Oleh:
Tim Hukumindo
Sebelumnya platform Hukumindo.com, dalam label Praktik Hukum, telah membahas mengenai "Sita Berdasarkan Permohonan", dan sedangkan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Alasan-alasan Permohonan Sita.
Seperti yang telah dijelaskan, penyitaan merupakan hukuman dan perampasan harta kekayaan Tergugat sebelum putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, penyitaan sebagai tindakan yang bersifat ekseptional, harus benar-benar dilakukan secara cermat berdasarkan alasan yang kuat. Pasal 227 HIR atau Pasal 720 Rv memperingatkan hal itu, agar Penggugat dalam pengajuan sita menunjukan kepada Hakim sejauh mana isi dan dasar gugatan dihubungkan dengan relevansi dan urgensi penyitaan dalam perkara yang bersangkutan.[1]
Menurut Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, alasan-alasan pokok permintaan sita adalah sebagai berikut:
- Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa Tergugat: a). Mencari akal untuk menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, dan b). Hal itu akan dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung;[2]
- Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara objektif. Hal ini berarti a). Penggugat harus dapat menunjukan fakta tentang adanya langkah-langkah Tergugat untuk menggelapkan atau mengasingkan hartanya selama proses pemeriksaan berlangsung, dan b). Paling tidak Tergugat dapat menunjukan indikasi objektif tentang adanya daya upaya Tergugat untuk menghilangkan atau mengasingkan barang-barangnya guna menghindari Gugatan;[3]
- Sedemikian ruapa eratnya isi gugatan dengan Penyitaan, yang apabila penyitaan tidak dilakukan dan Tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan kerugian kepada Penggugat. Dari penjelasan di atas, Penggugat tidak dibenarkan mengajukan alasan sita hanya berdasarkan kekhawatiran atau persangkaan secara subjektif tentang Penggelapan atau Pengasingan harta kekayaan yang akan dilakukan oleh Tergugat. Menurut Pasal 227 HIR dan Pasal 720 Rv, alasan itu baru objektif, apabila didukung fakta atau petunjuk yang nyata. Paling tidak, Penggugat dapat menjelaskan tentang adanya daya upaya Tergugat yang konkret untuk menghilangkan harta kekayaannya.[4]
Sepengalaman penulis sebagai Advokat praktik, terdapat perbedaan yang cukup menarik dalam tataran teori dan praktik. Pada tataran teori, secara hukum alasan sita mengacu kepada ketentuan Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 Rv, hal dimaksud secara umum mengacu kepada adanya kekhawatiran Tergugat akan menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, yang dilakukannya selama proses pemeriksaan perkara berlangsung. Pada tataran praktik, sering kali penulis dalam menyusun posita gugatan memakai redaksional terkait permohonan sita sebagai berikut:
"Bahwa, agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir), maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag) terhadap harta tidak bergerak milik Tergugat berupa:......"
Redaksional posita atas permohonan sita di atas dalam praktinya tidak terdapat masalah, hanya saja jika ditelisik lebih lanjut tidak mengakomodasi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menjelaskannya? Karena di satu sisi tidak secara eksplisit atas permohonan sita dimaksud tidak mencantumkan alasan sita sebagaimana ketentuan Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv, sedangkan di sisi lain dalam praktik dikatakan redaksional permohonon sita hanya dengan menuliskan "agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir) maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita..." tidaklah menjadi masalah.
Menurut salah satu kolega penulis yang tidak disebutkan namanya di sini, bahwa ketika seorang Penggugat atau Kuasa Hukumnya menuliskan alasan sita dalam salah satu posita gugatannya mengacu secara eksplisit pada ketentuan Pasal 227 HIR maupuan Pasal 720 Rv adalah perihal formilnya. Sedangkan jika seseorang Penggugat atau Kuasa Hukumnya menuliskan alasan sita dalam salah satu posita gugatannya dengan redaksional "agar Gugatan ini tidak sia-sia/hampa (illusoir) maka Penggugat mohon agar diletakkan Sita..." adalah perihal materiilnya (akibat).
Penggunaan kedua bentuk alasan sita dalam posita surat gugatan sebagaimana telah disinggung di atas adalah diperbolehkan, serta tidak menjadi masalah. Hal ini bagi penulis cukup menarik, dikarenakan penjelasan tersebut tidak terdapat dalam buku ahli dari M. Yahya Harahap, S.H. yang penulis kutip. Mungkin dapat dimaklumi, bahwa ahli dimaksud mempunyai latar belakang sebagai seorang Hakim, yang tentu saja berbeda posisi hukumnya dengan seorang Advokat.
__________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 Tahun 2010, Hal.: 289.
2. Ibid. Hal.: 289.
3. Ibid. Hal.: 289.
4. Ibid. Hal.: 289-290.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar