Sabtu, 31 Oktober 2020

Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja

(Suara.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label Sudut Pandang Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Dasar Hukum Surat Gugatan Wajib Bermeterai", dan pada kesempatan ini akan dibahas Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja di Indonesia, kemudian disahkan sebagai Undang-undang Nomor: 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Pada artikel ini, pertama tama akan dibahas mengenai Terminologi Omnibus Law, kemudian akan dibahas sejarah omnibus law, setelah itu akan dibahas para inisiator omnibus law Cipta (Lapangan) Kerja, dan terakhir adalah kesimpulan.

Terminologi Omnibus Law

Beberapa pengertian mengenai apa itu omnibus law dalam literatur diawali dengan pemahaman secara gramatikal, yakni kata omnibus yang berasal dari bahasa Latin berarti “untuk semuanya” (Toruan dalam “Pembentukan Regulasi Badan Usaha dengan Model Omnibus Law”,  2017:464).[1]

Di dalam Black’s Law Dictionary, definisi omnibus adalah: "for all; containing two or more independent matters. Applied most commonly to a legislative bill which comprises more than one general subject (Black, 1990: 1087). Artinya: Untuk semua/seluruhnya; mengandung dua atau lebih hal-hal yang berdiri sendiri Seringkali digunakan dalam RUU yang terdiri lebih dari satu subjek umum".[2]

Dari definisi omnibus, kemudian diarahkan ke omnibus bill. Black (1990: 1087) mendefinisikan omnibus bill sebagai berikut: "A legislative bill including in one act various separate and distinct matters, and frequently one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole enactment". Artinya: Sebuah RUU dalam satu bentuk yang mengatur bermacam-macam hal yang terpisah dan berbeda, dan seringkali menggabungkan sejumlah subjek yang berbeda dalam satu cara, sedemikian rupa sehingga dapat memaksa eksekutif untuk menerima ketentuan yang tidak disetujui atau juga membatalkan seluruh pengundangan.[3]

Dari segi hukum, kata Omnibus memang sering disandingkan dengan kata law atau bill. Artinya adalah sebuah peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi atau hasil penggabungan beberapa aturan dengan substansi dan tingkatan yang berbeda.[4]

Sementara, definisi yang lebih sederhana menyebutkan omnibus bill adalah: "a bill consisting of a number of related but separate parts that seeks to amend and/or repeal one or several existing Acts and/or to enact one or several new Acts." (House of Commons, Glossary of Parliamentary Procedure, 2011: 38). Artinya: Sebuah RUU yang terdiri dari sejumlah bagian terkait tetapi terpisah yang berupaya untuk mengubah dan/atau mencabut satu atau beberapa undang-undang yang ada dan/atau untuk membuat satu atau beberapa undang-undang baru.[5] 

Dapat penulis tambahkan, di negara kita Indonesia, usaha untuk mentransliterasikan istilah omnibus law ini juga beredar istilah 'Undang-undang Sapu Jagat'. Secara sepintas, istilah ini acap kali digunakan dalam dunia persilatan, akan tetapi jika ingin diterapkan sebagai istilah hukum, rasanya perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam. Serta tidak menutup kemungkinan untuk mengambil diksi yang lain dalam usaha mentransliterasikannya. 

Sejarah Omnibus Law 

Penggunaan Omnibus Law telah banyak dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system. Di dunia terdapat dua sistem hukum yakni common law system dan civil law system. Indonesia mewarisi tradisi civil law system.[6]

Sejarah omnibus dapat dilihat di beberapa negara yang telah menerapkan misalnya Amerika Serikat, Kanada hingga Inggris. Konsep Omnibus Law sebenarnya sudah cukup lama. Di Amerika Serikat (AS) tercatat UU tersebut pertama kali dibahas pada 1840.[7]

Di Kanada, background paper yang dipublikasikan Library of Parliament dari Parlemen Kanada tentang Omnibus bill: Frequently Ask Questions, Bedard (2012: 2) menyatakan sulit untuk menyatakan kapan pertama kali omnibus bill diajukan di Parlemen Kanada. House of Commons Procedure and Practice memperkirakan praktek Omnibus Bill dimulai pada tahun 1888, ketika sebuah usul RUU diajukan dengan tujuan meminta persetujuan terhadap dua perjanjian jalur kereta api yang terpisah. Namun, RUU semacam omnibus juga ditengarai ada pada awal 1868, yaitu pengesahan sebuah undang-undang untuk memperpanjang waktu berlakunya beberapa undang-undang pasca-Konfederasi Kanada.[8]

Salah satu Omnibus Bill terkenal di Kanada (yang kemudian menjadi Criminal Law Amendment Act, 1968-69 yang terdiri dari 126 halaman dan 120 klausul) adalah perubahan terhadap Criminal Code yang disetujui pada masa kepemimpinan Pierre Eliot Trudeau (Menteri Kehakiman di pemerintahan Lester Pearson). Undang-undang ini mengubah beberapa kebijakan, yaitu masalah homoseksual, prostitusi, aborsi, perjudian, pengawasan senjata, dan mengemudi dalam keadaan mabuk.[9]

Konsep hukum omnibus juga telah dicoba oleh negara-negara Asia Tenggara. Di Vietnam, penjajakan penggunaan teknik omnibus dilakukan untuk implementasi perjanjian WTO.[10]

Di Filipina, penggunaan Omnibus Law lebih mirip dengan apa yang ingin dilakukan di Indonesia. Filipina memiliki Omnibus Investment Code of 1987 and Foreign Investments Act Of 1991. Berdasarkan policy paper yang disusun oleh Aquino, Correa, dan Ani (2013: 1), pada 16 Juli 1987, Presiden Corazon C. Aquino menandatangani Executive Order No. 26 yang dikenal sebagai The Omnibus Investments Code of 1987 (Peraturan Omnibus tentang Investasi Tahun 1987). Peraturan tersebut ditujukan untuk mengintegrasikan, memperjelas, dan menyelaraskan peraturan perundang-undangan tentang investasi untuk mendorong investasi domestik dan asing di negara tersebut. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan tentang fungsi dan tugas Dewan Investasi (Board of Investments); investasi dengan insentif; insentif untuk perusahaan multinasional; dan insentif untuk perusahaan pemrosesan ekspor.[11] Dapat penulis tambahkan di sini, bahwa tradisi omnibus law adalah berasal dari civil law system dengan contoh negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada yang dalam perjalanannya kemudian diadopsi juga oleh negara-negara penganut tradisi common law system seperti Indonesia. 

Inisiator Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja

Omnibus Law Cipta (Lapangan) Kerja dibuat dalam proses yang cukup panjang. Bahkan Luhut mengakui, bahwa salah satu pencetus ide dibuatnya Omnibus Law dimaksud adalah dirinya. Ia menceritakan ide itu muncul pada waktu dia menjabat sebagai Menko Polhukam pada periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi. Saat itu dia melihat banyaknya keruwetan dalam undang-undang yang saling tumpang tindih dan menyebabkan peluang korupsi.[12]

Waktu itu, lanjut Luhut, dia melakukan diskusi dengan para menteri lainnya untuk membahas permasalahan tersebut. "Waktu itu kan Pak Mahfud dan juga Pak Jimly Asshiddiqie, Pak Seno Adji, Pak Sofyan Djalil, dari kantor saya ada pak Lambong, untuk mendiskusikan gimana caranya. Karena kalau satu persatu undang-undang itu direvisi nggak tau sampai kapan selesainya," terangnya. "Kemudian waktu lah datang ide dari Pak Sofyan di Amerika pernah disebut omnibus. Nah omnibus ini tidak menghilangkan undang-undang tapi menyelaraskan isi undang-undang itu jangan sampai tumpang tindih atau saling berkait saling mengikat dengan yang lain," tambah Luhut.[13] Menurut catatan penulis, waktu itu Sofyan Djalil menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia atau Kepala Bapennas.

Namun hasil dari pembicaraan saat ini belum ditindaklanjuti. Barulah di periode kedua Jokowi ide untuk membuat Omnibus Law mulai serius dilakukan. "Karena kesibukan sana sini belum terjadi, baru mulai dibicarakan kembali oleh Presiden akhir tahun lalu dan sekarang buahnya sekarang. Jadi itu proses panjang bukan proses tiba-tiba," tutupnya.[14] Hal ini membuktikan bahwa pemikiran untuk menerbitkan sebuah produk hukum sapu jagat telah ada sejak periode pertama pemerintahan Joko Widodo.

Kesimpulan

Menurut hemat penulis, omnibus law ini adalah istilah hukum yang menunjuk pada sebuah produk undang-undang yang mencakup revisi atas cakupan lintas klaster secara bersamaan. Klaster-klaster hukum yang berkaitan dikumpulkan dalam satu undang-undang untuk kemudian dilakukan revisi yang bermaksud membentuk norma baru yang diharapkan baik oleh Pemerintah maupun DPR. Merujuk pada Undang-undang Cipta (Lapangan) Kerja yang telah disahkan DPR, sebenarnya tidak secara langsung memakai istilah omnibus law, namun dari materi dan muatan serta teknik hukumnya adalah sejalan dengan istilah produk hukum dimaksud. 

Dari aspek sejarah, meskipun omnibus law ini berasal dari tradisi civil law system, tidak ada halangan dari segi hukum untuk kemudian diadopsi di negara dengan tradisi common law system seperti di Indonesia. Dan bukan hal yang tidak mungkin jika kemudian di masa yang akan datang di negeri ini akan ada produk hukum serupa.

Secara strategis, rezim pemerintahan Joko Widodo untuk periode kedua ini bermaksud memotong regulasi-regulasi yang menghambat investasi. Tujuan ini hanya dapat dilakukan dengan jalan menerbitkan sebuah produk hukum. Secara teknis, kemunculan omnibus law Cipta (Lapangan) Kerja di Indonesia digawangi oleh Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Marvest, kemudian ada Sofyan Jalil dengan pengetahuannya selaku jebolan S2 dan S3 hukum dari negeri Paman Sam, menterjemahkan ke dalam kerangka hukum dengan cara membentuk omnibus law. Setidaknya berpegang pada keterangan Luhut di atas, untuk M. Mahfud M.D.Jimly Asshiddiqiedan Indriyanto Seno Adji belum terlihat jangkauan pengetahuannya pada konsep hukum yang satu ini.
_____________
Referensi:

1. "Mengenal Apa Itu Omnibus Law Beserta Konsep dan Sejarah Perkembangannya", merdeka.com, Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020, https://www.merdeka.com/jatim/mengenal-apa-itu-omnibus-law-beserta-konsep-dan-sejarah-perkembangannya-kln.html?page=2
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. "Arti dan Sejarah Omnibus Law Atau UU Sapu Jagat", tirto.id., Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020, https://tirto.id/arti-dan-sejarah-omnibus-law-atau-uu-sapu-jagat-f5Du 
7Ibid
8Ibid
9Ibid
10Ibid
11Ibid
12Ibid
13. "Ungkap Pencetus Ide Omnibus Law, Luhut: Jujur Saya yang Mulai", detik.com, Diakses pada tanggal 30 Oktober 2020, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5222804/ungkap-pencetus-ide-omnibus-law-luhut-jujur-saya-yang-mulai
14. Ibid.

Jumat, 30 Oktober 2020

Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepada Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam label Praktik Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Menyita Barang Tertentu", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepada Penggugat.

Mengenai penjagaan barang sitaan berpedoman kepada ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg. Dalam ketentuan tersebut, ditegakkan prinsip, penjagaan barang sitaan tetap berada di tangan Tergugat atau Tersita. Prinsip ini ditegaskan juga dalam SEMA Nomor: 5 Tahun 1975, yang melarang penyerahan barang yang disita kepada Penggugat atau Pemohon Sita. Pada huruf (g) SEMA tersebut ditegaskan:[1]
  • Agar barang-barang yang disita tidak diserahkan kepada Penggugat atau Pemohon Sita;
  • Tindakan Hakim yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah Penggugat sudah pasti akan dimenangkan dan seolah-olah pula putusannya serta-merta;
Untuk lebih jelasnya penerapan atas larangan sebagaimana diterangkan di atas, dapat diuraikan sebagaimana berikut:
  1. Penjagaan Sita atas Barang Bergerak, sudah dikatakan di atas, Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg, mengatur tata tertib penyimpanan atau penjagaan barang sitaan benda bergerak. Berdasarkan Pasal itu, pelaksanaan penyimpanan atau penjagaan barang sitaan benda bergerak berdasarkan prinsip berikut: a). Ditinggalkan untuk disimpan oleh Pihak Tersita atau Tergugat di tempat barang itu terletak; b). Atau sebagian barang itu dibawa ke tempat penyimpanan yang patut. Begitulah patokan aturan penyimpanan sitaan barang bergerak yang mesti dipedomani Hakim dan Juru Sita.[2]
  2. Penjagaan Uang yang Diblokir di Bank, pada dasarnya penyimpanan uang yang ada di Bank disamakan dengan penyitaan Barang Bergerak. Oleh karena itu, prinsip penyimpanan dan penjagaannya tunduk pada ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR, yaitu: a). Tetap disimpan pada rekening atau deposito Tergugat di Bank yang bersangkutan; b). Penjagaan dan penguasaannya tetap berada di tangan Tersita, oleh karena itu tidak boleh dipindahnamakan kepada orang lain, tetapi harus tetap atas nama Tersita.[3]
  3. Penjagaan Sita atas Barang Tidak Bergerak, .[4]
  4. Penjagaan Sita Tidak Boleh kepada Pihak Ketiga, dilarang juga menyerahkan penguasaannya kepada Pihak Ketiga. Bahwa penyerahan atau penitipan barang sitaan oleh Juru Sita kepada Pihak Ketiga, seperti lurah atau Kepala Desa, tidak ada dasar hukumnya. Juru Sita yang menyerahkan penjagaan kepada Kepala Desa adalah keliru. Yang paling celaka, apabila penjagaan dan pengawasan diserahkan kepada Penggugat atau Kepala Desa. Misalnya, barang yang disita mobil angkutan atau kebun cengkih. Lantas sejak penyerahan dilakukan, mobil tersebut dioperasikan Kepala Desa atau Penggugat.[5]
  5. Penyitaan Tidak Mengurangi Penguasaan dan Kegiatan Usaha, seperti yang dijelaskan, larangan atas pemakaian barang sitaan, hanya terbatas pada barang yang habis pakai. Itu sebabnya tidak boleh memakai atau menggunakan uang yang disita, karena akan habis terpakai. Sepanjang pemakaian tidak berakibat habis terpakai, tidak dilarang mempergunakannya. Tergugat berhak penuh memakai dan mendiami rumah yang disita. Tersita berhak penuh menguasai kebun yang disita serta berhak mengambil hasilnya untuk dipakai dan dinikmati.[6]
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.:  306.
2. Ibid. Hal.:  306-307.
3. Ibid. Hal.:  307-309.
4. Ibid. Hal.:  309-310.
5. Ibid. Hal.:  310.
6. Ibid. Hal.: 310-311.

Selasa, 27 Oktober 2020

Larangan Menyita Barang Tertentu

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai artikel berjudul "Mendahulukan Penyitaan Barang Bergerak", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Larangan Menyita Barang Tertentu.

Salah satu prinsip yang penting diperhatikan, diatur dalam Pasal 197 ayat (8) HIR atau Pasal 211 RBg. Ketentuan pasal ini merupakan pengecualian terhadap azas yang diatur Pasal 1131 KUHPerdata. Menurut ketentuan ini, seluruh harta kekayaan debitur dapat dijadikan objek pelunasan pembayaran utangnya. Malahan ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR memuat pengecualian, berupa larangan meletakkan sita terhadap jenis barang tertentu.[1]

Tentang hal ini, dapat dikemukakan salah satu Putusan MA yang mengatakan, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (8) HIR, Pasal 211 RBg, Pengadilan Negeri dapat menyita semua harta kekayaan Tergugat, baik yang bergerak atau tidak bergerak. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal ini sendiri terdapat pengecualian, meliputi:[2]
  • Hewan; dan
  • Perkakas yang sungguh-sungguh digunakan sebagai alat pencari nafkah sehari hari.
Jadi, kalau sifat dan fungsi hewan dan perkakas itu sungguh-sungguh dipergunakan sebagai alat mencari nafkah Tergugat, barang itu dilarang untuk disita. Akan tetapi, kalau hewan atau perkakas itu berfungsi sebagai sarana jasa atau produksi, tidak tergolong pada larangan tersebut. Misalnya mobil penumpang atau pengangkut barang, tidak dapat dikategorikan sebagai alat pencari nafkah, tetapi termasuk sarana jasa dalam bisnis untuk mencari keuntungan. Pengertian dan penafsiran umum yang dibenarkan terhadap perkakas yang disebut Pasal 197 ayat (8) HIR, adalah perkakas yang sifat dan fungsi maupun wujudnya:[3]
  • Dipergunakan langsung oleh seseorang (Tergugat) dengan kekuatan tenaga fisik untuk mencari nafkah sehari-hari, seperti cangkul, parang, dan sebagainya; atau
  • Alat maupun perkakas yang langsung dipergunakan oleh seorang ahli atau profesi, atau seniman, seperti gergaji bagi seorang tukang, pahat bagi pematung, dan sebagainya.
Dapat dilihat motivasi dan rasio yang terkandung dari larangan itu, bertitik tolak dari nilai kemanusiaan yang tidak membolehkan penegak hukum dalam bidang perdata memusnahkan secara total hak hidup seorang debitur. Penegakkan hukum harus tetap memiliki dimensi yang memenuhi perlindungan kepada debitur (Tergugat) dari kemusnahan total, jangan sampai kegiatannya melanjutkan kelangsungan hidup mencari nafkah sehari-hari dihentikan.[4]

Bertitik tolak dari motif yang dikemukakan di atas, Subekti dalam M. Yahya Harahap, S.H., mengajukan perluasan larangan itu. Yaitu tidak hanya terbatas pada jenis hewan atau perkakas mata pencaharian, tetapi meliputi tempat tidur yang dipergunakan suami isteri dan anak-anak serta buku-buku ilmiah sampai batas tertentu. Mungkin dapat juga diperluas sampai sejumlah uang, sehingga pelelangan terhadap harta kekayaan Tergugat, menyisihkan sedikit uang yang dapat menopang hidupnya untuk beberapa hari, sehingga penyitaan dan penjualan lelang, tidak menyengsarakan Tergugat dalam keadaan yang pilu dan menyedihkan.[5] Kesimpulannya adalah meskipun debitur lalai dan kemudian dilakukan sita, akan tetapi atas pertimbangan kemanusiaan, beberapa barang tertentu dilarang untuk diletakkan sita.
________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.:  305.
2. Ibid. Hal.:  305.
3. Ibid. Hal.:  305.
4. Ibid. Hal.:  305.
5. Ibid. Hal.:  305-306.

Senin, 26 Oktober 2020

Mr. Assaat, Presiden R.I. Dari Kalangan Advokat

(id.wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada label tokoh hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas "Mengenal Thomson Snell & Passmore, Firma Hukum Tertua", dan masih dalam label yang sama, pada kesempatan ini akan membahas mengenai Mr. Assaat, Advokat yang pernah menyandang pelaksana jabatan Presiden Republik Indonesia. 

Sidang pembaca yang budiman tentu mengenal Abraham Lincoln, atau mungkin Nelson Mandela? Masing-masing berasal dari negeri Paman Sam (Amerika Serikat) dan Afrika Selatan. Keduanya pernah menjadi Presiden di negaranya masing-masing. Persamaannya adalah keduanya sama-sama pernah menjadi Presiden, dan lebih spesifik lagi, keduanya adalah mempunyai latar belakang profesi di bidang hukum, yaitu Advokat. Bagaimana dengan Indonesia, sidang pembaca tidak perlu berkecil hati, kita mempunyai Mr. Assaat, yang pernah menyandang sebagai pelaksana jabatan Presiden R.I. dan juga mempunyai latar belakang profesi yang sama sebagai Advokat.

Latar Belakang Sejarah

Memahami posisi Mr. Assaat sebagai pelaksana jabatan Presiden R.I., mengharuskan kita untuk membaca mengenai Konferensi Meja Bundar. Bahkan mungkin perundingan-perundingan lainnya setelah Belanda melancarkan Agresi militer untuk kembali berkuasa di Indonesia. 

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.[1]

Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.[2]
 
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibu kota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan Federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.[3]

Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:[4]
"1. Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
2. Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
3.Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949."
Terjadi perdebatan di Parlemen Belanda atas hasil kesepakatan Konperensi Meja Bundar, akan tetapi Majelis Tinggi dan Rendah negeri Belanda meratifikasinya pada tanggal 21 Desember oleh mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik khususnya mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua Barat yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan dipindahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.[5] Berikut lambang Republik Indonesia Serikat:

(id.wikipedia.org)

Adapun dampaknya adalah tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.[6] Alhasil, dampaknya kepada Indonesia waktu itu adalah yang diakui berdaulat oleh Belanda adalah Republik Indonesia Serikat (R.I.S).

Lalu yang menjadi pertanyaan adalah: Kapan Mr. Assaat menyandang pelaksana jabatan Presiden Republik Indonesia? Dan apa arti pentingnya? Jabatan ini disandangnya yaitu setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 5 Agustus 1950.[7] Arti pentinya sejarah ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian dan Republik Indonesia merupakan salah satu di antaranya. Dan karena Soekarno dan Hatta telah ditetapkan sebagai Presiden dan Perdana Menteri RIS, berarti telah terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia. Oleh sebab itu, Assaat menjabat sebagai Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia. Peranan Assaat sangat penting. Kalau tidak ada R.I. saat itu berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia, yakni bahwa R.I. pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun dengan mengakui keberadaan R.I. dalam R.I.S. yang hanya beberapa bulan, maka sejarah R.I. sejak tahun 1945 hingga sekarang tidak pernah terputus. Sebelum R.I.S. melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1950, Assaat merupakan pemangku jabatan presiden sekitar sembilan bulan. Oleh karena itu, pengingkaran terhadap eksistensi Assaat sebagai Presiden R.I. memiliki konsekuensi historis maupun yuridis yang sangat besar.[8]

Kelahiran, Pendidikan & Kiprah Dalam Dunia Pergerakan 

Laki-laki kelahiran Banuhampu, Bukit Tinggi, Sumatera Barat, tanggal 18 September 1904 ini terlahir sebagai remaja yag sangat beruntung di zamannya. Gelar adatnya saja Datuk Mudo. Setidaknya, ia mencicipi sekolah elit pribumi sejak tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dia mencicipi SD elit pribumi HIS, SMP elit pribumi MULO, sebentar di STOVIA, lalu di AMS.[9]

Setelahnya, dia belajar juga di sekolah hukum Recht Hoge School (RHS). Sejak masih sekolah di Betawi, Assaat ikut serta dalam Jong Sumatranen Bond, organisasi pemuda bagian pergerakan nasional. Ikut serta pula dia dalam kepanitiaan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta.[10]

Setelah lulus dari Leiden (1939), selain pernah jadi advokat di Jakarta (1940), menurut catatan Orang-orang Indonesia Yang Terkemuka di Jawa (1986:280), dia pernah bekerja di NV Centrale Hulp Spaar en Hypotheekbank di Jakarta. Waktu zaman Jepang, dia menjadi pegawai di Somubu Indonesia Bunshitu. Assaat pernah juga menjadi camat Gambir dan Wedana Mangga Besar kala zaman Jepang.[11]

Terkait pergerakan nasional, dia pernah menjadi bendahara Pemuda Indonesia (1939) dan bendahara pada Indonesia Muda (1941-1942). Menurut catatan Sutan Mohamad Rasyid Rasjid, dia pernah aktif mendukung Mr. Sartono di Partai Indonesia (Partindo) ketika masih kuliah bersama Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin.[12]

Menurut catatan Hatta dalam "Mohammad Hatta Memoir", awal zaman Jepang, bersama kawan-kawannya yang bergelar Mr, Assaat menawarkan diri bekerja kepada Hatta. Namun, akhirnya, bersama Mr. Wilopo, Assaat bekerja di bawah seorang Jepang bernama Harada.[13]

Pada zaman Indonesia Merdeka dia termasuk yang ikut Republik. Dia aktif dalam organisasi yang mirip parlemen bernama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), di mana Assaat jadi ketuanya sejak awal 1947. Di KNIP, Assaat adalah wakil dari Partai Sosialis. Ketika ibukota Republik Indonesia diduduki militer Belanda, pada 19 Desember 1948, Assaat termasuk salah satu yang ditangkap.[14]

Pada 22 Desember 1948, bersama Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Gafar Pringgodigdo, dan Komodor Suryadi Suryadarma—sebagai tawanan militer Belanda—Assaat dibawa keluar ibukota yang telah diduduki. “Masing-masing boleh membawa pakaian dalam koper. Kira-kira pukul 08.00 kami dibawa dengan jeep ke Maguwo. Di Maguwo kami diminta naik ke dalam sebuah Bomber (pesawat pembom),” aku Hatta.[15]

Assaat memprediksi mereka semua akan dibawa ke Saparua, seperti yang sebelumnya dialami Sam Ratulangi. Rupanya, pesawat itu mendarat di lapangan terbang tertua di Indonesia, Cililitan (kini Bandara Halim Perdanakusumah). Mereka singgah sebentar dan semuanya buang air. Sebelum terbang menuju Bangka, pesawat tiba di lapangan terbang Pangkal Pinang (kini Depati Amir). Hatta bersama Gafar, Assaat, dan Suryadarma dibawa ke Menumbing. Setelah Belanda ditekan dunia internasional, pada 1949 Republik Indonesia pun dipulihkan. Pemimpin-pemimpin republik, termasuk Assaat, dibebaskan.[16]

Assaat kembali ke Yogyakarta dan setelah 27 Desember 1949 dia jadi pejabat Presiden RI untuk beberapa bulan. Ketika hendak mengisi jabatan pejabat Presiden, Assaat ditanyai Subakir, seperti dicatat dalam Skets Parlementer sebagai berikut:[17]
"Nama Tuan disebut-sebut sebagai salah satu yang mungkin akan menjadi acting Presiden Republik Indonesia. Sampai dimana betulnya ini?

Sambil tertawa, Assaat menjawab, “Ah buat saya itu terlalu muda.” Umur Assaat kala itu mendekati 46 tahun.

Subakir lalu bikin Assaat ikut tertawa dengan bilang, “Datuk Mudo yang terlalu muda.”


Sebelum ibukota R.I. kembali lagi ke Jakarta, demi mengenang Yogyakarta sebagai kota perjuangan, Assaat memprakarsai pembangunan Masjid Syuhada. Selama menjadi acting Presiden, Assaat adalah penandatangan statuta pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM). Assaat, pejabat presiden yang tercatat itu, tutup usia pada 16 Juni 1976.[18]

Mr. Assaat Dan Profesi Advokat

Pada saat zaman Republik Indonesia baru berdiri, tak banyak kaum terpelajar. Seorang advokat seharusnya tajir melintir dan ke mana-mana pakai mobil. Namun, itu tidak terjadi di awal tahun 1950 di Yogyakarta pada diri Assaat. Padahal, dia punya ijazah Meester in Rechten (Mr) dari tahun 1939 dari Universitas Leiden Belanda, meski beberapa tahun pertama studi hukumnya dijalani di Recht Hoge School (RHS) Batavia.[19]

Sejak tahun 1940, Assaat sudah jadi Advokat di Jakarta. Ia adalah Advokat yang hidup sederhana. “Dari rumah ke kantornya sehari-hari kadang-kadang berjalan kaki dan bersepeda,” tulis Marthias Dusky Pandoe, dalam buku "Jernih Melihat Cermat Mencatat". Biasanya dia melintasi daerah Malioboro, Yogyakarta. Di hari-hari terakhir Yogyakarta menjadi ibukota R.I. Mr. Assaat bukanlah orang sembarangan pada waktu itu.[20]

Belakangan, Assaat bernasib sama dengan orang bergelar Meester in Rechten (Mr.) lain yang pernah jadi Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Tak banyak orang Indonesia tahu bahwa Mr. Assaat pernah menjadi pejabat Presiden ketika Sukarno harus mengampu kepemimpinan Republik Indonesia Serikat.[21]

Meskipun berprofesi sebagai Advokat, Mr. Assaat jauh dari gaya hidup glamor layaknya celebrity lawyer seperti saat ini. Terutama bagi orang-orang yang mengenalnya, Mr. Assaat adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Penjabat Presiden, ia tidak mau dipanggil 'Paduka Yang Mulia', lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden yang menjadi agak canggung pada waktu itu. Mr. Assaat bukan ahli pidato, ia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh. Ia seorang yang taat melaksanakan ibadah, tak pernah meninggalkan salat lima waktu, dan adalah seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, seperti juga Bung Hatta.[22] 
___________________
Referensi:

1. "Konperensi Meja Bundar", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 24 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. "Posisi Presiden Sjafruddin Prawiranegara, Assaat, dan Jokowi", Ahmad Choirul Rofiq, www.kompasiana.com., Diakses pada tanggal 25 Oktober 2020, https://www.kompasiana.com/8377/54f412407455139d2b6c84b7/posisi-presiden-sjafruddin-prawiranegara-assaat-dan-jokowi
9. "Mr. Assaat: Presiden yang Tak Dihitung oleh Negara", tirto.id., Diakses pada tanggal 25 Oktober 2020, https://tirto.id/mr-assaat-presiden-yang-tak-dihitung-oleh-negara-cLQy
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Ibid.
19. Ibid.
20. Ibid.
21. Ibid.
22. "Assaat", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 25 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Assaat

Sabtu, 24 Oktober 2020

Mendahulukan Penyitaan Barang Bergerak

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas "Penyitaan Berdasarkan Perkiraan Nilai Objektif Dan Proporsional" pada label praktik hukum, dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Mendahulukan Penyitaan Barang Bergerak.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, permintaan sita jaminan (CB) atas harta kekayaan Tergugat sangat erat kaitannya dengan sengketa dan tuntutan, yaitu: a). Pembayaran pelunasan Utang, berdasarkan perjanjian kredit; b). Tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi atau PMH. Apabila Penggugat mengajukan tuntutan atas pemenuhan pembayaran utang atau tuntutan ganti rugi, sangat beralasan meminta penyitaan terhadap harta kekayaan Tergugat. Permintaan sita dapat diajukan terhadap barang tertentu apabila barang itu telah diikat sebagai agunan atau terhadap sebagian atau seluruh harta kekayaan Tergugat berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, apabila tuntutan tidak diikat dengan agunan barang tertentu.[1]

Permintaan maupun pelaksanaan sita jaminan dalam kasus yang demikian, mesti tunduk kepada prinsip yang diatur Pasal 227 ayat (1) HIR dan 720 Rv. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal itu, permintaan dan pengabulan maupun pelaksanaan sita jaminan atas tuntutan pembayaran utang atau ganti rugi, tunduk pada prinsip:[2]
  • Yang pertama-tama disita ialah barang bergerak (roerende goederen, moveable goods), kalau nilai harga barang bergerak yang disita diperkirakan sudah cukup menutupi pelunasan pembayaran tuntutan, penyitaan harus dihentikan sampai di situ;
  • Apabila diperkirakan penyitaan terhadap barang bergerak belum mencukupi jumlah tuntutan, baru boleh dilakukan penyitaan terhadap barang tidak bergerak (onroerende goederen, unmoveable goods).
Memperhatikan tata urutan yang digariskan Pasal 227 ayat (1) HIR itu, penyitaan atas harta kekayaan Tergugat berdasarkan tuntutan pembayaran utang atau tuntutan ganti rugi, tidak boleh langsung diletakkan kepada barang tidak bergerak. Urutan prioritas pertama, diletakkan pada barang bergerak.[3]

Kebolehan melanjutkan sita terhadap barang tidak bergerak, apabila nilai harga barang bergerak tidak mencukupi untuk melunasi jumlah tuntutan, dengan pengecualian yang dijelaskan di bawah ini:[4]
  1. Tidak ada dijumpai barang bergerak. Penggugat tidak mengetahui dan menjumpai harta kekayaan Tergugat yang berbentuk barang bergerak. Sehubungan dengan itu, permintaan sita langsung ditujukan Penggugat terhadap barang tidak bergerak. Kalau benar-benar tidak ada barang bergerak, permintaan sita dapat dikabulkan langsung terhadap barang tidak bergerak.
  2. Perjanjian Kredit Dijamin Agunan Tertentu. Pengecualian lain, apabila Perjanjian Kredit telah menentukan sendiri barang jaminan sebagai agunan utang berupa barang tidak bergerak, penyitaan dapat langsung diletakkan terhadapnya, meskipun terbukti Tergugat mempunyai barang bergerak. Dalam kasus demikian, prinsip spesialitas dan separatis mengesampingkan azas mendahulukan penyitaan terhadap barang bergerak yang digariskan Pasal 227 ayat (1) HIR dan Pasal 720 Rv.
___________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 303.
2. Ibid. Hal.: 304.
3. Ibid. Hal.: 304.
4. Ibid. Hal.: 304.

Jumat, 23 Oktober 2020

Mengenal Thomson Snell & Passmore, Firma Hukum Tertua

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya pada label Tokoh Hukum, platform Hukumindo.com telah membahas "Mr. Johannes van Den Brand, Advokat Pembela Kuli Zaman Penjajahan Belanda", dan pada kesempatan ini kita akan ke tanah Inggris untuk berkenalan dengan Thomson Snell & Passmore, merupakan firma hukum tertua yang ada dan masih beroperasi.

Menurut catatan dari "Guiness World Record", firma hukum tertua yang sampai saat ini beroperasi adalah Thomson Snell & Passmore, yang berlokasi di Kent, Inggris. Law Firm ini telah beroperasi sejak tahun 1570 atau tepatnya telah berumur 450 tahun! Firma hukum ini didirikan oleh Pendeta Nicholas Hooper. Law firm Pickering Kenyon adalah pemegang rekor sebelumnya dalam kategori ini karena beroperasi dari tahun 1561, tetapi tidak ada lagi pada tahun 1995 setelah 434 tahun.[1]

Mengenal Thomson Snell & Passmore

Thomson Snell & Passmore menonjol dalam kancah hukum Inggris karena garis keturunannya yang luar biasa. Ada garis perkembangan yang jelas --mitra yang mewariskan tradisi, budaya dan keahlian-- dari satu generasi ke generasi lainnya sejak akhir abad ke-16. Dan dalam perjalanan waktu itu konteks ekonomi di mana para pengacara ini bekerja telah berubah tidak hanya sekali tetapi tiga kali setelah revolusi pertanian, industri, dan digital.[2]

Kebetulan, tiga 'mitra nama' --Thomson, Snell & Passmore--aktif di paruh kedua abad kesembilan belas dan paruh pertama abad kedua puluh. Jeremy Passmore, putra John Passmore, adalah anggota keluarga terakhir yang berlatih setelah pensiun pada 2017. Namun, mereka bergabung bersama perusahaan yang silsilahnya jauh ke dalam tradisi hukum Kent dan London. Ini membentuk karakter dan nilai-nilai perusahaan dan menjelaskan posisinya yang unik dalam sejarah hukum negara ini.[3]

Jadi, umur panjang perusahaan adalah penghargaan atas kemantapan dan komitmennya yang dalam guna bekerja demi kepentingan terbaik kliennya dan kebaikan komunitas lokal. Kisah dua ratus tahun pertama sebenarnya tentang dua keluarga--Hoopers dan kemudian Scoones dan ikatan yang mereka jalin. Setelah itu, ada kisah tentang bagaimana perusahaan modern muncul dari akar kuno tersebut.[4]

Sejarah Pendirian Law Firm

Pada tahun 1570, seorang kurator dari Gereja Paroki Tonbridge dengan nama Nicholas Hooper mengumumkan dirinya sebagai "ahli menulis dan konseptor dokumen". Dia menambah gaji gerejawi dengan menyusun surat wasiat dan obligasi properti, dan mengambil keuntungan dari perluasan aktivitas pedagang di bawah pemerintahan Elizabeth I dari Inggris. Putra Hooper, John, mengambil alih praktik tersebut pada tahun 1618, dan firma tersebut tetap berada di dalam keluarga sampai keturunan John, George Hooper, meninggal pada tahun 1759.[5]

Setelah kematian George Hooper, firma tersebut diakuisisi oleh Thomas Scoons dari Tonbridge. Dia memberikannya kepada putranya, William Scoons, yang diikuti oleh putranya sendiri William Junior dan John Scoons. Pada tahun 1850-an, keluarga Scoons berpulang untuk selamanya, meninggalkan perusahaan kepada partnernya, Sydney Alleyne. Perusahaan itu dikenal sebagai Alleyne & Walker selama era Victoria. Pada tahun 1890 diambil alih oleh John Thomas Freer, menjadi Alleyne Morgan & Freer. Pada tahun 1939, firma itu dibeli oleh firma lain, Templar & Passmore. Perusahaan memperoleh namanya pada tahun 1968 sampai saat iniFrederick Alfred Snell, putra pendiri salah satu firma yang bergabung untuk membentuk firma saat ini, memegang rekor sebagai pengacara tertua di Inggris pada saat kematiannya pada usia 96 tahun pada 1954.[6]

Area Praktik

Pada 2017, Thomson Snell & Passmore beroperasi di bidang wasiat, perwalian, dan perkebunan, hukum properti, dan hukum komersial, seperti yang telah mereka lakukan sejak 1570. Selain itu, mereka menawarkan berbagai macam layanan modern baik untuk individu maupun bisnis.[7]

Dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah memperluas fokus mereka pada klien komersial, dengan pertumbuhan pendapatan sebesar 25,5% dari pada paruh pertama tahun 2016. Selama periode waktu yang sama, praktik klien swasta perusahaan tumbuh sebesar 7%. Pertumbuhan berlanjut di paruh akhir 2016, meskipun ada kekhawatiran tentang efek Brexit terhadap ekonomi Inggris.[8] 

Dapat penulis tambahkan, bahwa selama firma hukum ini beroperasi, nampaknya lebih banyak menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti wasiat, hukum properti dan hal-hal yang berhubungan dengan perihal perusahaan. Bagaimana rekan advokat sekalian, sudah ada gambaran agar firma hukum anda bertahan hingga ratusan tahun?

_________________
Referensi:

1. "Oldest law firm in operation", guinessworldrecords.com, Diakses pada tanggal 22 Oktober 2020, https://www.guinnessworldrecords.com/world-records/399783-oldest-law-firm-in-operation
2. "Thomson Snell & Passmore: a short history for a firm long on heritage", ts-p.co.uk., Diakses pada tanggal 22 Oktober 2020, https://www.ts-p.co.uk/about-us/history
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Thomson Snell & Passmore", en.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 Oktober 2020, https://en.wikipedia.org/wiki/Thomson_Snell_%26_Passmore
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Kamis, 22 Oktober 2020

Penyitaan Berdasarkan Perkiraan Nilai Objektif Dan Proporsional

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Menyita Objek Milik Pihak Ketiga", dan pada kesempatan berikut ini akan dibahas Penyitaan Berdasarkan Perkiraan Nilai Objektif dan Proporsional dengan Jumlah Tuntutan.

Prinsip lain yang mesti diperhatikan, mengenai jumlah nilai barang yang disita. Sedapat mungkin tidak melebihi jumlah tuntutan Penggugat. Penyitaan yang ekstrem melampaui jumlah gugatan, dianggap sebagai tindakan undue process atau tidak sesuai dengan hukum acara dan dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang.[1]

Untuk menghindari tindakan penyitaan yang berlebihan, perlu diperhatikan pedoman-pedoman sebagai berikut:[2] 
  1. Dalam sengketa milik, Penyitaan terbatas pada Barang yang disengketakan. Jika perkara yang terjadi berkenaan dengan sengketa milik mengenai barang tertentu, permintaan sita yang dapat diajukan Penggugat hanya terbatas pada yang disengketakan, tidak melebihi barang itu;
  2. Dalam sengketa utang yang dijamin dengan barang tertentu. Apabila tuntutan berupa utang yang dikaitkan dengan perjanjian jaminan barang tertentu berupa tanah dalam bentuk hak tanggungan atau pabrik dalam bentuk fidusia maupun dalam bentuk perjanjian jaminan biasa, maka barang yang boleh disita hanya terbatas pada barang jaminan, sesuai dengan prinsip yang melekat pada perjanjian jaminan atau secured transaction, barang yang dijadikan dan diikat sebagai jaminan, memiliki sifat separatis, dalam arti barang itu secara khusus telah dipisahkan dari yang lain, dan semata-mata diperuntukan bagi kreditor yang bersangkutan;
  3. Sita dilakukan terhadap semua Harta Kekayaan tergugat sampai terpenuhi jumlah tuntutan. Kalau yang disengketakan berkenaan dengan tuntutan pembayaran utang yang tidak dijamin dengan barang tertentu (unsecured transaction), permintaan dan peletakkan sita dapat diajukan dan dilakukan terhadap semua harta kekayaan tergugat berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata, sampai penyitaan diperkirakan mencukupi memenuhi jumlah tuntutan. Yang menjadi patokan atas tindakan penyitaan tersebut, tidak boleh melampaui jumlah tuntutan;
  4. Apabila terjadi pelampauan segera dikeluarkan Penetapan Pengangkatan Sita. Penyitaan yang melampaui batas dari jumlah tuntutan, sering terjadi dalam sengketa utang yang tidak dijamin dengan barang agunan tertentu maupun dalam tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Dalam kasus yang seperti ini, Hakim kurang perduli memperkirakan jumlah barang yang disita dengan besarnya tuntutan. Hakim cenderung mengabulkan permohonan sita atas semua barang yang diajukan Penggugat, meskipun harga seluruh barang itu 10 atau 20 kali nilai tuntutan. Tindakan seperti itu sangat ceroboh dan tidak dibenarkan hukum, karena tindakan penyitaan yang jauh melampaui nilai tuntutan, bertentangan dengan tujuan sita jaminan, yaitu agar tuntutan Penggugat dapat dipenuhi kelak apabila Putusan telah berkekuatan hukum tetap. Apabila ternyata penyitaan terlanjur melampaui jumlah tuntutan, Hakim harus segera mengeluarkan penetapan pengangkatan sita atas barang selebihnya. 
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 300.
2. Ibid. Hal.: 301-303.

Rabu, 21 Oktober 2020

Larangan Menyita Objek Milik Pihak Ketiga

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pengabulan Sita Berdasarkan Pertimbangan Objektif", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Larangan Menyita Objek Milik Pihak Ketiga.

Proses penyelesaian suatu perkara, tidak boleh menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perkara. Prinsip kontrak partai (party contract) yang digariskan Pasal 1340 KUHPerdata yang menegaskan perjanjian hanya mengikat kepada para pihak yang membuatnya, berlaku juga dalam proses penyelesaian perkara. Hanya mengikat kepada para pihak Penggugat dan Tergugat. Tidak boleh merugikan pihak ketiga atau pihak lain yang tidak terlibat sebagai pihak dalam perkara yang bersangkutan.[1]

Sehubungan dengan itu, pengabulan dan pelaksanaan sita dalam suatu perkara: a). Hanya terbatas terhadap harta kekayaan Tergugat; b). Tidak boleh melampaui terhadap harta kekayaan pihak ketiga. Adapun kewajiban hakim untuk meneliti apakah harta kekayaan yang diajukan Penggugat untuk disita, benar-benar milik Tergugat. Penelitian tentang itu dapat dilakukan melalui beberapa jalur:[2]
  1. Melalui pemeriksaan insidentil atau pemeriksaan pokok perkara. Dalam pemeriksaan itu, hakim dapat menanyakan baik kepada Penggugat dan Tergugat atas objek barang-barang yang hendak disita;
  2. Memerintahkan juru sita meneliti di Kantor BPN, apakah tanah yang hendak disita terdaftar atas nama Tergugat. 
Apabila ternyata dari hasil penelitian barang yang diminta untuk disita, bukan milik Tergugat, barang itu dikeluarkan dari objek sita.

Dalam hal objek yang dilakukan sita kemudian diduga milik Pihak Ketiga, maka upaya hukum yang dapat dilakukan secara perdata adalah:[3]
  1. Derden Verzet (Perlawanan Pihak Ketiga), sekiranya barang itu benar milik pihak ketiga, dia dapat mengajukan keberatan melalui upaya derden verzet. Meskipun sita telah diletakkan di atasnya, tidak ada muncul perlawanan dari pihak ketiga, oleh karena itu cukup alasan untuk menduga, harta tersebut milik Tergugat, bukan milik Pihak Ketiga;
  2. Segera Terbitkan Penetapan Pengangkatan Sita atas Barang Milik Pihak Ketiga, apabila sita telah diletakkan atas harta kekayaan yang ditunjuk Penggugat, kemudian hal itu dilawan oleh Tergugat berdasarkan alasan harta itu milik pihak ketiga, dann dari hasil penelitian Pengadilan memperoleh fakta, harta itu benar milik Pihak Ketiga, tindakan yang mesti dilakukan hakim adalah segera menerbitkan penetapan yang berisi perintah pengangkatan sita terhadap barang dimaksud dan jika barang tersebut berupa tanah atau kapal, yang pengumuman sitanya didaftarkan di kantor pendaftaran tanah atau kapal, maka pengangkatan sita tersebut segera diberitahukan kepada pejabat yang berwenang agar pengumuman sita dicabut, dan objek sitaan dipulihkan ke dalam keadaan tidak berada si bawah penyitaan.
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 299.
2. Ibid. Hal.: 299.
3. Ibid. Hal.: 299-300.

Selasa, 20 Oktober 2020

Mr. Johannes van Den Brand, Advokat Pembela Kuli Zaman Penjajahan Belanda

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya dalam label 'tokoh hukum', platform Hukumindo.com telah membahas "Mr. R.M. Gondowinoto: Sarjana Hukum Pribumi Pertama", dan pada kesempatan ini akan dibahas Mr. J. van Den Brand, Advokat Perburuhan Zaman Penjajahan Belanda.

Kondisi Sosiologis & Dasar Hukum Advokat

Di zaman penjajahan Belanda, tanggal 1 Mei 1843 disahkan Inlandsch Reglemen (I.R.) sebagai hukum acara pidana dan hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra, sedangkan untuk golongan Eropa berlaku hukum acara pidana Reglement op de Rechtsvordering. Pengadilan sehari-hari untuk orang-orang Bumiputra adalah Landraad dan pengadilan sehari-hari untuk golongan Eropa adalah Raad van Justitie.[1]

Saat itu, kebanyakan hakim dan semua notaris, serta para advokat adalah orang Belanda sampai pertengahan tahun 1920-an. Bagi orang Indonesia, cukup disediakan satu kitab undang-undang baik untuk perkara perdata dan pidana, yang menetapkan acara-acara pengadilan pangreh praja maupun landraad dan pengadilan-pengadilan yang lebih rendah.[2] Para advokat pada waktu itu mayoritas adalah orang-orang Belanda.

Pada tahun 1924 sebuah fakultas hukum didirikan di Batavia, Rechtshogeschool. Dengan tersedianya pendidikan hukum ini, maka kesempatan bagi orang Indonesia untuk menjadi Advokat semakin terbuka. Hingga pada tahun 1940 terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum sampai pada pendudukan Jepang. Para Advokat Indonesia angkatan pertama menetap di Belanda sebagai Advokat. Diantara empat puluh orang Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum di Leiden, tidak kurang dari enam belas orang menjadi Advokat sepulang ke Indonesia.[3]

Adapun berbagai pengaturan profesi Advokat pada masa penjajahan Belanda adalah sebagaimana berikut:[4]
  1. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau dikenal dengan R.O., pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocatenen procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum;
  2. Staatblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang Advokat atau procureur;
  3. Staatsblad Tahun 1848 Nomor 8 tentang Bepalingen Bedreffende Het Kostuum Der Regterlijke Ambtenaren En Dat Der Advocaten, Procureur En Deurwaarders, yaitu Peraturan Mengenai Pakaian Pegawai Kehakiman Dan Para Advokat, Jaksa dan Juru Sita;
  4. Staatsblad Tahun 1922 Nomor 522 tentang Vertegenwoordiging Van Den Lande In Rechten, yaitu tentang mengenai Mewakili Negara Dalam Hukum;
  5. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 Jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan;
  6. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan;
  7. Staatblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden, mengatur tentang penasehat hukum yang disebut “zaakwaarnemers’ atau pada masa tersebut dikenal dengan “pokrol”;
  8. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilanoleh seorang penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya;
  9. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Penderitaan Kuli Perkebunan Zaman Penjajahan Belanda

Istilah ”kuli” identik dengan pekerja kasar zaman kolonial. Panggilan ”kuli” juga merendahkan derajat bagi mereka yang menyandangnya. Kenyataannya kehidupan para kuli memang kerap ditindas oleh tuan kebun yang mengontrak mereka. Penggunaan istilah tersebut berkembang seiring besarnya kebutuhan perkebunan besar atas tenaga kerja pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.[5]

Hampir tiga dasawarsa silam, Profesor emeritus Jan Breman, seorang ahli sosiologi dari University of Amsterdam, mengungkap kembali penderitaan para kuli Sumatra Timur. Dia mengungkap penderitaan kuli sejak penandatanganan kontrak sampai kehidupannya di perkebunan. Breeman berkisah, selama berlayar, kuli tidak dianggap sebagai penumpang kapal, melainkan sebagai barang atau ternak. Para kuli itu diangkut dalam gerbong tertutup, bahkan ruangan mereka dipenuhi sampah dan kotoran kulit buah-buahan, ludah sirih, dan muntahan mabuk laut.[6]

Kuli perkebunan kerap kena tipu tuan kebunnya soal upah. Breman mengungkap bahwa upah yang dijanjikan dalam kontrak tidak sesuai dengan daya beli di Sumatra Timur. Kuli tidak diberi kebebasan membelanjakan upahnya yang sudah rendah itu. Banyak tuan kebun menggaji kulinya sebagian dengan uang buatan sendiri berupa kertas bon. Lebih lagi, pernah terjadi seorang majikan menggunting kaleng biskuit menjadi keping-keping bulat pipih, menuliskan angka-angka di atasnya, dan membayarkannya kepada para kuli Cina. Tentu saja, mata uang kertas bon dan kepingan kaleng biskuit tadi hanya dapat dibelanjakan di kedai perkebunan.[7]

Kuli menjadi sebuah ironi di negerinya sendiri. Breeman berkesimpulan bahwa tindak penyiksaan terhadap para kuli tadi bukanlah suatu kasus yang kebetulan terjadi, melainkan bersifat mengakar lantaran didukung antara tuan kebun dan pemerintah kolonial.[8]

Mr. J. van Den Brand Advokat Pembela Kuli

Pada zaman penjajahan Belanda, ada advokat Belanda yang justru membela rakyat jelata pribumi yang notabene terjajah, namanya M. Johannes van Den Brand. Ia lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand memilih mengabdi di Hindia-Belanda (sekarang Indonesia). Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat.[9]

Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J. Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007). Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.[10]

Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia-Belanda menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.[11]

Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den Brand dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap Den Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.[12]

Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.[13]

Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.[14]
__________________
Referensi:

1. "Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia", lbhsembilandelapan.wordpress.com, Diakses tanggal 20 Oktober 2020, https://lbhsembilandelapan.wordpress.com/2015/08/12/sejarah-bantuan-hukum-di-indonesia/
2. Ibid.
3. "SEJARAH ADVOKAT INDONESIA", abpnnews.id., 11/08/2019 Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, https://abpnews.id/2019/08/11/sejarah-advokat-indonesia/
4. Ibid.
5. "Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda", nationalgeographic.grid.id., Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 12 Maret 2019, Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, https://nationalgeographic.grid.id/read/131662370/kisah-tak-terperi-para-kuli-hindia-belanda?page=all
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. "Advokat Van Den Brand", irawan-santoso.blogspot.com., Diakses pada tanggal 20 Oktober 2020, http://irawan-santoso.blogspot.com/2008/05/van-den-brand.html
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
14. Ibid.

Senin, 19 Oktober 2020

Pengabulan Sita Berdasarkan Pertimbangan Objektif

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih pada label Praktik Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Permohonan Sita Dapat Diajukan Selama Pemeriksaan Sidang", dan selanjutnya dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai Pengabulan Sita Berdasarkan Pertimbangan Objektif.

Seperti telah dijelaskan, penyitaan merupakan tindakan eksepsional yang memberi kewenangan bagi Pengadilan atau Hakim untuk menghukum dan merampas harta kekayaan Tergugat sebelum putusan mengenai pokok perkara diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan itu, agar penyitaan tidak bercorak sewenang-wenang, perlu ditegakkan prinsip yaitu pengabulan sita harus berdasarkan pertimbangan yang objektif. Prinsip ini berkaitan dengan asas permohonan sita yang harus berdasarkan alasan yang cukup dan objektif. Bertitik tolak dari prinsip-prinsip tersebut, dalam penetapan pengabulan sita, haruslah jelas dan terang tercantum pertimbangan yang rasional dan objektif.[1]

Argumentasi mengenai alasan sita, dalam penetapan sita terdapat pertimbangan mengenai alasan yang diajukan Penggugat, yaitu: a). Kaitan antara sita dengan dalil gugatan sangat erat sedemikian rupa, sehingga penyitaan benar-benar urgent (mendesak), sebab kalau sita tidak diletakkan di atas harta kekayaan Tergugat, kepentingan Penggugat tidak terlindungi; b). Penggugat dapat menunjukan berdasarkan fakta atau paling tidak berupa indikasi adanya dugaan atau persangkaan bahwa Tergugat berdaya upaya untuk menggelapkan atau menghilangkan harta kekayaannya selama proses pemeriksaan berlangsung, guna menghindari pemenuhan gugatan.[2]

Cara memperoleh fakta yang lebih objektif, supaya pertimbangan penetapan pengabulan sita dapat diutarakan berdasarkan fakta atau indikasi yang lebih objektif dan rasional, Pengadilan dapat menempuh cara berikut:[3]
  1. Melalui proses pemeriksaan Insidentil, dalam artian apabila hakim bermaksud hendak mengabulkan atau menolak sita sebelum proses pemeriksaan pokok perkara berlangsung, maka: a). Tidak layak pengabulan atau penolakan itu dilakukan dari belakang meja berdasarkan analisis yang bersumber dari gugatan atau dokumen yang disampaikan Penggugat kepada Pengadilan; b). Yang tepat dan layak, Pengabulan atau penolakan sita dilakukan melalui proses pemeriksaan insidentil. Melalui proses insidentil, hakim mencoba menggali dan menemukan hal-hal yang bermakna sejauh mana urgensi penyitaan itu.
  2. Melalui proses pemeriksaan Pokok Perkara, pengabulan atau penolakkan sita yang paling ideal, dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan pokok perkara. Melalui cara ini, hakim menggariskan kebijaksanaan agar permasalahan permintaan sita tidak diselesaikan sebelum pemeriksaan pokok perkara, tetapi bersama-sama dengan pemeriksaan pokok perkara. Jadi, untuk menghindari kekeliruan dalam pengabulan sita, cara yang dianggap paling tepat adalah melalui proses pemeriksaan pokok perkara. Melalui cara ini akan diperoleh fakta dan informasi lebih lengkap dan objektif yang bersumber dari kedua belah pihak yang berperkara.
_________________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 297.
2. Ibid. Hal.: 297.
3. Ibid. Hal.: 298-299.

Sabtu, 17 Oktober 2020

Permohonan Sita Dapat Diajukan Selama Pemeriksaan Sidang

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada platform sebelumnya, Hukumindo.com telah membahas mengenai "Penggugat Wajib Menunjukan Barang Objek Sita", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Permohonan Sita Dapat Diajukan Selama Pemeriksaan Sidang.

Sebagai pedoman, dapat diikuti penegasan Putusan MA Nomor: 371 K/Pdt/1984 yang mengatakan, meskipun sita jaminan (CB) tidak tercantum dalam gugatan maupun dalam petitum gugatan, dan baru diajukan belakangan dalam surat tersendiri, jauh setelah gugatan didaftarkan, cara yang demikian tidak bertentangan dengan tata tertib beracara, karena undang-undang membolehkan pengajuan sita jaminan (CB) dapat dilakukan permintaannya sepanjang proses persidangan berlangsung. Oleh karena itu, pengabulan sita dalam kasus yang seperti ini tidak bertentangan ultra petitum partium yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR. Memperhatikan putusan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 227 ayat (1) HIR, dapat dikemukakan acuan penerapan pengajuan permintaan sita.[1] Diterangkan sebagai berikut.

Pertama, selama belum dijatuhkan putusan pada tingkat Peradilan Pertama. Selama proses pemeriksaan pada tingkat peradilan pertama di PN, Penggugat dapat dan dibenarkan mengajukan permintaan sita. Ketentuan batas waktu ini, secara tersurat disebut dalam Pasal 127 ayat (1) HIR yang mengatakan, sita terhadap harta kekayaan tergugat (debitur) dapat diminta selama belum dijatuhkan putusan atas perkara tersebut. Bahkan seperti telah dijelaskan terdahulu, permintaan sita dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan melalui cara mencantumkan permintaan itu dalam gugatan yang bersangkutan.[2]

Kedua, dapat diajukan selama Putusan belum dieksekusi. Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR yang berbunyi: selama putusan yang mengalahkannya belum dijalankan eksekusinya. Dengan demikian: baik selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum; selama putusan belum dieksekusi, Penggugat dapat mengajukan permintaan sita atas harta kekayaan Tergugat. Memperhatikan ketentuan ini, permintaan sita tidak hanya dapat diajukan selama pemeriksaan perkara pada tingkat pertama PN, tetapi juga dapat diajukan dalam semua tingkat pemeriksaan: dapat diajukan Penggugat selama proses pemeriksaan di PN; dapat juga diajukan selama berlangsung pemeriksaan tingkat banding di PT; atau selama proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat Kasasi di MA.[3]

Ketiga, instansi yang berwenang memerintahkan sita. Mengenai kasus permohonan sita yang diajukan setelah proses pemeriksaan berlangsung pada tingkat Banding atau Kasasi, terdapat perbedaan pendapat. Pedapat pertama, Mutlak menjadi kewenangan PN. menurut pendapat ini hanya PN, instansi yang berwenang memerintahkan dan melaksanakan sita, Pendapat ini bertitik tolak dari ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR yang berbunyi: Ketua PN karena jabatannya memerintahkan Penyitaan; Pelaksanaan perintah penyitaan dijalankan oleh Panitera atau Juru Sita. Pendapat kedua, Pengadilan Tinggi berwenang Memerintahkan Sita, menurut Subekti, permohonan sita (CB) dapat juga diajukan kepada PT selama pokok perkaranya belum diputus pada tingkat banding. Pendapat ini didasarkan pada bunyi Pasal 227 ayat (1) HIR yang mengatakan sita dapat diajukan selama perkara tersebut belum memperolah putusan yang berkekuatan hukum tetap.[4]
______________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 292.
2. Ibid. Hal.: 292.
3. Ibid. Hal.: 292-293.
4. Ibid. Hal.: 293-297.