Jumat, 15 Mei 2020

Prinsip Pembuktian Pada Permohonan


(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya telah dibahas mengenai proses pemeriksaan permohonan, masih pada pokok yang berkaitan, pada kesempatan ini redaksi Hukumindo.com akan membahas mengenai Prinsip Pembuktian Pada Permohonan.

Berbeda dengan proses pemeriksaan permohonan dimana terdapat beberapa asas yang tidak ditegakkan, pada proses pembuktiannya tetap harus menegakkan prinsip-prinsip pembuktian pada umumnya di hukum acara perdata.

Prinsip ajaran dan sistem pembuktian, harus ditegakkan dan diterapkan sepenuhnya dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan. Mengabaikan penegakkan dan penerapan ajaran dan sistem pembuktian dalam pemeriksaan permohonan, dapat menimbulkan akibat yang sangat fatal. Misalnya, permohonan izin poligami. Ternyata bukti yang diajukan pemohon adalah surat keterangan persetujuan dari wanita lain, bukan dari istri pertama Pemohon. Jika Pengadilan hanya bersikap formil, bukti itu dianggap sudah cukup bagi hakim memberi izin poligami. Akan tetapi, apabila ditegakkan ukuran batas minimal pembuktian, surat dimaksud belum cukup memenuhi batas minimal. Oleh karena itu, harus ditambah lagi dengan alat bukti lain, seperti keterangan saksi.[1]

Oleh karena itu, prinsip dan sistem pembuktian yang harus ditegakkan dan diterapkan, adalah sebagaimana berikut:[2]
  1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan Undang-undang, yaitu sesuai yang dirinci secara enumeratif dalam Pasal 164 HIR (Pasal 284 RBG) atau Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti yang sah terdiri dari: a). Tulisan (akta); b). Keterangan saksi; c). Persangkaan; d). Pengakuan; dan d). Sumpah.
  2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR (Pasal 203 RBG) atau Pasal 1865 KUHPerdata, dalam hal ini sepenuhnya beban wajib bukti dibebankan kepada Pemohon.
  3. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal pembuktian, dengan kata lain, apabila alat bukti yang diajukan oleh Pemohon hanya bernilai sebagai alat bukti permulaan atau alat bukti yang diajukan hanya satu saksi dan tanpa alat bukti yang lain, dalam hal seperti ini, alat bukti yang diajukan Pemohon belum mencapai batas minimal untuk membuktikan dalil Permohonan.
  4. Yang sah sebagai alat bukti, hanya terbatas pada alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil, paling tidak asas dan sistem pembuktian yang jelas di atas, harus ditegakkan dan diterapkan Pengadilan dalam memutus dan menyelesaikan permohonan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 39.
2. Ibid. Hal.: 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar