(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Sebelumnya platform Hukumindo.com telah membahas perihal "Sita Pidana Atas Barang Sitaan Perdata Bukan Sita Penyesuaian", dan pada kesempatan ini akan membahas mengenai Pemegang Sita Perdata, Tidak Dapat Mengajukan Perlawanan Atas Penyitaan Pidana.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 39 ayat (2) KUHAP, pemegang sita perdata tidak dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap penyitaan pidana atas barang sitaan itu, karena penyitaan pidana bersumber pada kewenangan yang diberikan undang-undang, yaitu Pasal 39 ayat (2) KUHP kepada Penyidik. Perlawanan yang demikian dianggap tidak memiliki landasan hukum dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Demikian dasar-dasar penerapan yang tertuang dalam salah satu putusan Mahkamah Agung Nomor 3233 K/Pdt/1995, tanggal 28 Mei 1998 bahwa dalam penyitaan pidana atas barang sita jaminan (CB) dalam perkara perdata.[1]
Adapun singkat cerita, kasusnya adalah sebagai berikut, semula tanah tersebut diletakkan sita jaminan oleh Pengadilan Negeri dalam perkara perdata, kemudian tanah itu disita oleh Kejaksaan sebagai barang bukti dalam tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Tergugat. Dalam kasus ini, MA berpendapat, meskipun terhadap tanah sengketa telah diletakkan sita jaminan dalam perkara perdata jauh lebih dahulu dari penyitaan pidana oleh Kejaksaan, berdasarkan Pasal 39 ayat (2) KUHAP tindakan itu dibenarkan, sehingga penyitaan dalam perkara pidana itu sah menurut hukum. Selanjutnya berdasarkan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, tanah tersebut dinyatakan dirampas untuk negara, lantas Kejaksaan melaksanakan putusan pidana itu berdasarkan Pasal 270 KUHAP dengan seizin Menteri Keuangan dengan jalan menyerahkan tanah dimaksud kepada Gubernur KDH Tingkat I Sulsel, sehingga secara yuridis Gubernur menjadi pemiliknya.[2]
Konsekuensi yuridis lebih lanjut, surat penetapan eksekusi yang diterbitkan ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap yang berisi perintah kepada Tergugat mengosongkan tanah sengketa untuk diserahkan kepada pemegang sita jaminan (Penggugat), tidak mempunyai kekuatan hukum, karena tanah itu telah menjadi milik sah pihak Gubernur berdasarkan putusan perkara pidana korupsi.[3]
_____________
Referensi:
1. "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", M. Yahya Harahap, S.H., Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan ke-10 Tahun 2010, Hal.: 325-326.
2. Ibid., Hal.: 326.
3. Ibid., Hal.: 326.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar