(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Telah
kita lalui kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Kesalahan Sebagai Elemen Subjektif Dari Strafbaar Feit’, pada kesempatan ini akan dibahas
mengenai akibat hukum dari pemikiran tentang perbuatan pidana dan kesalahan.
Patut diperhatikan di sini ada dua terminologi yang kemudian dibahas, yaitu
antara terminologi ‘perbuatan pidana’ dan terminologi ‘kesalahan’.
Pada
tulisan sebelumnya, telah disebutkan adanya dua pengertian strafbaar feit dari para sarjana hukum pidana Belanda, sejak dahulu
membuat perbedaan antara pengertian strafbaar feit menurut doktrin ilmu
pengetahuan dan strafbaar feit menurut dasar hukum positif.[1]
Untuk
strafbaar feit menurut para penulis
hukum pidana Belanda sendiri dalam perkembangannya tidak mempunyai kesatuan
pendapat, sehingga terdapat dua pengertian yaitu menurut makna cara lama
(tradisional) dan menurut makna cara baru, yang terakhir nampaknya lebih sesuai
dengan perkembangan hukum pidana di beberapa negara. Makna tradisional dari strafbaar feit yang mempunyai arti suatu
kelakuan yang melanggar hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan diancam
dengan pidana kepada orang yang dapat dipertanggungjawabkan, atau dengan
perkataan lain maknanya mencakup unsur-unsur perbuatan pidana dan unsur-unsur
kesalahan sekaligus, kiranya harus diperbaiki dengan membuat pemisahan antara
perbuatan pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan itu yang dilarang dengan
diancam pidana, dan di lain pihak kesalahan yang menitikberatkan pada orang
yang dapat dipidana.[2]
Oleh
karena itu perbuatan pidana dipisahkan dari kesalahan, seperti halnya “criminal act” yang mempunyai makna
sendiri dipisahkan dengan “criminal
responsibility” dalam sistem pidana Anglo-Saxon. Prof. Moeljatno, S.H.
dalam pidato Dies Natalis Universitas Gadjah Mada 1955 memberikan dasar
pemikiran pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungan jawab dalam hukum
pidana di Indonesia. Perbuatan pidana yang hanya menunjukan sifatnya perbuatan
yang dilarang, tidaklah mungkin perbuatan itu meliputi juga sifat dari
dipidananya orang yang melanggar larangan. Beberapa peraturan hukum pidana
Indonesia sekarang sudah banyak yang disusun atas dasar pemikiran pemisahan
antara ketentuan perbuatan pidana dan ketentuan tentang pertanggungjawaban
pidana yang berupa ancaman pidana, seperti susunan pada Undang-undang Nomor: 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi.[3]
Dalam
Undang-undang tersebut memuat tentang sifat perbuatan yang dilarang pada Bab I,
sebagai perbuatan pidana disebut pada Pasal 1 ayat (1) a, b, c, d, e dan ayat
(2), sedangkan mengenai ketentuan tentang pertanggungjawaban dengan ancaman
pidana pada Bab V disebut dalam Pasal 28. Di situ jelas pada Bab I membuat
tentang perbuatan apa yang dilarang sebagai perbuatan pidana, sedangkan pada
Bab V memuat tentang ancaman pidana bagi orang/pembuat yang melanggar larangan.[4]
Dengan
uraian dari apa yang tersebut di atas, antara perbuatan pidana dengan titik
berat tentang perbuatan yang dilarang, yang dipisahkan dari kesalahan dengan
titik berat dapat dipidananya orang yang melanggar larangan, adalah merupakan
pemikiran hukum pidana yang dapat disalurkan untuk merumuskan undang-undang
baru yang tidak tradisionil lagi.[5]
_________________________________
|
1.“Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 180.
2. Ibid.
Hal.: 182.
3. Ibid.
Hal.: 182.
4. Ibid.
Hal.: 182-183.
5. Ibid. Hal.: 183.
5. Ibid. Hal.: 183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar