Oleh:
Tim Hukumindo
Pada label praktik hukum, sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "Kedudukan Hukum Pemegang Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Larangan Menyita Milik Negara.
Dalam salah satu Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2539 K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1985, terdapat penegasan, antara lain:[1]
- Pada prinsipnya barang-barang milik Negara tidak dapat dikenakan sita jaminan atau sita eksekusi, atas alasan barang-barang milik negara dipakai dan diperuntukan melaksanakan tugas kenegaraan;
- Namun demikian, berdasarkan Pasal 66 ICW (Indische Comptabiliteitswet), memberi kemungkinan menyita barang-barang milik Negara atas izin Mahkamah Agung;
- Akan tetapi, kebolehan itu mesti memperhatikan Pasal 66 ICW bahwa terhadap barang-barang milik Negara tertentu baik karena sifatnya atau karena tujuannya menurut Undang-undang tidak boleh disita;
- Sehubungan dengan itu, apabila hendak dilakukan penyitaan terhadap barang-barang milik Negara, harus lebih dahulu diteliti apakah barang milik Negara tersebut termasuk barang yang menurut sifat dan tujuannya barang yang dapat disita atau tidak.
Adapun landasan hukum larangan penyitaan milik Negara sebagaimana terlihat pada Putusan MA Nomor: 2539 K/Pdt/1985, larangan menyita barang-barang milik Negara menunjuk pada Undang-undang Perbendaharaan Negara Nomor: 9, Tahun 1968. Semula Undang-undang ini berawal dari ICW (Indische Comptabiliteitswet), terakhir dengan St. 1925 Nomor: 448 yang berisi ketentuan Pengaturan tentang Cara Pengawasan dan Pertanggungjawaban Keuangan RI.[2]
Larangan itu diatur pada Bagian 10 dengan judul Larangan Menyita Uang, Barang-barang Milik Negara, terdiri dari Pasal 65 dan 66, hanya dua Pasal, sehingga pengaturannya sangat singkat. Secara teknis yang termasuk uang, dan barang-barang milik Negara, bertitik-tolak dari ketentuan Pasal 2, yaitu segala asset atau kekayaan Negara yang masuk dan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedang uang atau kekayaan yang berada di luar tidak dibebankan kepada APBN, berada di luar jangkauan pengertian uang, atau barang milik Negara. Barang milik Negara yang seperti itu, selain dipergunakan untuk melaksanakan tugas kenegaraan, juga dikategorikan sebagai barang yang berada di luar perdagangan, sehingga terhadapnya tidak diperkenankan penyitaan.[3]
____________________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 tahun 2010, Hal.: 322.
2. Ibid., Hal.: 322-323.
3. Ibid., Hal.: 323.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar