(MUI Sumut)
Oleh:
Tim Hukumindo
Telah
disinggung sebelumnya pada artikel berjudul: ‘Sejarah Hukum Perdata di Negeri Belanda & Hindia Belanda’, bahwa kodifikasi hukum
perdata yang berlaku di Indonesia saat ini adalah berasal dari negeri Belanda. Melalui
Staatsblad
No.: 23 yang berlaku pada tanggal 1
Mei 1848 di Hindia Belanda (kemudian Indonesia) mulai berlaku Hukum Perdata
(Burgerlijkrecht) ialah Kitab
Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk
Wetboek), disingkat KUHS (B.W.).
KUHS
yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang
diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oudhaarlem. Maksud kodifikasi pada waktu
itu adalah untuk mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia
Belanda dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda.[1]
Di
negeri Belanda, setelah merdeka dari Perancis, aliran kodifikasi diwujudkan
pada tahun 1830 dalam KUHS (tertanggal 5 Juli 1830) dan akan mulai berlaku jam
12 malam tanggal 31 Januari 1831 (antara 31 Januari dan 1 Februari 1831).
Sesudah kodifikasi itu setelah pemerintah Belanda mengangkat Mr. C.C. Hageman
sebagai Presiden Mahkamah Agung di Hindia Belanda dengan tugas supaya
menyesuaikan peraturan lama Hindia-Belanda dengan kodifikasi tadi. Tapi Mr.
C.C. Hageman yang diangkat pada Juli 1830 sampai dengan tahun 1835 tidak juga
mengerjakan tugas utamanya, kemudian Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada
waktu itu J.CH. BAUD menegur beliau, dan kemudian digantikan oleh Scholten van
Oudhaarlen.[2]
Terkait
dengan tugas dimaksud, kemudian dibentuk panitia dengan Scholten van Oudhaarlen
sebagai ketua, dengan anggotanya adalah: 1). Mr. I. Schneither dan 2). Mr.
I.F.H van NES. Adapun tugas panitia tersebut adalah untuk: 1). Merancang
peraturan, agar aturan-aturan undang-undang Belanda dapat dijalankan; 2).
Mengemukakan usul-usul; 3). Memperhatikan organisasi kehakiman. Panitia
dimaksud berhasil membuat rancangan peraturan tentang susunan badan peradilan
di Hindia-Belanda, yang walaupun sudah disahkan oleh pemerintah Belanda, mulai
berlakunya ditangguhkan. Rancangan yang disahkan itu kemudian dikirimkan ke
Gubernur Jenderal (Merkus) untuk kemudian meminta nasihat dari J. Van de Vinne
selaku directeur’s Lands Middelen en Domein. Panitia menyelesaikan pula
beberapa usul, antara lain tentang KUHS dan RO. Walaupun reaksinya sengit, namun
Scholten van Oudhaarlen sebagai Jurist masih dapat mempertahankan
pendirian-pendiriannya, sehingga usulnya diterima menjadi undang-undang (KUHS
dan RO/Reglement op de R.O.).[3]
Sebagaimana
telah diketahui, bahwa peraturan di Hindia-Belanda konkordan dengan peraturan
di negeri Belanda. Disimpulkan bahwa azas konkordansi itu adalah sempit (enge concordantie), jadi,
peraturan-peraturan negeri Belanda selalu diikuti oleh Hindia-Belanda. Hanya
bila sangat perlu saja boleh menyimpang; konkordansi itu demikian eratnya,
sehingga, walaupun peraturan Belanda nyata-nyata salah, namun peraturan
Hindia-Belanda tidaklah boleh menyimpang. Demikianlah KUHS Hindia-Belanda
kemudian Indonesia setelah merdeka, sekarang ini (yang mulai berlaku sejak 1
Mei 1848) dapat dikatakan suatu copy KUHS negeri Belanda.[4]
_________________________________
|
1. “Pengantar
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs.
C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka,
Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 210.
2. Ibid.
Hal.: 210-211.
3. Ibid.
Hal.: 212-213.
4. Ibid.
Hal.: 213-214.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar