(gettyimages)
Oleh:
Tim Hukumindo
Pertanyaan yang sering timbul dalam perkara perceraian adalah ketika salah seorang keluarga atau malahan seluruh saksi yang diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat terdapat hubungan keluarga, kenapa hal ini diperbolehkan? Padahal sebagaimana akal sehat manusia awam, tentu saja keterangan yang disampaikan oleh orang yang masih mempunyai hubungan keluarga rentan tidak objektif, condong keterangannya menguntungkan kepada orang yang menghadirkannya sebagai saksi.
Larangan Dalam H.I.R (Herzien Indonesis Reglement)
Pasal 145 H.I.R berbunyi sebagaimana berikut:
"Sebagai saksi tidak dapat didengar:1e. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus.2e. istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;3e. anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya lima belas tahun;4e. orang, gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang”.
Adapun penjelasan dari Pasal dimaksud adalah: “Mengenai orang-orang yang disebutkan dalam, sub. 1 dan 2 di atas (keluarga), sebabnya mereka itu tidak sanggup menjadi saksi Wali oleh karena mereka itu tidak dapat dianggap tanpa memihak, sehingga keterangannya dengan demikian tidak dapat dipercaya.” Dengan kata lain, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, keterangan saksi dari keluarga dianggap tidak objektif.
Pengecualian Dalam Perkara Perceraian
Berbeda dengan H.I.R (Herzien Indonesis Reglement) yang jelas-jelas melarang keluarga sebagai saksi, maka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur sebaliknya, atau lebih tepatnya sebagai pengecualian. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama berbunyi sebagai berikut:
“(1) Apabila gugatan perceraian di dasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus di dengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri(2) Pengadilan setetelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.”
Perlu ditegaskan di sini, bahwa yang dijadikan pengecualian hanyalah perkara perceraian atas alasan "syiqaq", dengan kata lain perceraian yang disebabkan oleh adanya perselisihan, percekcokan, dan permusuhan, atau perselisihan antara suami dan isteri. Dengan kata lain, tidak termasuk alasan-alasan di luar adanya percekcokan antara suami dengan isteri, saksi keluarga tidak dapat diajukan selain dari perkara perceraian yang disebabkan oleh adanya percekcokan.
Kesimpulan
Setelah membaca dua ketentuan di atas dan dikaitkan dengan duduk persoalannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Saksi keluarga dapat diajukan sebagai saksi dalam perkara perceraian, hanya atas alasan "syiqaq" atau cekcok.
__________________________
Pustaka:
- H.I.R (Herzien Indonesis Reglement);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar