Oleh:
Tim Hukumindo
Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas tokoh "Mr. Sartono, Advokat Soekarno di Meja Hijau". Pada kesempatan yang berbeda ini akan dibahas tokoh yang lain, yaitu Mr. R.M. Gondowinoto seorang pribumi pertama bergelar Sarjana Hukum.
Sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya yang berjudul: "Di Negeri Penjajah", menyebut orang Indonesia pertama yang meraih gelar Meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum adalah Raden Mas Gondowinoto pada 1918.[1] Meskipun demikian, juga ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Sarjana Hukum pertama orang Hindia Belanda adalah Oi Jan Lee. Namun artikel ini bermaksud mengacu pada orang pribumi pertama peraih gelar sarjana hukum.
Universitas Leiden & Jejak Pribumi Pertama Bergelar Sarjana Hukum
Universitas Leiden (bahasa Belanda: Universiteit Leiden; nama bahasa Latin: Academia Lugduno-Batava) adalah universitas umum di Belanda. Terletak di Leiden dan didirikan pada tahun 1575 oleh Pangeran Willem van Oranje, universitas negeri ini adalah universitas tertua di Belanda. Universitas Leiden dikenal untuk sejarah panjangnya, keunggulan di ilmu sosial, dan asosiasi pelajarnya.[2]
Universitas Leiden mulai dikenal sejak masa keemasan Belanda, ketika akademisi dari seluruh Eropa terpikat dengan Republik Belanda karena iklim toleransi terhadap cendekiawan dan reputasi internasional Leiden. Pada masa ini Leiden menjadi rumah untuk para cendekiawan Eropa seperti René Descartes, Rembrandt, Christiaan Huygens, Hugo Grotius, Baruch Spinoza dan Baron d'Holbach.[3] Salah satu alumni Fakultas Hukum Universitas Leiden adalah Ketua Mahkamah Agung R.I. pertama, yaitu Mr. Koesoemah Atmadja.[4]
Universiteit Leiden, Belanda, memiliki sejarah yang cukup dekat dengan komunitas hukum Indonesia. Sejak dahulu kala, tak sedikit “anak-anak” Bumiputera--ketika Indonesia masih disebut Hindia Belanda--yang menimba ilmu hukum dan meraih gelar dari universitas tertua di Belanda ini.[5] Kedekatan ini dikarenakan pada waktu itu Belanda adalah merupakan negara yang menjajah Nusantara, selain itu dengan adanya politik etis, keran pendidikan mulai dibuka kepada penduduk pribumi Nusantara.
Gondowinoto, Keturunan Raja Paku Alam
Gondowinoto lahir pada 1889 di Yogyakarta. Putra dari Pangeran Notodirodjo, saudara Pakoe Alam VI. Ayahnya sangat peduli dengan pendidikan. Karenanya dia dan saudara-saudaranya dimasukkan ke sekolah Belanda. Setelah lulus pendidikan ELS dan HBS pada 1907, dia menyusul kakaknya, Raden Mas Notokworo, meneruskan pendidikan ke Negeri Belanda. Notokworo menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Leiden tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Hindia Belanda.[6]
Pada 1910, Gondowinoto, yang menguasai bahasa Latin dan Yunani, mengikuti langkah kakaknya yang lain, Noto Soeroto, mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Noto Soeroto menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum atau kandidaatexamen (semacam sarjana muda). Namun, dia gagal meraih gelar Mr. Sehingga Gondowinoto yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar Mr.[7]
Karir Hukum
Setelah lulus tahun 1918, Gondowinoto kembali ke Indonesia. Penugasan pertamanya sebagai anggota Majelis Kehakiman di Makassar (1919-1921). Kariernya naik menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi di Makassar. Dari Makassar, Gondowinoto bertugas di Kalimantan. Di sana dia pernah menjadi pembela Idham Chalid (kelak menjadi ketua PBNU) yang ketika itu menjadi penghulu di Setui, Kalimantan Selatan.[8]
Dalam biografinya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: "Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah" karya Arief Mudatsir Mandan, disebut bahwa Idham Chalid berhenti sebagai penghulu Setui karena perkara perkelahian dengan Haji Bakri. Penyebabnya tidak diketahui pasti. Kasus itu sampai ke pengadilan (Landraad) di ibu kota onderafdeling (Kawedanaan) Kota Baru, Pulau Laut. Hakim Landraad seorang Belanda agak memihak kepada Haji Bakri, kabarnya karena Idham Chalid pernah ikut mengurus Sarikat Islam dan Nahdlatul Ulama. “Seorang advokat sahabatnya, Mr. R.M. Gondowinoto, menjadi pembelanya di pengadilan. Akhirnya, keputusan perkara Upau alias tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, dua-dua bebas, disuruh bermaaf-maafan. Keduanya menjadi bersahabat kembali,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Malahan sehabis persidangan, Haji Bakri menginap di rumah Idham Chalid. “Demikianlah orang-orang tua dahulu, tidak ada yang menyimpan dendam walaupun pernah bersengketa.”[9]
Selain di bidang hukum, Gondowinoto juga terlibat dalam pergerakan di media massa. Dia menjabat direktur surat kabar Soeara Kalimantan yang mulai terbit pada 1 April 1930. A.A. Hamidhan sebagai kepala redaksi, dan A. Atjil sebagai redaktur keliling (reizende redacteur) dan penanggung jawab. Surat kabar ini diterbitkan oleh Drukkerij en Uitgevers Mij. Kalimantan. Pada 1934, susunan redaksi ditambah M. Hadhriah sebagai pejabat redaktur (plaatsyervangend redacteur) dan A. Madjidi sebagai kepala administrasi.[10]
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, mengenai haluannya, mingguan itu cenderung bercorak nasionalis dan berusaha memperjuangkan kepentingan Islam, umpamanya dalam artikel yang ditulis oleh redaksi tanggal 1 April 1930, antara lain mengemukakan: “Mementingkan soal-soal segenap kawan”; “wajib Pemoeda Islam sekarang ini menjelma warta”; “Angan angan kemerdekaan diharapkan Oemat”; “Boeatlah tjonto kepada Oemat”.[11]
Ketika pemerintah Hindia Belanda mencurigai Soeara Kalimantan, Gondowinoto menulis artikel “Soeara Kalimantan Berbahaja” tanggal 15 November 1930, yang antara lain mengemukakan bahwa Soeara Kalimantan:[12]
"Membela kehormatan bangsanya tanah airnya dari tindasan yang sewenang wenang dengan jalan yang patut … Akan mempertimbangkan dan memuji kepada siapa saja yang berbuat kebaikan dalam pekerjaannya tetapi mencuci sampai bersih pada segala perbuatan yang berbau busuk …. Mengajak rakyat bangsanya memperbaiki perekonomian dengan jalan memberi pandangan yang menarik hati mereka."
Pada masa pendudukan Jepang, Gondowinoto kembali ke Jawa. Dia menjadi penuntut umum di Mangkunegaran. Dia meninggal dunia pada tahun 1953.[13] Sebagaimana telah dijabarkan di atas, karir hukumnya cukup beragam dari Hakim, Advokat maupun Jaksa.
___________
Referensi:
1. "Bukan Gondowinoto! Oei Jan Lee, Orang Indonesia Pertama Lulusan Sarjana Hukum Luar Negeri", reqnews.com, Senin, 06 Mei 2019, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://www.reqnews.com/the-other-side/2381/bukan-gondowinoto-oei-jan-lee-orang-indonesia-pertama-lulusan-sarjana-hukum-luar-negeri
2. "Universitas Leiden", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Leiden
3. Ibid.
4. "Kisah Ketua MA Pertama", Hukumindo.com, 07 Agustus 2020, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://www.hukumindo.com/2020/08/kisah-ketua-ma-pertama-koesoemah-atmadja.html
5. "Melacak Jejak Orang “Bumiputera” yang Belajar Hukum di Leiden", Hukumonline.com, 28 Desember 2015, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt568103d12702c/melacak-jejak-orang-bumiputera-yang-belajar-hukum-di-leiden/
6. "Sarjana Hukum Pertama Indonesia Lulusan Belanda", Historia.id., 07 April 2019, Diakses pada tanggal 15 Oktober 2020, https://historia.id/politik/articles/sarjana-hukum-pertama-indonesia-lulusan-belanda-DBKJk/page/1
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar