Rabu, 08 April 2020

Perwalian Menurut KUHPerdata (BW)

(stearn-law.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHPerdata (BW)” telah dibahas mengenai wilayah hukum kekuasaan orang tua menurut KUHPerdata. Pada kesempatan ini akan dijabarkan cakupan hukum keluarga yang kedua, yaitu mengenai ‘Perwalian’ (Voogdij).

Telah dipahami pada artikel 4 Cakupan Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata (BW) sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan Perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 331 KUHPerdata dan seterusnya, adalah tentang anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur namun tidak dalam kekuasaan orang tua secara hukum tetap memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, oleh karenanya harus ditunjuk wali, yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut.

Wali ditetapkan oleh Hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal. Sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan si anak itu atau bapaknya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-saudaranya yang dianggap cakap untu itu. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan-perkumpulan sebagai wali.[1] Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang dapat diangkat sebagai wali adalah perorangan atau perkumpulan.

Perwalian dapat terjadi karena: a). Perkawinan orang tua putus, baik disebabkan salah seorang meninggal dunia atau karena bercerai; b). Kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan, maka Hakim mengangkat seorang Wali yang disertai Wali Pengawas yang harus mengawasi pekerjaan Wali tersebut. Wali Pengawas di Indonesia dijalankan oleh pejabat Balai Harta Peninggalan (Weeskamer).[2] Pada umumnya, perwalian dapat terjadi karena dua hal, yaitu perkawinan yang putus atau dipecatnya orang tua oleh Hakim.

Yang perlu ditegaskan di sini, perbedaan antara wali dengan orang tua adalah bahwa wali tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan anak, meskipun sangat disarankan masih mempunyai hubungan keluarga, sedangkan orang tua mempunyai hubungan darah langsung dengan anak.
_______________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia”, Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Balai Pustaka, Jakarta, Terbitan Kedelapan, 1989, Hal.: 218.
2.  Ibid. Hal.: 218.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar