Rabu, 17 Juni 2020

2 Syarat Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tujuan Penggabungan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang 2 Syarat Penggabungan Gugatan.

Putusan Mahkamah Agung No: 2990 K/Pdt/1990, tertanggal 23 Mei 1992 memberi gambaran acuan penerapan terkait dengan Penggabungan Gugatan. Adapun alasan yang dapat dibenarkan dalam melakukan penggabungan gugatan adalah atas alasan:[1]
  1. Pertama, gugatan yang digabung sejenis yaitu para Penggugat terdiri dari deposan PT. Bank Pasar Dwiwindu (sebagai tergugat), kasus di mana para deposan secara kumulatif menuntut pengembalian deposito;
  2. Kedua, penyelesaian hukum dan kepentingan yang dituntut para Penggugat adalah sama, menuntut pengembalian deposito;
  3. Ketiga, hubungan hukum antara para penggugat dan tergugat adalah sama, yaitu sebagai deposan berhadapan dengan tergugat sebagai penerima deposito;
  4. Keempat, pembuktian adalah sama dan mudah, sehingga tidak mempersulit pemeriksaan secara kumulasi.   
Dengan demikian, tidak semua perkara perdata dapat dilakukan penggabungan gugatan, hanya yang sesuai dengan tolok ukur yang telah disebutkan di atas saja yang kemudian akan memenuhi syarat secara hukum acara.

Dari keempat tolok ukur di atas, dapat dikemukakan syarat pokok kumulasi seperti dijelaskan berikut ini:[2]
  1. Terdapat hubungan erat, menurut Soepomo dalam M. Yahya Harahap "antara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin (innerlijke samenhang)". Dalam praktik tidak mudah mengkonstruksi hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh kasus Putusan MA Nomor: 1715 K/Pdt/1983. Pada gugatan pertama, Penggugat mengajukan posita mengenai jual beli saham PT. PROSAM, yaitu penggugat telah membeli saham perseroan itu dari Tergugat, sehingga Penggugat satu-satunya pemegang (saham) yang sah. Sehubungan dengan itu, dalam petitum gugatan, menuntut agar Penggugat dinyatakan (sebagai) pemegang saham, dan menyatakan saham atas nama Tergugat adalah milik Penggugat. Pada gugatan kedua, diajukan posita perbuatan melawan hukum (PMH). Para Tergugat menghalangi Penggugat atas pemilikan dan penguasaan pelaksanaan proyek PT. PROSAM, berupa pembangunan kompleks perbelanjaan Pasar Atom Surabaya. Dalam kasus ini MA berpendapat, kumulasi objektif yang diajukan Penggugat, tidak dapat dibenarkan atas alasan: Antara Gugatan yang satu dengan yang lain adalah kasus yang berdiri sendiri. Antara keduanya tidak terdapat koneksitas atau hubungan erat.
  2. Terdapat hubungan hukum, dalam artian terdapat hubungan hukum antara para Penggugat atau antara para Tergugat. Jika dalam kumulasi subjektif yang diajukan beberapa orang sedangkan di antara mereka maupun terhadap objek perkara yang sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak mudah menentukan apakah di antara para Penggugat atau Tergugat terdapat hubungan hukum. Sebagai contoh, dapat dikemukakan putusan MA Nomor: 1742 K/Pdt/1983. Gugatan diajukan kepada beberapa orang Tergugat (Tergugat I dan Tergugat II). Padahal antara Tergugat I dan Tergugat II tidak ada hubungan hukum. Dalam kasus ini MA mengatakan, oleh karena tidak ada hubungan hukum di antara tergugat, maka sesuai dengan Putusan 20 Juni 1979, Nomor: 415 K/Sip/1975, gugatan tidak dapat diajukan secara kumulasi, tetapi harus masing-masing berdiri sendiri terhadap para Tergugat.
Penulis berpendapat, bahwa ahli M. Yahya Harahap, sebagaimana telah dikutip di atas, telah gagal menemukan yurisprudensi mengenai syarat pokok penggabungan gugatan, yaitu syarat adanya 'hubungan erat' dan 'terdapatnya hubungan hukum'. Tanpa berpretensi terlebih dahulu, karena tentunya penulis juga belum mengkaji yurisprudensi lain yang terkait, akan sulit melaksanakan kedua syarat dimaksud ke dalam tataran praktik. Oleh karena itu, sebagai seorang praktisi hukum, penulis menyarankan agar dihindari saja melakukan penggabungan gugatan, dikarenakan sangat kecil nilai keberhasilannya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 104-105.
2. Ibid. Hal.: 105-106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar