(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Pada
kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Harta Kekayaan” telah dibahas mengenai uang dan yang dapat dinilai dengan
uang dari perspektif hukum. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Hukum
Benda. Sebagai prolog, manusia di dalam pergaulan hidupnya memerlukan
benda-benda baik untuk dipergunakan langsung ataupun sekedar sebagai alat untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya.[1]
Benda
dalam arti Ilmu Pengetahuan Hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi
objek hukum, sedangkan menurut Pasal 499 KUHPerdata, benda ialah segala barang
dan hak yang dapat menjadi milik orang (obyek hak milik). Benda-benda tersebut
dapat dibedakan menjadi:[2]
- Benda tetap, ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak, misalnya bangunan-bangunan, tanah tanam-tanaman (karena sifatnya), hak opstal, hak erfpah, hak hipotik (karena penentuan undang-undang) dan sebagainya.
- Benda bergerak, ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak, misalnya alat-alat perkakas, kendaraan, binatang (karena sifatnya), hak-hak terhadap surat-surat berharga (karena undang-undang) dan sebagainya.
Benda-benda
itu juga dapat dibedakan lagi menjadi: (a). Benda-benda berwujud (=
barang-barang) dan; (b). Benda-benda tak berwujud (= bermacam-macam hak).
Benda-benda ini dapat dimiliki dan dikuasai oleh manusia dan karena itu
diperlukan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
benda-benda tersebut. Timbullah peraturan-peraturan tentang hukum kebendaan (zakelijke rechten) yang bersifat mutlak
(absoluut recht), artinya dapat
berlaku dan harus dihormati oleh setiap orang.[3]
Hak
mutlak dalam lapangan keperdataan, dapat meliputi:[4]
- Benda-benda berwujud, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpah, hak gadai, hak hipotik dan sebagainya;
- Benda tidak berwujud, seperti hak panenan, hak pengarang (hak cipta), hak oktroi (paten), hak merk, dan sebagainya.
Di
dalam KUHPerdata (BW) diatur beberapa hak kebendaan, antara lain:[5]
- Hak Eigendom (Hak milik Barat), pada Pasal 570 dan seterusnya, ialah hak untuk menikmati dengan bebas dan menguasai mutlak suatu benda, asal tidak dipergunakan yang bertentangan dengan undang-undang, peraturan-peraturan lain dan tidak mengganggu kepentingan orang lain; kesemuanya itu sekedar tidak diadakan pencabutan hak milik oleh Negara untuk kepentingan umum.
- Hak Pekarangan (Servituut), Pasal 674 dan seterusnya, ialah kewajiban bagi pemilik pekarangan yang berdekatan dengan kepunyaan orang lain untuk mengizinkan memakai atau menggunakan pekarangan tersebut.
- Hak Opstal, Pasal 711 dan seterusnya, ialah hak untuk mempunyai atau mendirikan bangunan-bangunan atau tanaman di atas milik orang lain. Untuk mendirikan bangunan atau menanami tanah itu, diperlukan izin pemiliknya, sedangkan orang itu tidak perlu memiliki tanah sendiri.
- Hak Erfpah, Pasal 70 dan seterusnya, ialah suatu hak untuk mempergunakan benda tetap kepunyaan orang lain dengan kemerdekaan penuh, seolah-olah menjadi miliknya sendiri, dengan pembayaran uang canon (pacht) pada tiap-tiap tahun, baik berupa uang ataupun benda lain atau buah-buahan.
- Hak Pemakaian Hasil (Vruchtgebruik), Pasal 756 dan seterusnya, ialah hak atas benda tetap atau benda bergerak, untuk menggunakan seluruhnya serta memungut hasil dan buahnya sedang sifat benda tersebut tidak boleh berubah ataupun berkurang nilainya; sebab itu undang-undang mengharuskan ada jaminan gadai, hipotik atau tanggungan orang.
- Hak Gadai (Pand), Pasal 1150 dan seterusnya, adalah hak seseorang kreditur (penagih) atas sesuatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya sebagai jaminan hutangnya dengan ketentuan bahwa kreditur tersebut harus dibayar lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya dengan jalan melelang benda tersebut di muka umum.
- Hak Hipotik, Pasal 1162 dan seterusnya, ialah hak tanggungan seperti gadai; akan tetapi benda yang dijadikan jaminan berupa benda tetap (rumah, tanah dan sebagainya). Kapal yang muatannya 20 M3 ke atas, segala hak-hak kebendaan seperti hak opstal, erfpah, pemakaian hasil dan lain-lain dapat dibebani hipotik.
Pada
tahun 1960, telah ditetapkan penghapusan hak-hak berkenaan dengan tanah
sebagaimana dimaksud di atas. Hal ini diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria
(Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1960). Undang-undang ini bermaksud untuk
mengadakan hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang
tanah. Dengan lahirnya undang-undang ini maka tercapailah suatu keseragaman
mengenai hukum tanah, sehingga tidak lagi ada hak-hak atas tanah menurut hukum
Barat.[6]
Dengan
undang-undang ini telah dicabut Buku II KUHPerdata (BW) sepanjang yang mengenai
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya
undang-undang ini.[7] Sebagai informasi tambahan, pasal-pasal yang di dalam
KUHPerdata (BW) yang mengatur tentang Hipotik, dengan berlakunya Undang-undang
Nomor: 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, menjadikannya tidak berlaku lagi.
Dengan
telah dicabutnya Buku II KUHPerdata ini, maka oleh Undang-undang Nomor: 5 Tahun
1960 ini telah diciptakan hak-hak berikut atas tanah, yaitu:[8]
1. Hak Milik, adalah hak turun-temurun terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua
hak atas tanah itu mempunyai fungsi sosial;
2. Hak Guna Usaha, adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun (untuk
perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan untuk waktu 35
tahun), waktu mana dapat diperpanjang;
3. Hak Guna Bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun, waktu mana dapat diperpanjang;
4. Hak Pakai, adalah hak untuk menggunakan dan
atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam
keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah;
5. Hak Sewa, adalah seseorang atau suatu badan
hukum mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergunakan tanah milik
orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah
uang sewa.
____________________
|
1. “Pengantar
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs.
C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka,
Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 244.
2. Ibid. Hal.: 244.
3. Ibid. Hal.: 244.
4. Ibid. Hal.: 244.
5. Ibid. Hal.: 244-245.
6. Ibid. Hal.: 245-246.
7. Ibid. Hal.: 246.
8. Ibid. Hal.: 246.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar