Selasa, 30 Juni 2020

Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Relatif Pengadilan Negeri.

Setiap Pengadilan Negeri (District Court) terbatas daerah hukumnya. Hal itu sesuai dengan kedudukan Pengadilan Negeri hanya berada pada wilayah tertentu. Menurut Pasal 4 ayat (1) UU Nomor: 2 Tahun 1986, bahwa: a). Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten; b). Daerah hukumnya, meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten yang bersangkutan.[1]

Berdasarkan pasal itu, kewenangan mengadili Pengadilan Negeri hanya terbatas pada daerah hukumnya, di luar itu tidak berwenang. Daerah hukum masing-masing Pengadilan Negeri hanya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten, tempat dia berada dan berkedudukan. Pengadilan Negeri yang berkedudukan di Kabupaten Bekasi, daerah hukumnya terbatas meliputi wilayah Kabupaten Bekasi (saja).[2]

Tempat kedudukan daerah hukum, menentukan batas kompetensi relatif mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri. Meskipun perkara yang disengketakan termasuk yurisdiksi absolut lingkungan Peradilan Umum, sehingga secara absolut Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya, namun kewenangan absolut itu dibatasi oleh kewenangan mengadili secara relatif. Jika perkara yang terjadi berada di luar daerah hukumnya, secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadilinya. Apabila terjadi pelampampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan Negeri bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan (exceeding its power).[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 191.
2. Ibid. Hal.: 191.
3. Ibid. Hal.: 191-192.

Minggu, 28 Juni 2020

Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kewenangan Absolut Extra Judicial", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Absolut Berdasarkan Faktor Instansional.

Faktor lain yang menjadi dasar terbentuknya kewenangan absolut mengadili adalah faktor instansional. Pasal 10 ayat (3), Pasal 19 dan Pasal 20 UU Nomor: 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999), dan sekarang berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004 memperkenalkan sistem instansional penyelesaian perkara:[1]
  1. Pengadilan Tingkat Pertama, menurut Pasal 3 UU Nomor: 2 Tahun 1986, kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum, terdiri dari: 1). Pengadilan Negeri (PN), dan 2). Pengadilan Tinggi (PT). Selanjutnya Pasal 6, Pasal 50 mengatur: a). PN Merupakan pengadilan tingkat pertama; b). PN Sebagai pengadilan tingkat pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama , dan c). PN Berkedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten.[2]
  2. Pengadilan Tingkat Banding, menurut Pasal 19 UU Nomor: 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999 dan sekarang berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor: 4 Tahun 2004, semua putusan pengadilan pertama dapat diminta banding. Selanjutnya Pasal 6 UU Nomor: 2 Tahun 1986 mengatur yang bertindak sebagai instansi pengadilan tingkat banding adalah Pengadilan Tinggi yang berkedudukan di Ibukota Provinsi.[3]
  3. Pengadilan Kasasi, Pengadilan kasasi menurut Pasal 22 UU Nomor: 4 Tahun 2004, dilakukan oleh MA. Pasal ini mengatakan, terhadap putusan Pengadilan dalam tingkat banding, dapat dimintakan Kasasi kepada MA oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Ketentuan ini sama dengan yang digariskan Pasal 11 ayat (2) huruf "a" UU tersebut yang mengatur, terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadilan lain dari MA, kasasi dapat dimintakan kepada MA. Hal dimaksud dipertegas lagi dalam UU Nomor: 14 tahun 1985 sebagaimana diubah dalam UU Nomor: 5 Tahun 2004. Pada Pasal 28 ayat (1) huruf "a" mengatakan salah satu kekuasaan MA, bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan permohonan Kasasi.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 190.
2. Ibid. Hal.: 190.
3. Ibid. Hal.: 190.
4. Ibid. Hal.: 191.

Sabtu, 27 Juni 2020

Kewenangan Absolut Extra Judicial

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuasaan Absolut Mengadili", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kewenangan Absolut Extra Judicial.

Selain pengadilan negara yang berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman yang digariskan amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor: 4 Tahun 2004, terdapat juga sistem penyelesaian sengketa berdasarkan yurisdiksi khusus (specific jurisdiction) yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Sistem dan badan yang bertindak melakukan penyelesaian itu, disebut peradilan semu atau extra judicial.[1] Penulis berpendapat akan lebih tepat jika perdilan dimaksud disebut dengan 'peradilan khusus'. Berikut dijumpai beberapa extra judicial yang memiliki yurisdiksi absolut menyelesaikan jenis sengketa tertentu.

Arbitrase, kedudukan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia telah dikenal sejak masa lalu, Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg mengakui eksistensi arbitrase. Saat ini, kedudukan dan keberadaan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia diperkokoh oleh UU Nomor: 30 Tahun 1999. Undang-undang ini mengatur yurisdiksi absolut arbitrase: a). Pasal 3 menyatakan, Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase; b). Pasal 11 mempertegas yurisdiksi absolut arbitrase yang disebut dalam Pasal 3, yang menyatakan: 1). Adanya klausul arbitrase dalam perjanjian, meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa yang termuat dalam perjanjian ke PN; 2). PN wajib menolak dan tidak campur tangan di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu, misalnya dalam pelaksanaan putusan.[2]

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, badan ini disingkat dengan P4, keberadaannya dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan UU Nomor: 22 tahun 1957. Akan tetapi dengan diterbitkannya UU Nomor: 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial pada tanggal 14 Januari 2004, kewenangan penyelesaian perselisihan yang timbul antara Pengusaha dengan Buruh jatuh menjadi yurisdiksi absolut Pengadilan Hubungan Industrial, yang bertindak: a). Sebagai Pengadilan Khusus; b). Kewenangannya memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial; c). Organisasinya dibentuk di Lingkungan Pengadilan Negeri.[3]

Pengadilan Pajak, peradilan lain yang memiliki yurisdiksi khusus adalah Pengadilan Pajak. Semula diatur dalam UU Nomor: 17 Tahun 1997, diberi nama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BSPP). Berdasarkan UU Nomor: 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, BPSP dirubah menjadi Pengadilan Pajak.[4]

Mahkamah Pelayaran, badan ini diatur dalam Ordonansi Majelis Pelayaran, St. 1934-215 (27 April 1934) Jo. St. 1938-2, yurisdiksi khususnya diatur dalam Pasal 1, meliputi kewenangan: a). Memeriksa dan memutus perkara yang timbul dari Pasal 25 ayat (4), (7), (8) dan (11) Ordonansi Kapal 1935 (St. 1939-66); b). Memeriksa dan memutus peristiwa yang disebut Pasal 373 a KUHD yaitu: Nahkoda yang melakukan tindakan yang tidak senonoh terhadap kapal, muatan atau penumpang; c). Memeriksa dan/atau memutus semua hal yang oleh suatu peraturan perundang-undangan dibebankan kepada Mahkamah Pelayaran.[5]

Para pembaca yang budiman tentu dapat menambahkan yurisdiksi absolut lainnya, yang cukup familiar adalah Peradilan Niaga yang mengadili (1) kepailitan dan Peradilan (2) HAM terkait Hak Azasi Manusia. Namun demikian, penulis tidak akan membahas hal ini lebih lanjut.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 183.
2. Ibid. Hal.: 183-184.
3. Ibid. Hal.: 185-187.
4. Ibid. Hal.: 188.
5. Ibid. Hal.: 189.

Kamis, 25 Juni 2020

Kekuasaan Absolut Mengadili

(Shutterstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kekuasaan Mengadili Merupakan Syarat Formal", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Kekuasaan Absolut Mengadili.

Ditinjau dari segi kekuasaan absolut atau yurisdiksi absolut mengadili, kedudukan Pengadilan Negeri (PN) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama adalah berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, Pengadilan Negeri (PN) berhadapan dengan kewenangan absolut lingkungan peradilan lain.[1]

Menurut amandeman Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor: 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU Nomor: 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor: 4 Tahun 2004, mengenai Kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA), dilakukan dan dilaksanakan oleh beberapa lingkungan peradilan yang terdiri dari:[2]
  1. Peradilan Umum;
  2. Peradilan Agama;
  3. Peradilan Militer; dan
  4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Umum sebagaimana yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51 UU Nomor: 2 Tahun 1986 (Tentang Peradilan Umum), hanya berwenang mengadili Perkara:
  1. Pidana (Pidana Umum dan Khusus) dan
  2. Perdata (Perdata umum dan niaga).
Peradilan Agama berdasarkan Pasal 49 UU Nomor: 7 Tahun 1989 (Tentang Peradilan Agama), hanya berwenang mengadili perkara bagi rakyat yang beragama Islam, mengenai:
  1. Perkawinan;
  2. Kewarisan (Meliputi wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam),
  3. Wakaf dan shadaqoh. Penulis meneruskan, yang juga harus ditambahkan adalah ekonomi syariah.
Peradilan TUN, menurut Pasal 47 UU Nomor: 5 Tahun 1986 (Tentang Peradilan TUN), kewenangannya terbatas dan tertentu untuk mengadili sengketa Tata Usaha Negara.[3]

Peradilan Militer, sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU Nomor: 31 Tahun 1997, hanya berwenang mengadili perkara pidana yang terdakwanya terdiri dari Prajurit TNI berdasarkan ketentuan tertentu.[4]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 180.
2. Ibid. Hal.: 180.
3. Ibid. Hal.: 181.
4. Ibid. Hal.: 181.

Rabu, 24 Juni 2020

Kekuasaan Mengadili Merupakan Syarat Formal

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terakhir platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama Bagi Non Muslim", dan Pada kesempatan selanjutnya kita akan melangkah dari topik penggabungan gugatan ke topik Kekuasaan Mengadili. Pada artikel ini akan akan membahas tentang Kekuasaan Mengadili Merupakan Syarat Formal.

Keberadaan peradilan perdata bertujuan menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian, perbuatan melawan hukum, sengketa hak milik, perceraian, pailit, penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak tertentu, dan sebagainya. Timbulnya sengketa di atas menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili atau kompetensi maupun kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.[1]

Tujuan utama membahas kewenangan mengadili adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru.[2]

Kekeliruan mengajukan gugatan kepada lingkungan peradilan atau pengadilan yang tidak berwenang mengakibatkan gugatan salah alamat sehingga tidak sah dan dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan gugatan yang diajukan tidak termasuk yurisdiksi absolut atau relatif pengadilan yang bersangkutan.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 179.
2. Ibid. Hal.: 180.
3. Ibid. Hal.: 180.

Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama Bagi Non Muslim

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "4 Penggabungan Gugatan Yang Dilarang", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Penggabungan Gugatan Cerai dengan Pembagian Harta Bersama Bagi Non Muslim.

Jika bertitik tolak dari Putusan Mahkamah Agung Nomor: 220 K/Pdt/1981, tidak dibenarkan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama. Menurut putusan itu, hukum acara tidak membolehkan penggabungan antara gugatan cerai dengan pembagian harta bersama. Alasan yang sering diajukan, antara kedua gugatan masing-masing berdiri sendiri. Gugatan perceraian berada di depan, dan pembagian harta bersama berada di belakang. Gugatan harta bersama berdasarkan hukum acara, baru dapat muncul setelah gugatan perceraian memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.[1] Sepanjang pengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, memang betul antara gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama tidak dapat digabungkan, hal ini berlaku bagi warga non muslim. Bahkan harus diakui bahwa penulis pernah mengalami penanganan case dimaksud, meskipun client telah diedukasi, namun tetap saja meminta dilakukan penggabungan demikian. 

Pendapat tersebut dibantah oleh ahli M. Yahya Harahap, pendapat ini dinilai tidak realistis dan sangat formalistis. Realita yang terjadi, gugatan perceraian memakan waktu antara 5 sampai 7 tahun (maksimal) mulai dari tingkat pertama sampai kasasi. Oleh karena itu tidak boleh digabungnya gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama, khususnya bagi warga non muslim, bertentangan dengan azas peradilan cepat biaya ringan.[2]

Lain halnya bagi warga muslim, berdasarkan Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 (UU Peradilan Agama), berbunyi sebagai berikut: "Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap." Selanjutnya, maksud kebolehan penggabungan itu, demi tercapainya prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.[3]

Meskipun ketentuan ini hanya diperuntukan bagi peradilan agama, jangkauan penerapannya dapat diperluas menjadi pedoman bagi PN berdasarkan asas process doelmatigheid. Menerapkan ketentuan ini di lingkungan Peradilan Umum (PN), tidak hanya sekedar (untuk) kepentingan beracara, tetapi sekaligus untuk memenuhi ketertiban umum (public order) dan keadilan berdasarkan moral (moral justice).[4] Penulis melihat ahli M. Yahya Harahap kesal betul dengan kondisi ini, karena ketentuan dimaksud adalah untuk domain Pengadilan Agama, bukan Pengadilan Negeri, akan tetapi sepertinya ahli juga tidak mampu berbuat banyak. Memang harus diakui bahwa ketentuan acara di Pengadilan Agama (muslim) secara normatif dibuat lebih akhir, sehingga lebih mengakomodasi kondisi kekinian, sedangkan HIR dan RBg serta Rv masih produk kolonial. Tidak ada kata lain, sudah selayaknya direvisi terkait ketentuan dimaksud.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 109-110.
2. Ibid. Hal.: 110.
3. Ibid. Hal.: 110.
4. Ibid. Hal.: 111.

Selasa, 23 Juni 2020

4 Penggabungan Gugatan Yang Dilarang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Bentuk Penggabungan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Empat Penggabungan Gugatan Yang Dilarang.

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa penggabungan gugatan yang tidak dibenarkan. Dengan kata lain, terdapat beberapa penggabungan yang dilarang oleh hukum. Larangan itu bersumber dari hasil pengamatan praktik pengadilan, hal dimaksud adalah:[1]
  1. Pemilik Objek Gugatan Berbeda, hal ini berarti penggugat mengajukan gugatan kumulasi terhadap beberapa objek, dan masing-masing objek gugatan dimiliki oleh pemilik yang berbeda atau berlainan;
  2. Gugatan yang Digabungkan Tunduk pada Hukum Acara yang Berbeda, ini berarti tidak dibenarkan menggabungkan beberapa gugatan yang tunduk pada hukum acara yang berbeda;
  3. Gugatan Tunduk pada Kompetensi Absolut yang berbeda, yang dimaksud di sini adalah jika terdiri dari beberapa gugatan, yang masing-masing tunduk kepada kewenangan absolut yang berbeda, penggabungan tidak dapat dibenarkan;
  4. Gugatan Rekonpensi Tidak Ada Hubungan dengan Gugatan Konvensi, dengan demikian berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 132 'a' ayat (1) HIR, Tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi penggabungan gugatan antara konvensi dan rekonvensi. Akan tetapi kebolehan yang seperti itu, tetap berpatokan pada syarat, terdapat hubungan erat antara keduanya. Apabila tidak terdapat hubungan erat di antara konvensi dan rekonvensi, penggabungan gugatan yang dilakukan Tergugat melalui gugatan rekonvensi adalah tidak dibenarkan.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 108-109.

Senin, 22 Juni 2020

Pengertian Wanprestasi

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Kuliah sebelumnya platform Hukumindo.com telah menyampaikan mengenai "Ruang Lingkup Hukum Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pengertian Wanprestasi.

Dalam membicarakan "wanprestasi" kita tidak bisa terlepas dari masalah "pernyataan lalai" dan "kelalaian" (verzuim).[1]

Adapun pengertian umum tentang wanprestasi adalah "pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya". Kalau begitu seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga "terlambat" dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut "sepatutnya/selayaknya".[2]

Seperti yang telah disinggung, akibat yang timbul dari wanprestasi ialah: keharusan atau kemestian bagi debitur membayar "ganti rugi". Atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak yang lainnya dapat menuntut "pembatalan perjanjian". Seperti yang dapat kita lihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No: 70HK/Sip/1972: apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual-beli.[3]

Wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur, akan hilang atau terhapus atas dasar alasan 'overmacht/keadaan memaksa'. Jika ketidak tepatan waktu pelaksanaan, atau terdapatnya kekurang sempurnaan pelaksanaan prestasi yang merugikan kreditur terjadi 'diluar perhitungan' debitur, dalam hal seperti ini wanprestasi tidak melekat. Kekurang tepatan waktu dan kekurang patutan yang dapat dipakai sebagai dasar 'wanprestasi', adalah jika timbul oleh keadaan-keadaan yang benar-benar dapat "diperkirakan" oleh debitur.[4]
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, S.H., Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 60.
2. Ibid. Hal.: 60.
3. Ibid. Hal.: 60-61.
4. Ibid. Hal.: 61.

Sabtu, 20 Juni 2020

Bentuk Penggabungan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "2 Syarat Penggabungan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Bentuk Penggabungan Gugatan.

Dalam praktik beracara Perdata, dikenal dua bentuk penggabungan gugatan, yaitu:[1]
  1. Kumulasi Subjektif; dan
  2. Kumulasi Objektif.
Kumulasi Subjektif

Pada bentuk penggabungan gugatan ini, dalam satu surat gugatan terdapat: a). Beberapa orang Penggugat; dan b). Beberapa orang Tergugat. Dapat terjadi variabel sebagai berikut:[2]
  • Penggugat terdiri dari beberapa orang, berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal ini kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak Penggugat.
  • Sebaliknya, Penggugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi subjektif yang terjadi dalam kasus ini, berada pada pihak Tergugat.
  • Dapat juga terjadi bentuk kumulasi subjektif yang meliputi pihak Penggugat dan Tergugat. Pada kumulasi yang seperti itu, Penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan beberapa orang Tergugat.
Perlu diingatkan kembali bahwa agar kumulasi subjektif tidak bertentangan dengan hukum, harus ada hubungan hukum antara orang tersebut.

Kumulasi Objektif

Dalam bentuk penggabungan ini, yang digabungkan adalah gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi faktor kumulasi adalah gugatannya, dalam arti beberapa gugatan di gabung dalam satu gugatan. Perlu diingatkan kembali, agar sah, harus adanya hubungan yang erat. Contoh penggabungan gugatan yang tidak mempunyai hubungan erat dapat dikemukakan pada Putusan MA Nomor: 1975 K/Pdt/1984, dalam putusan ini mencampurkan gugatan Wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).[3] Sayang sekali memang, di atas telah dikutip mengenai yurisprudensi penggabungan gugatan bentuk kumulasi objektif yang salah, akan tetapi tidak dicantumkan yurisprudensi yang menunjukan bentuk kumulasi gugatan yang benar. Sepertinya penulis dan sidang pembaca yang budiman harus berusaha mencarinya sendiri. 
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 106.
2. Ibid. Hal.: 106.
3. Ibid. Hal.: 107.

Kamis, 18 Juni 2020

Ruang Lingkup Hukum Perjanjian

(iStock Photo)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah terdahulu, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Lahirnya Perjanjian", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Ruang Lingkup Hukum Perjanjian.

Menepati Perjanjian

Menepati perjanjian berarti memenuhi isi perjanjian. Atau dalam arti yang lebih luas lagi yaitu 'melunasi' (betaling) pelaksanaan isi perjanjian. Pelaksanaan isi perjanjian bisa: a). Dilakukan sendiri oleh debitur; b). Dilakukan dengan bantuan orang lain; c). Bisa juga pemenuhan prestasi perjanjian dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan atas nama debitur.[1]

Perihal menepati perjanjian ini dapat dijabarkan menjadi tiga hal, yaitu:[2]
  1. Kewajiban apa yang hendak dilaksanakan, maka untuk mengetahui hal-hal apa yang wajib dilaksanakan debitur dapat dilihat dari berbagai sumber, yaitu: a). Dari sumber undang-undang sendiri; b). Dari sumber akta/surat perjanjian; c). Dari sifat perjanjiannya sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian.
  2. Pelaksanaan yang baik, pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana menentukan pelaksanaan (perjanjian) yang baik dan sempurna? Ukurannya didasarkan pada "kepatutan" atau behoorlijk. Artinya, debitur telah melaksanakan kewajibannya menurut yang sepatutnya, sesuai dan layak menurut semestinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah mereka setujui bersama. Pelaksanaan perjanjian yang telah dilakukan selayaknya atau sepatutnya harus dilihat pada 'saat pelaksanaan' perjanjian.
  3. Pelaksanaan Pemenuhan (nakoming), Setiap pihak yang membuat perjanjian, terutama pihak kreditur, sangat menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara sukarela sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi dalam praktik, tidak semua berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur inkar janji. Keinkaran debitur inilah yang memberi hak kepada kreditur untuk "memaksa" debitur melaksanakan prestasi. Tentu tidak dengan cara main hakim sendiri. Pada umumnya pemaksaan pelaksanaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis Pengadilan.
____________________
1.“Segi-segi Hukum Perjanjian”, M. Yahya Harahap, Alumni, Bandung, 1986, Hal.: 56.
2. Ibid. Hal.: 56-58.

Rabu, 17 Juni 2020

2 Syarat Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Tujuan Penggabungan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang 2 Syarat Penggabungan Gugatan.

Putusan Mahkamah Agung No: 2990 K/Pdt/1990, tertanggal 23 Mei 1992 memberi gambaran acuan penerapan terkait dengan Penggabungan Gugatan. Adapun alasan yang dapat dibenarkan dalam melakukan penggabungan gugatan adalah atas alasan:[1]
  1. Pertama, gugatan yang digabung sejenis yaitu para Penggugat terdiri dari deposan PT. Bank Pasar Dwiwindu (sebagai tergugat), kasus di mana para deposan secara kumulatif menuntut pengembalian deposito;
  2. Kedua, penyelesaian hukum dan kepentingan yang dituntut para Penggugat adalah sama, menuntut pengembalian deposito;
  3. Ketiga, hubungan hukum antara para penggugat dan tergugat adalah sama, yaitu sebagai deposan berhadapan dengan tergugat sebagai penerima deposito;
  4. Keempat, pembuktian adalah sama dan mudah, sehingga tidak mempersulit pemeriksaan secara kumulasi.   
Dengan demikian, tidak semua perkara perdata dapat dilakukan penggabungan gugatan, hanya yang sesuai dengan tolok ukur yang telah disebutkan di atas saja yang kemudian akan memenuhi syarat secara hukum acara.

Dari keempat tolok ukur di atas, dapat dikemukakan syarat pokok kumulasi seperti dijelaskan berikut ini:[2]
  1. Terdapat hubungan erat, menurut Soepomo dalam M. Yahya Harahap "antara gugatan-gugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin (innerlijke samenhang)". Dalam praktik tidak mudah mengkonstruksi hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh kasus Putusan MA Nomor: 1715 K/Pdt/1983. Pada gugatan pertama, Penggugat mengajukan posita mengenai jual beli saham PT. PROSAM, yaitu penggugat telah membeli saham perseroan itu dari Tergugat, sehingga Penggugat satu-satunya pemegang (saham) yang sah. Sehubungan dengan itu, dalam petitum gugatan, menuntut agar Penggugat dinyatakan (sebagai) pemegang saham, dan menyatakan saham atas nama Tergugat adalah milik Penggugat. Pada gugatan kedua, diajukan posita perbuatan melawan hukum (PMH). Para Tergugat menghalangi Penggugat atas pemilikan dan penguasaan pelaksanaan proyek PT. PROSAM, berupa pembangunan kompleks perbelanjaan Pasar Atom Surabaya. Dalam kasus ini MA berpendapat, kumulasi objektif yang diajukan Penggugat, tidak dapat dibenarkan atas alasan: Antara Gugatan yang satu dengan yang lain adalah kasus yang berdiri sendiri. Antara keduanya tidak terdapat koneksitas atau hubungan erat.
  2. Terdapat hubungan hukum, dalam artian terdapat hubungan hukum antara para Penggugat atau antara para Tergugat. Jika dalam kumulasi subjektif yang diajukan beberapa orang sedangkan di antara mereka maupun terhadap objek perkara yang sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak mudah menentukan apakah di antara para Penggugat atau Tergugat terdapat hubungan hukum. Sebagai contoh, dapat dikemukakan putusan MA Nomor: 1742 K/Pdt/1983. Gugatan diajukan kepada beberapa orang Tergugat (Tergugat I dan Tergugat II). Padahal antara Tergugat I dan Tergugat II tidak ada hubungan hukum. Dalam kasus ini MA mengatakan, oleh karena tidak ada hubungan hukum di antara tergugat, maka sesuai dengan Putusan 20 Juni 1979, Nomor: 415 K/Sip/1975, gugatan tidak dapat diajukan secara kumulasi, tetapi harus masing-masing berdiri sendiri terhadap para Tergugat.
Penulis berpendapat, bahwa ahli M. Yahya Harahap, sebagaimana telah dikutip di atas, telah gagal menemukan yurisprudensi mengenai syarat pokok penggabungan gugatan, yaitu syarat adanya 'hubungan erat' dan 'terdapatnya hubungan hukum'. Tanpa berpretensi terlebih dahulu, karena tentunya penulis juga belum mengkaji yurisprudensi lain yang terkait, akan sulit melaksanakan kedua syarat dimaksud ke dalam tataran praktik. Oleh karena itu, sebagai seorang praktisi hukum, penulis menyarankan agar dihindari saja melakukan penggabungan gugatan, dikarenakan sangat kecil nilai keberhasilannya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 104-105.
2. Ibid. Hal.: 105-106.

Tujuan Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas tentang Tujuan Penggabungan Gugatan.

Jika memperhatikan kembali Putusan Mahkamah Agung Nomor: 575 K/Pdt/1983, begitu juga dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 880 K/Sip/1970, terdapat pertimbangan mengenai manfaat dan tujuan penggabungan gugatan, yaitu bermanfaat dari segi acara (procesuel doelmatig).[1]

Memperhatikan Putusan di atas, dapat dikemukakan manfaat dan tujuan Penggabungan Gugatan adalah sebagai berikut:[2]
  1. Mewujudkan Peradilan Sederhana, melalui sistem penggabungan gugatan dalam satu gugatan, dapat dilaksanakan penyelesaian beberapa perkara melalui proses tunggal, dan dipertimbangkan serta diputuskan dalam satu putusan. Sebagai contoh, gugatan penggarapan atau penguasaan tanah yang dilakukan 20 orang. Melalui sistem penggabungan ini pelaksanaan penyelesaian perkara menjadi bersifat sederhana, cepat dan biaya murah.
  2. Menghindari Putusan yang Saling Bertentangan, manfaat lainnya melalui sistem penggabungan gugatan ini adalah dapat dihindari munculnya putusan yang saling bertentangan dalam kasus yang sama. 
Dari penjabaran di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggabungan gugatan bukan hanya bermanfaat untuk mewujudkan peradilan cepat dan biaya ringan, namun juga menghindari putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 103.
2. Ibid. Hal.: 104.
3. Ibid. Hal.: 104.

Selasa, 16 Juni 2020

Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai topik perubahan gugatan, dan pada artikel terakhir telah membahas tentang "Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding", dan Pada kesempatan selanjutnya adalah terkait topik 'Penggabungan Gugatan'. Sebagai bagian awal topik, maka artikel ini akan membahas perihal Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan.

Pengertian Penggabungan Gugatan

Secara teknis, penggabungan gugatan berarti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau istilah dalam bahasa Belandanya adalah samenvoeging van vordering, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan dalam satu surat gugatan yang terpisah serta berdiri sendiri. Akan tetapi dalam hal batas-batas tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu surat gugatan, apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat hubungan erat atau koneksitas.[1] Sederhananya adalah penyatuan lebih dari satu gugatan, bahkan lebih, ke dalam satu gugatan.

Pengaturan Penggabungan Gugatan

Hukum positif tidak mengatur mengenai penggabungan gugatan. Baik HIR maupun RBg tidak mengaturnya. Hal yang sama juga dengan Rv, tidak diatur di dalamnya, setidaknya tidak diatur secara tegas, namun juga tidak melarangnya. Yang dilarang adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Rv, yaitu hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik. Oleh M. Yahya Harahap hal ini ditafsirkan secara a contrario dengan mengartikannya sebagai pembolehan terkait penggabungan gugatan.[2]

Meskipun HIR dan RBg maupun Rv tidak mengatur, peradilan sudah lama menerapkannya. Supomo menunjukkan salah satu putusan Raad Justisie Jakarta pada tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu, terdapat hubungan erat (innerlijke samenhang). Pendapat yang sama ditegaskan juga dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 575 K/Pdt/1983, yang penjelasannya antara lain:[3]
  • Meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkan menerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman pada ukuran: a). Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan; b). Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan;
  • Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya. Ternyata dalam kasus ini, hal itu tidak terdapat, karena utang yang terjadi adalah utang yang masing-masing berdiri sendiri, sehingga tidak bisa dikumulasi.
__________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 102.
2. Ibid. Hal.: 103.
3. Ibid. Hal.: 103.

Senin, 15 Juni 2020

Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "3 Syarat Perubahan Gugatan", kemudian juga telah dibahas mengenai "Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan", maka Pada kesempatan ini akan membahas tentang Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding.

Pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan pada tingkat banding pada instansi Pengadilan Tinggi. Akan tetapi, tanpa mengurangi prinsip tersebut, Asikin dalam Yahya Harahap berpendapat: "dimungkinkan mengajukan atau melakukan perubahan gugatan pada tingkat banding. Demikian juga halnya Pengadilan Tinggi yang berfungsi sebagai tingkat banding juga adalah peradilan yang memeriksa fakta-fakta. Oleh karena itu, perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding, asal saja pihak tergugat diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan membela diri".[1] Jika penulis cermati, maka statement di atas bertitik tolak dari anggapan bahwa Pengadilan Banding adalah juga masih memeriksa perkara yang sifatnya faktawi (judex facti), sehingga dimungkinkan diajukan perubahan gugatan sebagaimana layaknya tingkat pertama.

Pasal 344 Rv juga melarang pengajuan tuntutan baru pada tingkat banding. Hal ini dengan rincian: a). Dilarang mengajukan tuntutan baru pada Tingkat Banding, perlu dicermati di sini yang dilarang bukan merubah gugatan, tapi mengajukan tuntutan baru. Yang dimaksud dengan tuntutan baru adalah yang merubah pokok perkara. Misalnya telah disinggung terdahulu, salah satu contohnya adalah merubah pokok perkara dari gugatan wanprestasi menjadi gugatan waris. b). Boleh mengajukan tuntutan baru secara exceptional, antara lain tuntutan Uitvoerbaar Bij Voorraad. Pasal ini memungkinkan mengajukan tuntutan baru seperti uang bunga, dll., biaya kerugian dan bunga karena kerugian yang diderita, serta putusan serta merta/dijalankan terlebih dahulu.[2] Yang dimaksud dengan tuntutan exceptional di atas adalah sebenarnya merupakan tuntutan assesoir, bukan tuntutan pokok.

Menanggapi kemungkinan sebagaimana diatur dalam Pasal 344 Rv dan pendapat ahli Asikin di atas, penulis berpendapat sebagai seorang advokat praktik yang berpijak khususnya pada pengalaman beracara, akan sangat sulit mengharapkan hasil positif dari perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding. Meskipun secara normatif ternyata juga tidak dilarang, akan tetapi sepengalaman penulis, perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding adalah tidak populer. Umumnya lawan akan merasa keberatan dengan adanya perubahan gugatan dimaksud, hal mana juga diatur dalam Pasal 127 Rv bahwa perubahan gugatan tidak boleh merugikan Tergugat. Di sisi lain, dalam hal perkara memakai jasa kuasa hukum, patut dipertanyakan kapasitas dan kompetensi kuasa hukum jika memang sejak awal (sejak surat gugatan didaftarkan pada pengadilan negeri) tidak cermat dan tidak mampu mengkonstruksi sebuah surat gugatan yang baik dari perkara yang telah dikuasakan kepadanya. Dengan demikian, penulis lebih sependapat dengan argumentasi hukum bahwa pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri, dan tidak populer dilakukan pada tingkat banding.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 101.
2. Ibid. Hal.: 102.

Sabtu, 13 Juni 2020

3 Syarat Perubahan Gugatan

(Bigstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Batas waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Syarat Perubahan Gugatan.

Pasal 127 Rv tidak menyebut syarat formil pengajuan perubahan gugatan. Dalam praktik peradilan, ditemukan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sebagai berikut:[1]

Pengajuan Perubahan Pada sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat, syarat yang pertama ini berarti perubahan gugatan diajukan oleh Penggugat pada sidang pertama, dan dihadiri oleh Para Pihak. Sebaliknya hal ini berarti Penggugat tidak diperkenankan mengajukan perubahan gugatan dalam hal diajukan di luar hari sidang, dan pada sidang yang tidak dihadiri oleh Tergugat.[2] Disini terlihat bahwa perubahan gugatan yang diajukan sampai Replik-Duplik ataupun sebelum Putusan sangat sulit dilaksanakan, dalam hal ini ahli M. Yahya Harahap tidak menyinggungnya pendapatnya lagi bahwa perubahan gugatan diajukan sampai batas Replik-Duplik (lihat pendapat beliau di artikel sebelumnya), namun secara eksplisit setuju diajukan pada sidang pertama.

Memberi Hak Kepada Tergugat Menanggapi, syarat ini berarti perubahan gugatan yang diajukan Penggugat tanpa mendengar pendapat Tergugat dianggap tidak sah. Serta memberi hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.[3] Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, kesempatan ini kadang dipergunakan oleh Parat Tergugat dan Turut Tergugat dan kadang juga tidak dipergunakan, bahkan kadang kala ada Tergugat yang sampai mempermasalahkan hal-hal yang tidak substansial seperti salah ketik.

Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan, syarat ini dikemukakan dalam catatan perkara Mahkamah Agung Nomor: 943 K/Pdt./1984. Ditegaskan bahwa kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap hal ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengkonstruksikannya dalam tataran praktik. Sebagai catatan, hal dimaksud harus diterapkan secara cermat dan kasuistik.[4] Sepengalaman penulis beracara sebagai advokat, belum pernah bersinggungan dengan aturan yang satu ini, meskipun penulis tentu saja harus menyetujui bahwa perubahan gugatan sudah selayaknya tidak menghambat pemeriksaan perkara.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 95.
2. Ibid. Hal.: 95.
3. Ibid. Hal.: 95-96.
4. Ibid. Hal.: 96.

Jumat, 12 Juni 2020

Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan.

Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan terdapat sedikitnya dua versi. Versi pertama adalah sampai saat perkara diputus. Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang menyatakan, Penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Pada catatan yang diberikan pada Putusan MA Nomor: 943 K/Sip/1987, tanggal 19 September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan selama persidangan. Ahli M. Yahya Harahap, S.H. kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini, hal ini dianggap kesewenang-wenangan terhadap Tergugat.[1] Sepanjang pengalaman penulis beracara sebagai advokat, memang belum menemukan majelis hakim yang memberikan keleluasaan dalam melakukan perubahan gugatan sampai sebelum putusan dijatuhkan. Dan harap maklum, harus diakui oleh penulis, bahwa penulis pun baru mengetahui adanya yurisprudensi tertanggal 19 September 1985 di atas.

Versi kedua adalah sampai dengan hari sidang pertama. Hal ini berpedoman pada Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Dari segi hukum, perubahan gugatan dimaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan gugatan. Menurut M. Yahya Harahap, S.H., hal ini justru terlalu membatasi, sehingga kurang realistis.[2] Sedikit berkomentar, sepengalaman penulis dalam beracara sebagai advokat, inilah jangka waktu lazimnya diajukan perubahan gugatan, yaitu pada sidang pertama. Praktik di lapangan adalah Penggugat mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim pemeriksa perkara pada sidang pertama, dan pada sidang selanjunya paper/berkas sudah diserahkan ke Majelis hakim. Dan sidang setelahnya, baru giliran para tergugat dan turut tergugat mengajukan Jawabannya masing-masing. 

M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat bahwa perubahan gugatan masih dapat dilakukan sampai agenda Replik-Duplik. Hal ini dengan alasan bahwa versi pertama terlalu memberikan keleluasaan jika perubahan gugatan masih dapat diajukan sebelum putusan dijatuhkan. Sebaliknya, versi kedua, terlalu membatasi jika perubahan gugatan hanya dapat diajukan pada saat sidang pertama. Menurut salah satu ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, S.H.), lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat, dalam arti membolehkan pengajuan perubahan gugatan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, namun diperbolehkan sampai dengan agenda Replik-Duplik.[3]

Menurut hemat penulis sebagai advokat, pendapat terakhir ini juga kurang pas, karena dalam praktik akan berimbas pada berubahnya konstruksi tulisan, baik itu gugatan maupun jawaban, bahkan seterusnya. Tidak akan terlalu bermasalah jika perubahan gugatan dimaksud hanya sebatas salah ketik, namun apabila lebih dari itu, misalnya mengurangi tuntutan atau kesalahan pada perhitungan, maka imbasnya cukup signifikan pada konstruksi tulisan posita, bahkan petitum. Sepengalaman penulis, sudah cukup jika perubahan gugatan diajukan pada sidang pertama. Hakim akan menilai jika perubahan gugatan dimaksud cukup signifikan, maka sudah selayaknya diberikan waktu yang relatif lebih lama atau setidaknya proporsional. Sehingga ketika memasuki agenda jawaban, replik dan duplik, para pihak dan majelis hakim yang mengadili telah terbebas dari urusan perubahan gugatan ini.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 94.
2. Ibid. Hal.: 94.
3. Ibid. Hal.: 94-95.

Rabu, 10 Juni 2020

Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pasal 127 Rv & Yurisprudensi Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Merubah Gugatan adalah Hak Penggugat.

Menurut Pasal 127 Rv, perubahan gugatan merupakan hak yang diberikan kepada Penggugat. Hal ini berarti Hakim maupun Tergugat tidak boleh menghalangi dan melarangnya. Penggugat bebas mempergunakan hak itu, asalkan berada dalam kerangka hukum yang dibenarkan. Di dalam praktik, yang tercermin dalam Yurisprudensi, perubahan gugatan tidak diatur dengan tegas sebagai hak, namun memakai istilah lain seperti 'diperbolehkan', hal dimaksud misalknya terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 934 K/Pdt/1984, tertanggal 19 September 1985, antara lain mengatakan: "Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan tuntutan selama persidangan diperbolehkan".[1]

Istilah hukum yang tepat adalah hak, hal ini berarti hukum memberi hak kepada Penggugat. Hak disini tidak hanya terbatas untuk melakukan perubahan, tetapi meliputi juga hak mengurangi tuntutan. Mempergunakan istilah diperbolehkan atau diizinkan maupun diperkenankan, memperlemah hak yang diberikan Pasal 127 Rv kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan.[2]

Perubahan gugatan diajukan, bukan dimohonkan, hal ini berarti Pasal 127 Rv menegaskan bahwa dalam melakukan perubahan gugatan: a). Penggugat berhak mengajukan perubahan dimaksud kepada majelis hakim pemeriksa perkara; b). Harus dimaknai bahwa hal ini (pengajuan) bukan meminta atau memohon izin atau perkenan untuk melakukan perubahan gugatan. Secara tersirat, implikasi dari permohonan atau permintaan izin ini akan seolah-olah hakim pemeriksa perkara dapat menolak permohonan dimaksud, sedangkan dalam hal diajukan, hakim tidak boleh mempersoalkan boleh atau tidak penggugat mengajukan perubahan pada gugatannya.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 92-93.
2. Ibid. Hal.: 93.
3. Ibid. Hal.: 93.

Selasa, 09 Juni 2020

Pasal 127 Rv & Yurisprudensi Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Orientasi Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pasal 127 Rv Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan.

HIR dan RBg sebagai peraturan perundang-undangan hukum acara Perdata di Indonesia tidak mengatur mengenai perubahan gugatan. Padahal berdasarkan kenyataan, perubahan gugatan merupakan kebutuhan dalam proses penyelesaian perkara. Meskipun HIR tidak mengatur mengenai perubahan gugatan, tidak berarti tidak diperbolehkan.[1]

Jika praktik peradilan tidak membenarkan perubahan gugatan, proses pemeriksaan tidak efektif dan tidak efisien. Untuk mengubah atau memperbaiki kesalahan pengetikan (clerical error), terpaksa Penggugat mencabut gugatan. Atau misalnya memperbaiki kesalahan perhitungan, harus mencabut gugatan, serta mengajukan gugatan baru. Beruntung bila pencabutan disetujui oleh Tergugat, Penggugat tidak akan bermasalah, lain halnya apabila tergugat tidak menyetujuinya, masalah akan menimpa Penggugat.[2]

Memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkan dengan tidak diaturnya perubahan gugatan dalam HIR dan RBg, praktik pengadilan dapat berpaling kepada Pasal 127 Rv sebagai landasan rujukan berdasarkan prinsip demi kepentingan beracara atau process doelmatigheid. Soepomo memperlihatkan dalam Landraad Purworejo pada 1937 telah menjadikan Rv tersebut sebagai pedoman penyelesaian perubahan tuntutan. Dalam putusan yang dijatuhkan pada 21 Juni 1937 menyatakan "bahwa sifat hukum acara perdata bagi landraad yang tidak formalistis itu, membolehkan perubahan tuntutan, asal saja hakim menjaga, bahwa tergugat tidak dirugikan dalam haknya untuk membela diri".[3]

Di dalam Rv sendiri, ketentuan mengenai perubahan gugatan, hanya terdiri dari satu Pasal, yaitu Pasal 127 yang berbunyi, "Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya".[4] Pada tataran praktik, selanjutnya dasar hukum mengenai perubahan gugatan didasarkan pada Pasal 127 Rv dimaksud serta tentunya Yurisprudensi terkait.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 91.
2. Ibid. Hal.: 91-92.
3. Ibid. Hal.: 92.
4. Ibid. Hal.: 92.