Jumat, 30 Oktober 2020

Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepada Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Masih dalam label Praktik Hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Larangan Menyita Barang Tertentu", dan pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Penjagaan Sita Tidak Boleh Diberikan Kepada Penggugat.

Mengenai penjagaan barang sitaan berpedoman kepada ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg. Dalam ketentuan tersebut, ditegakkan prinsip, penjagaan barang sitaan tetap berada di tangan Tergugat atau Tersita. Prinsip ini ditegaskan juga dalam SEMA Nomor: 5 Tahun 1975, yang melarang penyerahan barang yang disita kepada Penggugat atau Pemohon Sita. Pada huruf (g) SEMA tersebut ditegaskan:[1]
  • Agar barang-barang yang disita tidak diserahkan kepada Penggugat atau Pemohon Sita;
  • Tindakan Hakim yang demikian akan menimbulkan kesan seolah-olah Penggugat sudah pasti akan dimenangkan dan seolah-olah pula putusannya serta-merta;
Untuk lebih jelasnya penerapan atas larangan sebagaimana diterangkan di atas, dapat diuraikan sebagaimana berikut:
  1. Penjagaan Sita atas Barang Bergerak, sudah dikatakan di atas, Pasal 197 ayat (9) HIR atau Pasal 212 RBg, mengatur tata tertib penyimpanan atau penjagaan barang sitaan benda bergerak. Berdasarkan Pasal itu, pelaksanaan penyimpanan atau penjagaan barang sitaan benda bergerak berdasarkan prinsip berikut: a). Ditinggalkan untuk disimpan oleh Pihak Tersita atau Tergugat di tempat barang itu terletak; b). Atau sebagian barang itu dibawa ke tempat penyimpanan yang patut. Begitulah patokan aturan penyimpanan sitaan barang bergerak yang mesti dipedomani Hakim dan Juru Sita.[2]
  2. Penjagaan Uang yang Diblokir di Bank, pada dasarnya penyimpanan uang yang ada di Bank disamakan dengan penyitaan Barang Bergerak. Oleh karena itu, prinsip penyimpanan dan penjagaannya tunduk pada ketentuan Pasal 197 ayat (9) HIR, yaitu: a). Tetap disimpan pada rekening atau deposito Tergugat di Bank yang bersangkutan; b). Penjagaan dan penguasaannya tetap berada di tangan Tersita, oleh karena itu tidak boleh dipindahnamakan kepada orang lain, tetapi harus tetap atas nama Tersita.[3]
  3. Penjagaan Sita atas Barang Tidak Bergerak, .[4]
  4. Penjagaan Sita Tidak Boleh kepada Pihak Ketiga, dilarang juga menyerahkan penguasaannya kepada Pihak Ketiga. Bahwa penyerahan atau penitipan barang sitaan oleh Juru Sita kepada Pihak Ketiga, seperti lurah atau Kepala Desa, tidak ada dasar hukumnya. Juru Sita yang menyerahkan penjagaan kepada Kepala Desa adalah keliru. Yang paling celaka, apabila penjagaan dan pengawasan diserahkan kepada Penggugat atau Kepala Desa. Misalnya, barang yang disita mobil angkutan atau kebun cengkih. Lantas sejak penyerahan dilakukan, mobil tersebut dioperasikan Kepala Desa atau Penggugat.[5]
  5. Penyitaan Tidak Mengurangi Penguasaan dan Kegiatan Usaha, seperti yang dijelaskan, larangan atas pemakaian barang sitaan, hanya terbatas pada barang yang habis pakai. Itu sebabnya tidak boleh memakai atau menggunakan uang yang disita, karena akan habis terpakai. Sepanjang pemakaian tidak berakibat habis terpakai, tidak dilarang mempergunakannya. Tergugat berhak penuh memakai dan mendiami rumah yang disita. Tersita berhak penuh menguasai kebun yang disita serta berhak mengambil hasilnya untuk dipakai dan dinikmati.[6]
___________
Referensi:

1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.:  306.
2. Ibid. Hal.:  306-307.
3. Ibid. Hal.:  307-309.
4. Ibid. Hal.:  309-310.
5. Ibid. Hal.:  310.
6. Ibid. Hal.: 310-311.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar