Senin, 03 Februari 2020

Sejarah Hukum Perdata di Indonesia (Hindia-Belanda)

(MUI Sumut)

Oleh:
Tim Hukumindo

Telah disinggung sebelumnya pada artikel berjudul: ‘Sejarah Hukum Perdata di Negeri Belanda & Hindia Belanda’, bahwa kodifikasi hukum perdata yang berlaku di Indonesia saat ini adalah berasal dari negeri Belanda. Melalui Staatsblad No.: 23 yang berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (kemudian Indonesia) mulai berlaku Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), disingkat KUHS (B.W.).

KUHS yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oudhaarlem. Maksud kodifikasi pada waktu itu adalah untuk mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia Belanda dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda.[1]

Di negeri Belanda, setelah merdeka dari Perancis, aliran kodifikasi diwujudkan pada tahun 1830 dalam KUHS (tertanggal 5 Juli 1830) dan akan mulai berlaku jam 12 malam tanggal 31 Januari 1831 (antara 31 Januari dan 1 Februari 1831). Sesudah kodifikasi itu setelah pemerintah Belanda mengangkat Mr. C.C. Hageman sebagai Presiden Mahkamah Agung di Hindia Belanda dengan tugas supaya menyesuaikan peraturan lama Hindia-Belanda dengan kodifikasi tadi. Tapi Mr. C.C. Hageman yang diangkat pada Juli 1830 sampai dengan tahun 1835 tidak juga mengerjakan tugas utamanya, kemudian Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada waktu itu J.CH. BAUD menegur beliau, dan kemudian digantikan oleh Scholten van Oudhaarlen.[2]

Terkait dengan tugas dimaksud, kemudian dibentuk panitia dengan Scholten van Oudhaarlen sebagai ketua, dengan anggotanya adalah: 1). Mr. I. Schneither dan 2). Mr. I.F.H van NES. Adapun tugas panitia tersebut adalah untuk: 1). Merancang peraturan, agar aturan-aturan undang-undang Belanda dapat dijalankan; 2). Mengemukakan usul-usul; 3). Memperhatikan organisasi kehakiman. Panitia dimaksud berhasil membuat rancangan peraturan tentang susunan badan peradilan di Hindia-Belanda, yang walaupun sudah disahkan oleh pemerintah Belanda, mulai berlakunya ditangguhkan. Rancangan yang disahkan itu kemudian dikirimkan ke Gubernur Jenderal (Merkus) untuk kemudian meminta nasihat dari J. Van de Vinne selaku directeur’s Lands Middelen en Domein. Panitia menyelesaikan pula beberapa usul, antara lain tentang KUHS dan RO. Walaupun reaksinya sengit, namun Scholten van Oudhaarlen sebagai Jurist masih dapat mempertahankan pendirian-pendiriannya, sehingga usulnya diterima menjadi undang-undang (KUHS dan RO/Reglement op de R.O.).[3]

Sebagaimana telah diketahui, bahwa peraturan di Hindia-Belanda konkordan dengan peraturan di negeri Belanda. Disimpulkan bahwa azas konkordansi itu adalah sempit (enge concordantie), jadi, peraturan-peraturan negeri Belanda selalu diikuti oleh Hindia-Belanda. Hanya bila sangat perlu saja boleh menyimpang; konkordansi itu demikian eratnya, sehingga, walaupun peraturan Belanda nyata-nyata salah, namun peraturan Hindia-Belanda tidaklah boleh menyimpang. Demikianlah KUHS Hindia-Belanda kemudian Indonesia setelah merdeka, sekarang ini (yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848) dapat dikatakan suatu copy KUHS negeri Belanda.[4]
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 210.
2.  Ibid. Hal.: 210-211.
3.  Ibid. Hal.: 212-213.
4.  Ibid. Hal.: 213-214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...