Senin, 28 September 2020

Maria Ulfah, Sarjana Hukum Perempuan Pertama Indonesia

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label tokoh hukum, platform Hukumindo.com telah membahas Baharuddin Lopa, Jaksa Agung Jujur dan Sederhana. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai upaya memperkenalkan salah satu tokoh hukum perempuan, yaitu Maria Ulfah.

Orang Tua & Masa Kecil

Mr. Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo lahir di Serang, Banten, 18 Agustus 1911 dan meninggal di Jakarta, 15 April 1988 pada umur 76 tahun. Dikenal sebagai Maria Ulfah Santoso adalah salah satu mantan Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir II. Nama Santoso diambil dari nama suami pertama dan nama Soebadio Sastrosatomo diambil dari nama suami kedua setelah suami pertama meninggal dunia.[1]

Maria Ulfah lahir dari pasangan Raden Mochammad Achmad dan Raden Ayu Chadidjah Djajadiningrat yakni saudara dari Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat dan Achmad Djajadiningrat. Mochammad Achmad adalah seorang dari beberapa saja orang Indonesia yang pada awal abad ke 20 selesai menempuh pendidikan di HBS (setingkat SMA). Mochammad Achmad kemudian menjabat sebagai Bupati Kuningan.[2]

Ia lahir di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911. Ayahnya merupakan seorang Bupati Kuningan, yang sebelumnya sempat bertugas sebagai amtenar di beberapa wilayah. Ibu kandungnya merupakan anak kelima dari Raden Bagoes Djajawinata, Wedana Karamatwatu dan Bupati Serang. Masa kecilnya lebih sering dihabiskan di kota kelahirannya, Serang. Maria memasuki sekolah dasar di Rangkasbitung. Tak lama tinggal di sana, ayahnya dipindah ke Batavia, Maria pun ikut pindah ke Batavia.[3]

Pendidikan Tinggi & Dunia Pergerakan

Pada 1929 Ayah Maria, Mohammad Achmad, memperoleh kesempatan untuk belajar perkoperasian di Denhaag Belanda. Ia pun turut serta membawa ketiga anaknya. Kebetulan saat itu tiba waktunya bagi Maria untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbekal izin ayah, Maria pun memilih untuk mendaftar di Fakultas Hukum Universiteit Leiden. Ia pun dapat disebut menjadi sarjana hukum perempuan pertama dari Indonesia.[4]

Aktivitasnya dalam dunia politik dimulai tatkala ia bertemu Sjahrir, seorang tokoh sosialis terkemuka yang kelak menjadi perdana menteri. Melalui pertemuannya dengan Sjahrir, Maria mulai mengenal kalangan sosialis Belanda dan diajak ke pertemuan-pertemuan kaum sosialis di sana. Saat kembali ke Indonesia, seperti yang tertulis dalam Historia, Maria mengajar di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah. Bahkan ia mampu mengampiu tiga mata pelajaran sekaligus yakni sejarah, tatanegara, dan bahasa Jerman. Sembari mengajar, Maria pun turut menceburkan dirinya ke dalam aktivitas gerakan perempuan.[5]

Jabatan dan Sumbangsih Perjuangan

Disebut pula bahwa Maria merupakan salah satu pendiri organisiasi Isteri Indonesia. Organisasi ini menerbitkan majalah bulanannya sendiri. Ia pun menjadi salah satu kolumnis tetap di majalah tersebut dan sering mencurahkan pikiran juga ide-idenya tentang gerakan perempuan di Indonesia. Maria merupakan satu dari segelintir tokoh perempuan yang memperjuangkan adanya Undang-Undang Pernikahan. Perdebatan tersebut dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia pada 20-24 Juli 1935. Dia mengajak gerakan perempuan memikirkan formulasi peraturan untuk melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak kaum lelaki.[6]

Lebih lagi Maria turut ikut mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Usulan tersebut ia sampaikan kepada Moh. Hatta dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di masa kemerdekaan, Sjahrir memintanya untuk menjadi menteri sosial. Kiprah Maria sebagai seorang menteri pun tak perlu diragukan. Ia mampu menunjukkan pada dunia bahwa bangsa ini punya seorang menteri perempuan yang bahkan di Eropa pun belum lazim saat itu.[7]

Tak hanya urusan politik saja. Pada 1950-1961 Maria pernah menjadi Ketua Panitia Sensor Film Indonesia. Bahkan di masa senjanya ia masih aktif menjadi Ketua Yayasan Rukun Istri yang kegiatan tetapnya mengelola panti asuhan Putra Setia di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Maria juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung periode 1968-1973.[8]

Tidak banyak catatan dari penulis, jujur saja penulis juga baru mengetahui salah satu tokoh perempuan ini sebagai orang pribumi yang meraih gelar sarjana hukum pertama. Setelah penulis baca, ternyata beliau bisa dikatakan lebih dekat sebagai seorang politisi daripada orang yang berkarir di bidang hukum secara profesional ataupun aparat negara. Namun demikian, sumbangan perjuangannya yang patut dicatat adalah memperjuangkan adanya Undang-Undang Pernikahan yang isinya adalah menentang poligami. Ia juga turut mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Pada umumnya perjuangan beliau adalah memperjuangkan hak-hak perempuan pada ranah hukum.

Referensi:
________

1. "Maria Ulfah Santoso", id.Wikipedia.org., diakses pada 26 September 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Maria_Ulfah_Santoso

2. "Mengenal Maria Ulfah, Advokat Bagi Kaum Perempuan yang Juga Menteri Sosial Pertama RI", goodnewsfromindonesia.id., Aninditya Ardhana Riswari, 24 Agustus 2018, diakses pada 26 September 2020, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/08/24/mengenal-maria-ulfah-advokat-bagi-kaum-perempuan-yang-juga-menteri-sosial-pertama-ri

3. Ibid.

4. Ibid.

5. Ibid.

6. Ibid.

7. Ibid.

8. Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar