bersama-sama,   namun   kadang   kala   terdapat pertentangan   di   dalamnya,   dalam   ruang   pluralisme   hukum,   seseorang   dapat menggunakan lebih dari satu peraturan untuk merasionalisasi dan melegitimasi atau prilaku mereka (Hamidi, dkk, 2013: 32).

Menurut John Griffiths,  pluralisme  hukum  secara  umum  didefiniskan sebagai  suatu  situasi di mana dua atau lebih  sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu  bidang kehidupan  sosial  yang  sama,  atau untuk menjelaskan  keberadaan  dua  atau  lebih  sistem  pengendalian  sosial  dalam satu bidang kehidupan. Menurut Hooker, suatau situasi di  mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan dan menurut F. Von Benda-Beckmann, suatu  kondisi  dimana  lebih  dari  satu  sistem  hukum atau  institusi  bekerja  secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan   dalam   satu kelompok masyarakat (Nurjaya, 2004: 10).

Memberikan ruang pengakuan terhadap hukum yang hidup dan berlaku diluar hukum negara yang sedang dilaksanakan, salah satunya yaitu hukum adat yang masih hidup dan berkembang ditengah  berlakunya  hukum  negara, inilah yang disebut pluralisme hukum (Hamidi dkk, 2015: 37), dan kondisi ini disebut pluralisme  hukum  yang  kuat  (strong legal  pluralism) yaitu situasi  ketika antar berbagai sistem hukum melangsungkan interaksi yang tidak saling mendominasi alias sederajat (HuMa, 2005: 9). Atau  menerangkan  terjadinya  saling  mengisi antar sesama sistem hukum dalam kehidupan di masyarakat.

Teori tentang pluralisme hukum sudah lama berkembang. Teori pluralisme hukum ini bertentangan dengan teori Hans Kelsen dengan teori positivismenya yang menyatakan bahwa hukum telah menetukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya  berperilaku  sesuai  pola  yang  ditentukan  atau  dengan  kata  lain  orang harus menyesuaikan  diri  dengan  apa  yang  telah  ditentukan,  disinilah  letak  sifat normatif  dari  hukum,  keharusan  dan  kewajiban  mentaati  hukum  karena  telah ditentukan  demikian,  bukan  karena  nilai  yang  terkandung  dalam  materi  hukum sendiri.

Hans Kelsen berpandangan bahwa hukum bersifat otonom tidak mencakup bidang lain atau fenomena sosial yang tumbuh danberkembang dimasyarakat, maka ideologi  yang  dikembangka  oleh  hans  Kelsen  adalah  hukum  sentralistik. Hukum sentralistik dijadikan sebagai bagi penguasan untuk mempertahankan kekuasaannya dengan mengabaikan kepentingan umum.

Konsep mengenai pluralisme hukum (legal pluralisme) secara umum dipertentangkan  dengan  ideologi  sentralisme  hukum  (legal centralism).  Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai suatu ideologi yang  menghendaki pemberlakuan hukum  negara (state  law) sebagai  satu-satunya  hukum  bagi  semua warga  masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama (religius  law), hukum  kebiasaan (customary law) dan juga  semua  bentuk  mekanisme  pengaturan  lokal  (inder-order  mechanism)  yang secara empiris hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat (Nurjaya, 2004: 10).

Menurut   John   Griffiths   pluralisme   hukum   adalah   suatu   keniscayaan, sementara sentralisme  hukum adalah suatu mitos, utopia, klaim dan ilusi (HuMa, 2005:  74). Jadi  secara  ideologi  sentralisme  hukum  cenderung  mengabaikan  kultur dalam  masyarakat,  termasuk  di  dalamnya  norma-norma  lokal  yang  secara  nyata dianut  dan  dipatuhi  warga  dalam  kehidupan  bermasyarakat.  (Suteki dan Taufani, 2018: 38).

Penggunaan hukum adat dikarenakan hukum adat menurut Von Savigny adalah jiwa dari masyarakat lokal dan hukum kehidupan yang sejati (Tanya dkk, 2013:  94). Senada  yang  dikatakan  oleh  E.  Utrecht,  supaya  perdamaian  dalam masyarakat tetap ada maka masyarakat membutuhkan petunjuk hidup (levesvooorschriften) yang  biasanya diberi nama kaidah (norma) yang  terdapat dalam hukum   kebiasaan, adat   istiadat,   agama   dan   kesusilaan. Oleh karena masyarakat  justru  memerlukan  petunjuk  hidup,  maka  petunjuk  itu menjadi  gejala sosial, yakni suatu gejala yang terdapat dalam masyarakat (Fathurokhman, 2016: 29).

Hukum  adat  bersifat  pragmatisme-realisme  artinya  mampu  memenuhi kebutuhan  hidup  masyarakat  yang  bersifat  fungsional  dan  religius,  sehingga hukum  adat mempunyai  fungsi  sosial  atau  keadilan.  Menurut  Djojodigoeno, hukum  adat  mempunyai  sifat  yaitu: (1) Statis,  hukum  adat  selalu  ada  dalam masyarakat; (2) Dinamis,  karena  hukum  adat  dapat  mengikuti perkembangan masyarakat; (3) Plastis/fleksibel, kelenturan hukum   adat   sesuai   dengan kebutuhan dan keamanan masyarakat (Utomo, 2016: 7-8).

Teori Penyelesaian Sengketa
Untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat adat dapat diselesaikan dengan cara adat melalui peradilan adat. Menurut Hilman, peradilan adat yaitu acara yang berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, memutuskan atau menyelesaikan suatu perkara permasalahan adat (Hadikusuma, 1984: 116). Tujuan penyelesaian sengketa adat adalah untuk menjaga keseimbangan hidup masyarakat, apabila keseimbangan itu terganggu maka petugas-petugas hukum masyarakat harus berusaha mengembalikan keseimbangan itu (Hadikusuma, 1984: 21).

Hal senada dikatakan oleh Suparman dalam Sakinah Safarina Putuhena dkk., bahwa setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan   tatanan masyarakat.   Oleh   karena   itu,   perlu   diupayakan   setiap sengketa  dapat  diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan  masyarakat  dapat dipulihkan.

Agar imbas  dari penyelesaian sengketa/konflik tidak meluas, maka  harus diidentikasi  terlebih  dahulu  jenis  konflik.  Menurut  Suadi  dkk.,  jenis  konflik terbagi menjadi dua yaitu pertama dimensi vertikal atau “konflik atas”, yang dimaksud  adalah  konflik  antara  elit  dan  massa  (rakyat),  kelompok  bisnis  atau aparat  militer, kedua  yaitu  konflik  horizontal,  yakni  konflik  yang  terjadi  di kalangan massa (rakyat) itu sendiri (Susan, 2009: 21).

Penyelesaian konflik tentunya menggunakan sistem hukum yang akrab, erat  dan  mempunyai  nilai-nilai  yang  mencerminkan  kehidupan  masyarakat. Nilai-nilai  tersebut  tertuangkan dalam hukum yang hidup dimasyarakat dan menjadi pedoman hidup masyarakat. Penyelesaian konflik/sengketa adat tergantung  dari  tipe  budaya  hukum  masyarakat tersebut. Tipe Budaya  Hukum  di bagi menjadi 3 (tiga) yaitu, pertama, tipe budaya parokial (parochial culture), cara berpikir masyarakatnya masih terbatas, tanggapan terhadap hukum  hanya terbatas pada  hukumnya sendiri,  masyarakat  demikian  masih  kuat  bertahan  pada  tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hukum  pantang  dirubah, kedua,  tipe  budaya subjek (subject culture), orientasi pandangan  mereka terhadap aspek  hukum  yang baru  sudah  ada  sikap  menerima  atau  menolak,  walapun  cara  pengungkapannya masih bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi, ikut saja pada apa yang dikatakan oleh penguasa baik langsung atau tidak langsung, ketiga budaya patisipan  (paticipant  culture),  cara  berpikir  dan  berperilaku  berbeda-beda, orang sudah  mempunyai  kedudukan,  hak  dan  kewajiban  yang  sama  dihadapan  hukum, biasanya   dalam masyarakat demikian pengetahuan dan pengalaman anggota masyarakatnya sudah luas, ada perkumpulan atau organisasi (Hadikusuma,  2013: 54-58).

Untuk menyelesaiakan permasalahan tersebut, menurut Robert, bahwa ada beberapa model atau cara penyelesaian konflik dalam masyarakat baik masyarakat sederhana maupun komplek/modern adalah sebagai berikut: (1) Negosiasi, melalui proses kompromi  antara  pihak yang berkonflik, tanpa  mengundang  pihak  ketiga untuk  menyelesaikan konflik yang terjadi  diantara  mereka; (2) Mediasi, melalui kesepakatan diantara para pihak guna  melibatkan  pihak  ketiga (mediator) dalam menyelesaikan konflik, walau hanya berfungsi sebagai perantara (go-between) yang belaku   pasif, karena   inisiatif dalam mengambil keputusan sebagai wujud penyelesaian sengketanya tetap didasarkan  kepada  kesepakatan  para  pihak  yang berkonflik saja; (3) Arbitrase, merupakan penyelesaian konflik dimana para pihak bersepakat untuk  melibatkan pihak ketiga yang disebut arbitrator sebagai wasit yang memberi keputusan sehingga keputusan tersebut wajib ditaati serta dilaksanakan  oleh  para  pihak  yang  berkonflik; (4) Ajudikasi,  sebagai model penyelesaian sengketa  melalui institusi pengadilan yang keputusannya  mengikat para pihak-pihak yang berkonflik (Nurjaya, 2008: 78).

Lebih lanjut I Nyoman Nurjaya mengatakan cara penyelesaian permasalahan yang  terjadi  di  masyarakat  paling  tidak  ada  2  (dua)  macam  yaitu:  (1)  Institusi penyelesaian konflik yang bersifat tradisional, yang bersumber dari sistem politik dan hukum rakyat dan berlangsung secara tradisional (folk institutions); (2) Institusi penyelesaian sengketa yang dibangun dari sistem politik dan hukum Negara (state intitutions) (Nurjaya, 2008: 78). Pilihan  mekanisme penyelesaian sengketa di luar peradilan  telah  lama  digunakan  dan  dipraktekan  oleh  masyarakat  hukum  adat  di Indonesia  (Safa’at,  2016: 81).  Pilihan  ini  dilakukan  dengan  mempertimbangkan segala  bentuk  efisiensinya  dan  sekaligus  menguntungkan  bagi  para  pihak  yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa yang diselesaikan dalam peradilan adat tidak  membedakan apakah itu pelangaran   adat,   agama,   kesusilaan,  kesopanan. Kesemuanya  akan  diperiksa  dan  diadili  oleh  hakim  adat  sebagai  satu  kesatuan perkara  yang  pertimbangan dan keputusannya  bersifat  menyeluruh  berdasarkan segala faktor yang mempengaruhinya (Hadikusuma, 1984: 22).

Lanjut Hilman, di dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui   lembaga-lembaga   adat yang biasa disebut peradilan adat (Hilman Hadikusuma,  1984:  22). Penyelesaian dengan musyawarah cerminan dari hukum adat. Begitupun  yang  terjadi  di  suku  osing,  penyelesaian sengketa/perselisihan menggunakan hukum adat dibandingkan dengan hukum lain atau disebut juga soft pluralisme.

Terdapat beberapa  tahap  dalam  penyelesian sengketa/perselisihan  di  suku osing yaitu: (1) Pra  Mediasi yaitu penyelesaian perselisihan para pihak  dimana, perwakilan keluarga para pihak yang menjadi mediator; (2) Mediasi yaitu penyelesaian perselisihan para pihak, dimana tokoh masyarakata menjadi mediator; (3) Litigasi yaitu penyelesaian perselisihan menggunakan hukum negara.

Menurut Dominikus Rato, Penyelesaian perselisihan di Suku Osing pada awalnya  melalui  lembaga adat yaitu Lembaga Adat Masyarakat  Osing Kemiren (LAMUK).  Namun seiring waktu  lembaga ini sudah  tidak difungsikan kembali. LAMUK tidak lagi digunakan sebagai lembaga penyelesaian  perselisihan, hal ini bukan  dikarenakan tidak adanya sumber daya manusia (SDM) untuk menyelesaiakan perselisihan, namun dikarenakan sangat jarang terjadi perselisihan di suku osing, sehingga fungsi LAMUK saat ini mengalami pergeseran makna yaitu hanya  untuk  berkonsultasi  bagi  suku  osing  yang  akan  melakukan  ritual-ritual kegiatan. Tidak berfungsinya LAMUK bukan berarti penyelesaian perselisihan serta merta menggunakan  hukum  negara,  tetap  menggunakan  hukum  adat  dengan mengedepankan  musyawarah.  Selama  kurun  waktu  40  tahun  perselisihan  yang terjadi  di  suku  osing  hanya  1  (satu)  yang  harus  diselesaikan  melalui  jalur  litigasi yaitu kasus waris.

Alur  skema  penyelesaian sengketa dalam  hukum  adat  Osing  diselesaikan dengan beberapa tahap yaitu:
Tahap Pra Mediasi
Para pihak yang bertikai menyelesaikan secara musyawarah dan sebagai penengah (mediator) adalah para pihak dari keluarga masing-masing yang dituakan. Jika tahap pra mediasi belum menemukan solusi maka dilanjutkan dengan tahap Mediasi.

Tahap Mediasi
Para pihak boleh memanggil orang lain sebagai mediator. Mediator yang ditunjuk tidak harus kepala adat tetapi bisa tokoh adat yang dipercaya, memiliki pengetahuan yang  luas  dan  berwibawa. Menurut  Irwan,  sesepuh  adat  dalam  suku  osing  terbagi menjadi  dua  yaitu,  orang  tua  yang  dituakan  karena  sudah  pengalaman  dan  orang muda yang dituakan karena ilmu pengetahuan yang luas.Jika penyelesaian dengan tokoh adat sebagai mediator tidak selesai maka, penyelesaian sengketa dilimpahkan ke  pemerintahan  desa.  Menurut  Dominikus  Rato,  penyelesaian  ke  pemerintahan desa harus di selesaikan terlebih dahulu melalui satuan perangkat desa yang paling kecil/bawah yaitu Rukun Tetangga (RT), jika masih belum selesai maka dilanjutkan ke Rukun Warga (RW), namun jika masih belum ada kata sepakat maka diselesaikan di balai desa, jika di balai desa masih belum ada kata sepakat pula maka dilanjutkan dengan tahap Litigasi.

Tahap Litigasi
Tahap  ini  sebenarnya adalah  tahap  yang  tidak  diinginkan  karena  penyelesaiannya menggunakan hukum  negara, jika perkara pidana maka di serahkan ke polisi, jika perkara waris atau perceraian maka langsung ke pengadilan negeri atau agama.

Jika  dilihat  dari  alur  skema  penyelesaian sengketa Suku Osing.  Telihat sederhana  tetapi  panjang  dalam  proses.  Sederhana  artinya  penyelesaian sengketa langsung  mendatangkan  mediator dan segera mencari solusi dengan musyawarah. Terlihat  panjang  dalam  proses  dikarenakan  suku  osing  mempunyai  filosofi  hidup yaitu tetap menjaga kerukunan dan  keharmonisan masyarakat dengan penyelesaian musyawarah dan menghindari penggunaan hukum negara. Menurut Suhaemi, jika terjadi sengketa/perselisihan  antar  suku  osing  dan  penyelesaiannya  menggunakan hukum  negara,  maka  masyarakat  tersebut  mendapat  stigma  sebagai  masyarakat yang kurang baik.

Peran  yang  paling  menonjol  dalam penyelesaian sengketa di  suku  osing adalah mediator, mediator harus bersikap adil, mempunyai pengetahuan yang luas dan bijak dalam  menyikapi permasalahan dari para pihak  dan  mampu  mendalami keinginan dari para pihak. Mediator harus mempunyai solusi-solusi alternatif yang adil  dan  bermakna  sehingga  perselesihan  dapat  terselesaikan  dengan  cepat  dan menghasilkan solusi yang tepat untuk kedua belah pihak.

Keunikan  dalam  penyelesaian sengketa di  suku  osing,  dimana  mediator (hakim)  adalah  tokoh  adat  bukan  kepala adat,  hal  ini  tentunya  berbeda  dengan  di beberapa suku lain dalam penyelesaian sengketa, seperti suku Baduy yang menjadi mediator penyelesaian permasalahan adalah Puun atau jaro, suku Cisungsang  dan suku Cisitu mediator adalah pemangku adat.

Penyelesaian sengketa yang diakhiri dengan musyawarah dapat memperkuat tradisi masyarakat untuk menjaga kedamaian dan kerukunan masyarakat. Kebudayaan dan tradisi tersebut mencerminkan nilai keadilan, kebersamaan serta asas keharmonisan yang memberi pedoman agar tidak saling mengembangkan rasa permusuhan atau ketegangan sosial, empati terhadap pihak yang lemah dan asas keseimbangan sosial.

PENUTUP

Simpulan
Konflik di masyarakat merupakan suatu hal yang pasti, tidak dapat dihindari dalam  kehidupan  bermasyarakat,  namun  setiap  masyarakat  mempunyai  cara  tersendiri untuk penyelesaiannya. Seperti Suku Osing, dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi sesama warga, warga suku osing  lebih  mengutamakan penggunaan  hukum adat (soft pluralisme) yang  mempunyai nilai-nilai  kearifan  lokal  dan lebih senang penyelesaian dengan cara non litigasi (musyawarah) dibandingkan cara litigasi.

Saran
Penyelesaian sengketa di Suku Osing terkesan tidak tertata dengan baik dalam hal kelembagaan. Oleh karena itu warga Suku Osing sebaiknya mengembalikan fungsi Lembaga   Adat   Masyarakat   Osing   Kemiren   (LAMUK)   tidak   hanya   sebagai Lembaga konsultasi   untuk   melakukan   ritual   tetapi   juga   sebagai   lembaga penyelesaianian sengketa karena dengan berfungsinya LAMUK akan menjadi salah satu ciri khas suku osing dalam ranah hukum.

DAFTAR ACUAN

Fathurokhman, F.(2016). Hukum  Pidana  Adat Baduy  dan  Pembaharuan  Hukum Pidana.Depok: INCA Publishing.
Hamidi, J.dkk. (2015). Demokrasi  Lokal  nurut  Masyarakat  Baduy. Malang: Nusantara.
Hadikusuma, H. (1984). Hukum Pidana Adat.Bandung: Alumni.
______.(2013). Antropologi Hukum Indonesia.cetakan ke-4.Bandung: Alumni.
HuMa.(2005).Pluralisme  Hukum  Sebuah  Pendekatan  Interdisiplin.cetakan pertama. Jakarta: Perkumpulan  untuk  Pembaharuan  Hukum  Berbasiskan  Masyarakat dan Ekologis (HuMa).
Irianto,  S. dkk.  2012.  Kajian  Sosio-Legal,  edisi  pertama,  Denpasar:  Pustaka Larasan.
Putuhena, S.S.dkk. (th). Kewenangan Lembaga Adat dalam Penyelesaian Sengketa pada  Masyarakat  Hukum  Adat  Maluku  Tengah. Makasar: Pascasarjana Unhas.
Nurjaya,   I.N.   (2008). Pengelolaan   Sumber   Daya   Alam   Dalam   Perspektif Antropologi Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Nurjaya,  I.N.  (2004).  “Perkembangan  Pemikiran  konsep  Pluralisme,  Makalah disampaikan dalam konferensi Internasional Tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan  Alam  di  Indonesia  yang  Sedang  berubah:  “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, Makalah. 11-13 Oktober 2004. Hotel santika Jakarta.
Suyitno, I. (2010). Mengenal Budaya Etnik Melalui Pemahaman Wacana Budaya Budaya  Etnik  Osing  dalam  Lagu  Daerah  Banyuwangi Malang:  A3  (Asah Asih Asuh).
Susan, N. (2009). Pengantar Sosiologi Konflik.edisi revisi.Jakarta: Prenada Media Group.
Safa’at, R.dkk. (2015). Relasi Negara dan Masyarakat Adat Perebutan Kuasa Atas Hak Pengelolaan Sumberdaya Alam. Malang: Surya Pena Gemilang.
Safa’at, R. (2013). Rekonstruksi Politik Hukum Pangan Dari Ketahan Pangan Ke Kedaulatan Pangan. cetakan kedua.UB Press: Malang.
Suteki dan Taufani, G. (2017). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik).Depok: PT RajaGrapindo Persada.
Tanya,  B.  L.dkk.  (2013). Teori  Hukum  Stategi  Manusia  Lintas  Ruang  dan Generasi.Cetakan IV. Yogyakarta: GENTA Publishing.
Utomo, L. (2016). Hukum Adat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wijaya,   P.Y. dan   Purwanto, S.A.  (2017).  “Studi   Rumah   Adat   Suku   Osing Banyuwangi  Jawa Timur”, Simposium  Nasional RAPI  XVI-2017  FT  UMS ISSN 1412-9612.
Wawancara dengan Rato, D. (2018). Audiensi Ilmiah tentang Keunikan Suku Osing, Universitas 17 Agustus Banyuwangi, 15 Agustus 2018.
Wawancara  dengan Suhaemi. (2018). Ketua  Adat  Suku  Osing,  Studi  Ekskursi  di Masyarakat Osing Kemiren  Banyuwangi 14 Mei 2018.
Wawancara dengan Irwan. (2018). Universitas 17 Agustus Banyuwangi, pukul 13.00 tanggal 15 Mei 2018.


Biodata Penulis:

M. Noor Fajar Al Arif F., S.H., M.H. Lahir di Tangerang, 31 Juli 1982, Jabatan fungsional Lektor, dosen di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H. Lahir di Banyuwangi, 16 November 1966, Jabatan fungsional Lektor Kepala, dosen di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
____________________


Tidak ada komentar:

Posting Komentar