Kamis, 03 September 2020

Tetralogi Mazhab KHI, Imam Hanafi

(kajikisah.blogspot.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com dalam edisi tokoh mazhab Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah membahas tokoh Imam Maliki, dan untuk kesempatan ini akan dibahas tokoh selanjutnya, yaitu Imam Hanafi.

Kelahiran & Pertumbuhan

Imam Hanafi lahir pada tahun 80 Hijriyah (H) bertepatan dengan 699 Masehi (M) di sebuah kota bernama Kufah. Sejatinya, nama Imam Hanafi adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzaban Al-Farisi yang bergelar Al-Imam Al-A'zham.[1] Kufah adalah sebuah daerah yang saat ini berada di negara Irak.

Ketika lahir, pemerintah kekhalifahan Islam dipimpin oleh Abdul Malik bin Marwan, keturunan kelima Bani Umayyah. Ia hidup dalam keluarga yang saleh. Ia juga sudah hafal Alquran sejak masih usia anak-anak dan merupakan orang pertama yang menghafal hukum Islam dengan cara berguru. Saat masih kecil, Imam Hanafi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutra. Bahkan, dia memiliki toko untuk berdagang kain.[2]

Dalam perjalanan waktu, Imam Hanafi yang dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu agama, menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu fikih dan menguasai bebagai bidang ilmu agama lain, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ilmu hadis, serta ilmu kesusasteraan dan hikmah. Tak sebatas menguasai banyak ilmu, ia juga dikenal dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial keagamaan yang rumit.[3]

Imam Syafi’i pernah melempar pujian terhadap Imam Hanafi sebagai berikut: “Tidak seorang pun yang mencari ilmu fikih, kecuali dari Abu Hanifah. Ucapannya itu sesuai dengan apa yang datang dari Rasulullah SAW dan apa yang datang dari para sahabat.”[4]

Guru dan Karya

Kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu agama itu ia pelajari dari sejumlah ulama besar masa itu. Di antaranya adalah Atho' bin Abi Rabbah, Asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, dan Thalhah bin Nafi'. Ia juga belajar kepada ulama lainnya, seperti Nafi' Maula Ibnu Umar, Qotadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman (guru fikihnya), Abu Ja'far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Muhammad bin Munkandar.[5]

Sepanjang 70 tahun masa hidupnya, Imam Hanafi tidak melahirkan secara langsung karya dalam bentuk kitab. Ide, pandangan, dan fatwa-fatwanya seputar kehidupan keagamaan ditulis dan disebarluaskan oleh murid-muridnya. Karya-karya fikih yang dinisbatkan kepadanya adalah Al-Musnad dan Al-Kharaj.[6] Inilah uniknya Imam Hanafi, ajaran-ajarannya justru disebarluaskan oleh murid-muridnya.

Karakter Pemikiran Imam Hanafi

Beberapa nasehat Imam Hanafi adalah sebagai berikut:[7]
  • Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku;
  • Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil atau memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut;
  • Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Dasar-dasar Imam Hanafi dalam Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:[8]
  1. Al-Qur'an;
  2. Sunnah, di mana dia selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Dia mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah;
  3. Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar);
  4. Qiyas;
  5. Istihsan;
  6. Ijma' para ulama;
  7. Urf masyarakat muslim
Mazhab Hanafi terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok dan sebagian Afrika Barat. Mazhab Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.[9] Mazhab ini mempunyai corak pemikiran hukum yang rasional.[10]

Jejak Mazhab Hanafi dalam KHI

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 1991, mengatur mengenai salah satu rukun dalam pernikahan, yaitu terkait dua orang saksi. Saksi merupakan syarat sahnya pernikahan. Menurut golongan Hanafiah, pada dasarnya setiap orang yang dapat melaksanakan akad, pernikahan pun sah dengan kesaksiannya (wali dan kedua mempelai). Setiap orang yang dapat menjadi wali dalam pernikahan, maka dapat pula menjadi saksi dalam pernikahan itu.
_______________
1. "Mengenal Sosok Imam Hanafi", Republika.co.id., Sabtu 17 Agustus 2019, Diakses pada 3 September 2020, https://republika.co.id/berita/pwcx0a313/mengenal-sosok-imam-hanafi
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. "Imam yang Memiliki Madzhab: Imam Hanafi", Islampos.com., Diakses pada tanggal 3 September 2020, https://www.islampos.com/imam-yang-memiliki-madzhab-imam-hanafi-136411/
8. "Mazhab Hanafi", id.wikipedia.org., Diakses pada 3 September 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Mazhab_Hanafi
9. Ibid.
10. "Sejarah dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih", malangtimes.com., 11 Januari 2019, Diakses pada tanggal 3 September 2020, https://www.malangtimes.com/baca/34943/20190111/110500/sejarah-dan-karakteristik-4-mazhab-fiqih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...