Senin, 28 November 2022

Sudargo Gautama, Advokat Dan Ahli Hukum Perdata Internasional

(belbuk.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Bribery in Corruption Act", "Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu", "Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum" dan "Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sudargo Gautama, Advokat Dan Ahli Hukum Perdata Internasional'.

Biografi Singkat

Sudargo Gautama memiliki nama asli Gouw Giok Siong (lahir di Jakarta, tahun 1928) adalah seorang pakar hukum perdata internasional dan hukum antar golongan. Dia meraih gelar doktor di Universitas Indonesia, dengan disertasi: Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran pada tahun 1955.[1]

Sebagai seorang mahasiswa di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia, Gautama muda dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan tekun. Beliau memulai kuliah di pertengahan tahun 1947 dan lulus untuk layak menyandang gelar meester in de rechten (Mr) pada 18 Desember 1950. Dengan demikian, masa studi yang normalnya 4-5 tahun diselesaikannya dalam waktu tiga setengah tahun![2]

Demikian antara lain cerita yang dikisahkan kepada penulis oleh Dr. Ko Swan Sik, juniornya di UI, yang kemudian menjadi Guru Besar Hukum Internasional di Erasmus Universiteit, Rotterdam. Disertasi Prof. Gautama yang berjudul “Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran” adalah disertasi hukum pertama yang ditulis dan dipertahankan dalam bahasa Indonesia. 12 Disertasi yang berhasil dipertahankan di awal tahun 1955 di depan sivitas akademika UI tak pelak menyita perhatian banyak penyelidik ilmu hukum dan bahasa di Van Vollenhoven Instituut, Universitas Leiden, Belanda. Khususnya mereka yang mempelajari bahasa hukum sebagai topik disertasi. Beliau mengakui bahasa Indonesia-nya yang masih bersifat terlampau “pasaran dan penuh hollandismen” sebagai kelemahan.[3]

Tanpa banyak pemberitaan, pada hari Senin 8 September 2008 di Perth, Australia telah berpulang salah seorang yuris terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam usia 80 tahun. Prof. Gautama, yang memiliki nama Tionghoa Gouw Giok Siong, sampai dengan akhir hayatnya adalah Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.[4]

Advokat Dan Ahli Hukum Perdata Internasional

Sebagai seorang advokat, beliau pernah bergabung bersama Mr. A. A. Maramis dan Mr. Iwa Kusumasumantri dalam satu kantor advokat. Nama yang disebut pertama adalah mantan anggota BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia, sedangkan nama yang disebut terakhir adalah Rektor pertama Universitas Padjadjaran. Terakhir beliau berkantor di Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama and Associates yang terletak di bilangan elit ibukota, Jl. Merdeka Timur, Gambir.[5]

Sebagai advokat beliau dalam banyak kesempatan telah membela kepentingan Republik Indonesia di berbagai forum pengadilan di mancanegara. Hal ini paling tidak dimulai dari perkara yang kemudian terkenal dengan nama The Bremen Tobacco Case, di Bremen, Republik Federal Jerman. Kasus ini berawal dari terbitnya Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Sebagai pelaksanaan dari UU tersebut, perusahaanperusahaan milik Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi dan dinyatakan sebagai milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. Perkebunan tembakau milik NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV Senembah-Maatschappij, keduanya adalah perusahaan Belanda, ikut dinasionalisasi dengan ganti kerugian yang akan ditetapkan kemudian. Sebagai gantinya Indonesia mendirikan Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru.[6]

Pemerintah kemudian menetapkan Bremen sebagai kota untuk memperdagangkan tembakau, dan membentuk Deutsch-Indonesische Tabakhandels GmbH, suatu perusahaan patungan PPN Baru dengan sejumlah pedagang tembakau asal Bremen. Pihak Deli-Senembah menilai tindakan nasionalisasi tersebut sebagai suatu tindakan barbar dan merupakan suatu bentuk tekanan politik terkait dengan masalah Irian Barat. Oleh karena itu, ketika tembakau hendak diperdagangkan di Bremen, mereka mengajukan klaim kepemilikan, karena menurut mereka Indonesia tidak benar-benar akan memberikan ganti kerugian atau kompensasi, sehingga yang terjadi bukan nasionalisasi melainkan ekspropriasi. Kasus ini kemudian disidangkan di Landgericht, Bremen. Isu-isu hukum dalam sengketa ini menyita perhatian dunia internasional. Di bidang hukum internasional (publik) salah satu isu hukum krusial adalah apakah kompensasi bagi DeliSenembah harus bersifat adequate, prompt, dan effective? Apakah nasionalisasi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara (general principles of law as recognized by civilized nations)? Di bidang HPI, isu hukum krusial dari nasionalisasi tersebut adalah ketertiban umum (ordre public) dan doktrin tindakan negara (act of state doctrine). Pihak Deli-Senembah diperkuat dengan dukungan sebelas orang Guru Besar, yang antara lain adalah Prof. Logemann, Prof. Lemaire, dan Prof. Kollewijn dari Universitas Leiden. Mereka bertiga pernah menjabat Guru Besar di Rechtshogeschool (yang kemudian menjelma menjadi FHUI). Prof. Logemann untuk Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Prof. Kollewijn untuk Pengantar Ilmu Hukum dan kemudian Hukum Intergentiel, dan Prof. Lemaire menggantikan Prof. Kollewijn untuk mata kuliah-mata kuliah yang sama. Pihak Indonesia diperkuat oleh lima orang Guru Besar, yakni Prof. Dölle dan Prof. Zweigert, dan Prof. Ipsen dari Universitas Hamburg, Prof. Mr. Dr. Soekanto dan Prof. Gautama dari Universitas Indonesia. Gautama muda adalah murid Prof. Lemaire di UI. Maka terjadilah “pertarungan” antara guru lawan murid! Sengketa ini akhirnya diselesaikan melalui keputusan pengadilan banding, Oberlandesgericht, Bremen, pada tanggal 21 Agustus 1959, yang menguatkan putusan Landgericht tanggal 21 April 1959 dan 16 Juni 1959, yakni menolak gugatan pihak Deli-Senembah. Pengadilan Jerman menerima argumentasi Indonesia, yang antara lain adalah bahwa kompensasi yang bersifat adequate, prompt, dan effective tidak bisa diterapkan secara kaku. Jika diterapkan secara kaku, maka citacita luhur kemerdekaan yang antara lain memperbaiki perekonomian yang terpuruk pasca-kolonialisme hanya akan sia-sia akibat terkurasnya kas negara untuk membayar kompensasi sekaligus kepada pihak Belanda. Oleh karena itu, kompensasi yang wajib dibayarkan harus memperhatikan kondisi perekonomian dan kemampuan Indonesia. Dengan demikian nasionalisasi yang dilakukan Indonesia adalah sah![7]

Sengketa hukum lainnya yang cukup menyita perhatian dunia ilmu hukum adalah sengketa pencabutan izin oleh Pemerintah atas investasi di Hotel Kartika Plaza. Pihak investor asal Amerika AMCO menuntut Pemerintah di forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) atas pencabutan izin tersebut, dan menuntut kompensasi sebesar US$ 17 ditambah bunga semenjak tahun 1981. Pemerintah Indonesia membentuk tim pengacara, dengan Prof. Gautama di dalamnya, untuk membela kepentingan Pemerintah. Argumentasi-argumentasi hukum yang diajukan oleh tim ini berhasil untuk menyakinkan para arbitrator, sehingga Indonesia hanya perlu memberikan kompensasi sebesar US$ 2,5 juta dengan bunga 6% per tahun sejak tahun 1990! 18 Di atas lahan hotel tersebut yang beralamat Jl. Moh. Husni Thamrin No. 9 tersebut kini sedang dibangun Gedung UOB Plaza.[8]

Produktivitas Prof. Gautama dalam menulis sungguh menggagumkan. Apalagi jika diingat bahwa kesibukan beliau sebagai seorang advokat yang memiliki banyak klien dari dalam negeri maupun mancanegara menyita banyak waktu. Untuk tetap produktif menulis, beliau merekam ide-idenya dengan menggunakan tape recorder. Kemudian rekaman tersebut diketik oleh asistennya, untuk kemudian ia periksa. Beliau adalah salah satu dari sedikit yuris Indonesia yang menuliskan buku tentang hukum Indonesia dalam bahasa Inggris.[9]

Sebagai seorang yuris, Prof. Gautama sangat produktif dalam menulis artikel ilmiah, baik di jurnal nasional maupun internasional. Beliau juga sangat produktif menulis artikel-artikel hukum di media massa. Buku-buku tulisan beliau berjumlah lebih dari seratus duapuluh judul! Banyak di antara buku-buku tersebut tetap dicetak-ulang. Meski kebanyakan buku-bukunya dapat dikategorikan sebagai a no book, karena hanya merupakan kumpulan sejumlah artikel dan makalahnya, tetapi perkembangan ilmu hukum dan informasi dinamika hukum nasional maupun internasional dipaparkannya dalam tanggung jawab ilmiah, sehingga para mahasiswa dan dosen tetap dapat mempelajari perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu HATAH.[10]

Sebagai seorang Guru Besar, Prof. Gautama telah menunaikan janjinya secara bertanggung jawab. Judul dari pidato pengukuhannya merupakan suatu bukti awal bahwa beliau kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan yang dipercayakan kepadanya, yakni Hukum Perselisihan (Conflictenrecht) atau Hukum Kollisie (Collisierecht), yang juga dikenal sebagai Hukum Perdata Internasional/HPI (international privatrecht), yang mencakup hukum antar golongan atau intergentil (intergentilrecht). Sebagai pengemban ilmu tersebut, Prof. Gautama mengusulkan perubahan nama bagi Hukum Perselisihan menjadi Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) Ekstern dan HATAH Intern, yang di  dalamnya mencakup Hukum Antar golongan, Hukum Antar tempat, dan Hukum Antar waktu, untuk menggambarkan dengan tepat permasalahan hukum yang dibahas dalam cabang ilmu tersebut. Selanjutnya beliau menuliskan buku “Hukum Antar Golongan: Suatu Pengantar” untuk mata kuliah HATAH (Intern). Seri “Hukum Perdata Internasional Indonesia”, yang terdiri dari delapan buku, ditulis oleh Prof. Gautama untuk mata kuliah HPI. Penulisan seri HPI ini dilakukan karena luas bidang pembahasan HPI terlalu luas untuk dijadikan hanya sebagai satu buku. Mungkin juga ada pertimbangan ekonomi yakni agar harga buku lebih terjangkau bagi mahasiswa. Oleh karena itu, Prof. Gautama secara bertahap menyusun buku seri ini ke dalam tiga jilid Jilid I memuat bagian umum HPI, Jilid II memuat teori-teori dan prinsip-prinsip umum (règlèsgènèrales), dan Jilid II memuat bagian khusus (Besondere Teil). Buku-buku ini diterbitkan secara berurut, dan dengan produktifnya Prof. Gautama dalam menghasilkan karya tulis Prof. Zulfa Djoko Basuki pernah bercerita bagaimana para mahasiswa HATAH berusaha keras untuk tidak mengulang kuliah di tahun atau semester berikutnya. Karena pasti akan ada buku baru yang ditulis Prof. Gautama yang akan menjadi bahan bacaan tambahan dalam perkuliahan! Baru pada tahun 1977 Prof. Gautama menyarikan buku seri tersebut ke dalam suatu buku pengantar, yakni “Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia”. Buku-buku tersebut masih tetap menjadi buku pegangan wajib untuk perkuliahan HPI di FHUI bagi mahasiswa dengan program kekhususan hukum tentang hubungan transnasional. Nama mata kuliah ini sendiri tidak diubah menjadi HATAH Ekstern, dengan pertimbangan nama HPI sudah terlanjur populer dan umum diterima.[11] 
____________________
References:

1. "Sudargo Gautama", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 20 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Sudargo_Gautama
2. "In Memoriam Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama", staff.ui.ac.id., Oleh: Yu Un Oppusunggu, Diakses pada tanggal 20 November 2022, https://staff.ui.ac.id/system/files/users/oppusunggu.un/publication/inmemoriamprof.gautama-jhp.pdf
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.

Jumat, 25 November 2022

Sebab Dissenting Opinion, Abdul Rahman Saleh Menjadi Jaksa Agung

(tokoh.id)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Concerning Attempts, Assistance or Evil Conspiracy to Commit Corruption Crimes", "Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu" dan "Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sebab Dissenting Opinion, Abdul Rahman Saleh Menjadi Jaksa Agung'.

Biografi Singkat

Abdul Rahman Saleh, S.H. (lahir di Pekalongan, 1 April 1941; biasa dipanggil Arman adalah Duta besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Denmark dan Republik Lithuania (berkedudukan di Kopenhagen) sejak 14 Juni 2008, serta Jaksa Agung Republik Indonesia pada masa Kabinet Indonesia Bersatu (2004-Mei 2007).[1]

Pendidikan: S1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 1967. S2 Notariat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) 1990. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) 1995.[2]

Karier: Wartawan harian Nusantara Jakarta (1968-1972). Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1981-1984). Sekretaris Dewan Penyantun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI. Notaris/PPAT (1992 - 1999). Hakim Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung (1999 - 2004). Jaksa Agung RI (Oktober 2004 - Mei 2007). Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh R.I. untuk Kerajaan Denmark merangkap Lithuania (sejak 14 Juni 2008).[3] Buku: Memoar berjudul “Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz”, Penerbit Kompas, Juli 2008.

Sebab Dissenting Opinion & Pesan Moral Soal Integritas

Namanya mulai populer saat ia menjabat sebagai Hakim Agung dan menyampaikan dissenting opinion dalam kasus korupsi Bulog II. Ia pun terpilih sebagai Jaksa Agung pada era Kabinet Indonesia Bersatu. Pada saat terpilih, ia berjanji memperkarakan kasus korupsi besar pada 100 hari pertamanya. Namun, secara mengejutkan, pria yang akrab disapa Arman ini, salah satu dari tiga pejabat yang diganti saat reshuffle kabinet saat itu.[4]

Pria kelahiran Pekalongan, 1 April 1941 ini kemudian menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Denmark merangkap Republik Lithuania. Sebelum menjadi Jaksa Agung, lulusan Fakultas Hukum UGM ini memiliki banyak profesi. Ia pernah menjadi wartawan hukum dan juga bintang film.[5] Dalam sebuah acara halalbihalal Keluarga Besar Purna Adhyaksa (KBPA) di Kejaksaan Agung (Kejagung), eks Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh agar jaksa harus mempunyai integritas. "Yang paling penting itu integritas. Kalau soal menambah ilmu, pengalaman, itu kan sambil jalan ya. Tapi kalau integritas itu harga mati," ujar Abdul Rahman di sela acara di Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan. "Hanya orang-orang yang mempunyai integritas yaitu keberanian, kejujuran, keadilan boleh dan bisa bekerja di bidang hukum. Kalau nggak, dagang saja atau di profesi lainlah," sambung Abdul Rahman.[6] 

____________________
References:

1. "Abdul Rahman Saleh (Jaksa)", wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Rahman_Saleh_(jaksa)
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Sisi Lain Eks Jaksa Agung, Abdul Rahman Saleh", www.viva.co.id., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://www.viva.co.id/arsip/529575-sisi-lain-eks-jaksa-agung-abdul-rahman-saleh
5. Ibid.
6. "Eks Jaksa Agung Abdul Rahman: Kalau Nggak Bisa Jadi Jaksa, Dagang Saja!", detik.com, Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://news.detik.com/berita/d-2986816/eks-jaksa-agung-abdul-rahman-kalau-nggak-bisa-jadi-jaksa-dagang-saja

Rabu, 23 November 2022

Mengenal Hillary Clinton Sebagai Seorang Pengacara

(wikipedia.org.)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "The Crime of Giving Gifts or Promises to Civil Servants", "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln", "Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu" dan "Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Mengenal Hillary Clinton Sebagai Seorang Pengacara'.

Biografi Singkat

Hillary Diane Rodham Clinton (/ˈhɪləri daɪˈæn ˈrɒdəm ˈklɪntən/ ; lahir 26 Oktober 1947 dengan nama Hillary Diane Rodham) adalah senator junior Amerika Serikat dari negara bagian New York, suatu jabatan yang dimulai pada 3 Januari 2001. Ia menikah dengan Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat ke-42 dan Ibu Negara Amerika Serikat selama dua masa jabatan (1993 - 2001).[1]

Hillary Rodham dilahirkan di Chicago, Illinois, dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Methodist di Park Ridge, Illinois. Ayahnya, Hugh Ellsworth Rodham, seorang konservatif, adalah seorang eksekutif dalam industri tekstil, dan ibunya, Dorothy Emma Howell Rodham, seorang ibu rumah tangga. Hillary mempunyai dua orang saudara lelaki, Hugh dan Tony. Mantan duta besar AS untuk Britania Raya, Philip Lader, merujuk kepada minatnya yang mendalam kepada nenek moyangnya dari Wales.[2]

Setelah pindah ke New York, Clinton terpilih sebagai senator Negara Bagian New York pada tahun 2000 sehingga menjadi mantan Ibu Negara pertama yang memenangi pemilihan umum untuk suatu jabatan di AS. Di Senat, awalnya ia mendukung pemerintahan George W. Bush mengenai beberapa kebijakan luar negeri, termasuk memberikan suaranya dalam mendukung Resolusi Perang Irak yang menyetujui dilaksanakannya Perang Irak. Ia kemudian berbalik menentang tindakan pemerintah dalam Perang Irak dan juga menentang kebijakan pemerintah Bush dalam hampir seluruh masalah dalam negeri.[3]

Ia terpilih kembali sebagai senator dengan kemenangan telak pada tahun 2006. Pada 20 Januari 2007 ia resmi menyatakan dirinya ikut serta dalam pemilihan umum presiden Amerika Serikat 2008. Pada pemilihan calon presiden Amerika tersebut, Clinton berhasil memenangi lebih banyak pemilihan pendahuluan dan anggota delegasi daripada wanita lainnya sepanjang sejarah AS, namun setelah kampanye yang panjang, Senator Barack Obama menjadi calon terpilih Partai Demokrat pada Juni 2008. Pada tanggal 22 Januari 2009 Hillary Clinton dilantik sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS hingga 1 Februari 2013, dan digantikan oleh John Kerry.[4]

Hillary Clinton Sebagai Seorang Pengacara

Setelah lulus SMA, Hillary kuliah di Wellesley College, di mana dia menjadi lebih terlibat dalam aktivisme keadilan sosial. Pada saat dia lulus, Hillary telah menjadi pemimpin mahasiswa terkemuka—dia dipilih oleh rekan-rekannya untuk menjadi pembicara mahasiswa pertama di upacara pembukaan Wellesley.[5]

Setelah lulus kuliah, Hillary mendaftar di Yale Law School, di mana dia adalah salah satu dari hanya 27 wanita di kelas kelulusannya. Saat kuliah di Yale, Hillary mulai berkencan dengan salah satu teman sekelasnya, Bill Clinton.[6]

Setelah tamat sekolah hukum, Hillary tidak bergabung dengan firma hukum besar di Washington atau New York. Sebaliknya, dia pergi bekerja untuk Dana Pertahanan Anak, pergi dari rumah ke rumah di New Bedford, Massachusetts, mengumpulkan cerita tentang kurangnya sekolah untuk anak-anak cacat. Kesaksian ini berkontribusi pada pengesahan undang-undang bersejarah yang mengharuskan negara menyediakan pendidikan berkualitas bagi siswa penyandang disabilitas. Komitmen untuk pelayanan publik dan berjuang untuk orang lain—terutama anak-anak dan keluarga—tetap bersamanya sepanjang hidupnya.[7]

Setelah bertindak sebagai pengacara untuk komite kongres yang menyelidiki Presiden Nixon, dia pindah ke Arkansas di mana dia mengajar hukum dan menjalankan klinik hukum yang mewakili orang-orang yang dicabut haknya. Dia ikut mendirikan Arkansas Advocates for Children and Families, salah satu kelompok advokasi anak pertama di negara bagian itu.[8] Jika dipadankan dengan lingkungan hukum di Indonesia, maka penulis berpendapat bahwa Hillary Clinton tidak menimba ilmu di law firm besar, ia memilih jalan sebagai advokat pejuang kemanusiaan dan keadilan dengan aktif di lembaga bantuan hukum setara LBH di Indonesia. 
____________________
References:

1. "Hillary Clinton", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Hillary_Clinton
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "The Office of Hillary Rodham Clinton", www.hillaryclinton.com., Diakses pada tanggal 22 November 2022, Link: https://www.hillaryclinton.com/about/
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Senin, 21 November 2022

Rights of Employees Affected by Layoffs

(iStock)

By:
Team of Hukumindo

Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about "Knowing Article 2 and Article 3 of the Indonesian Corruption Law", "Contoh Gugatan Perselisihan Hubungan Kerja", "If I Get Fired, What Are My Rights According to Indonesian Law?" you may read also "Aspek Pidana Tidak Melaksanakan Putusan PHI" and on this occasion we will discuss about 'Rights of Employees Affected by Layoffs'.

Background

'Ruangguru', a digital learning startup or edutech, is taking steps to terminate employment (PHK) for hundreds of employees as of this Friday (18/11/22'). This decision was taken due to the drastically worsening global market situation. "There were hundreds of Ruangguru employees who were affected by this termination of employment," said Ruangguru's Corporate Communications Team to CNNIndonesia.com. The company said that all affected employees have received severance pay, long service pay, and compensation for rights (if there are remaining leave), in accordance with statutory regulations.[1]

Friday evening, November 18 2022, GoTo officials announced the termination of employee relations or layoffs of 1,300 employees in a number of countries. PT. GoTo Gojek Tokopedia has just gathered all of its employees for the CEO Briefing agenda. One of the Tokopedia employees, said that GoTo group officials announced the news of layoffs (PHK) for 1,300 employees which will be carried out today. "The announcement will be made after 6 o'clock, and those who will be laid off will be emailed,". He revealed that he and other employees were not informed of the contents of the discussion in the CEO Briefing when the invitation was sent. However, employees are already guessing about the issue of layoffs. Moreover, many mass media in Indonesia and internationally have reported this information.[2]

Rights of Employees Affected by Layoffs

The governing law that regulates employment termination in Indonesia is Law Number: 13 of 2003 concerning Manpower. What are the rights of workers under Indonesian law when he/she was affected by Layoffs? This article assumes that you work in Indonesian jurisdiction and in an Indonesian company. In the event of termination of employment, based on Article 156 paragraph (1) of Law Number: 13 of 2003 concerning Manpower, the worker is entitled to severance pay, service award, and compensation money.[3]

Severance Pay

Severance pay is the right of the employee affected by the Termination, commonly in the form of money from the company/employer as a result of the Termination of Work. The amount is the same as the basic salary plus other fixed allowances or the same as the salary each month. The amount of severance pay are vary, depending on the employee's tenure. For example, for a period of less than a year, you will get one month's salary, while for a period of one to two years you will get two months of salary, and so on.[4]

Service Award

The long service award is given as a sign of employee loyalty to a company. The condition, you must work at least 3 years in the company. The calculation of the award money is based on Article 156 paragraph (3) of Law Number: 13 of 2003 concerning Manpower. For example, if the service period is three to six years, you will receive an award of two months' wages.[5]

Compensation Money

The compensation for the rights of employees affected by termination of employment is compensation for the rights of workers who have not been taken. The explanation for this compensation is regulated in Article 156 of Law Number: 13 of 2003 concerning Manpower. For example, the cost of annual leave, the cost of returning employees and their families to a new place of work, housing reimbursement and medical treatment are set at 15% of the severance pay and period of service pay.[6] And if you have any legal issue with this topic, contact us then, feel free in 24 hour, we will be happy to assist you. 


*) For further information please contact:
Mahmud Kusuma Advocate
Law Office
Jakarta - Indonesia.
E-mail: mahmudkusuma22@gmail.com

________________
References:

1. "Ruangguru PHK Ratusan Karyawan Mulai Hari Ini", cnnindonesia.com., Diakses pada tanggal 20 November 2022, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20221118171219-92-875655/ruangguru-phk-ratusan-karyawan-mulai-hari-ini
2. "Terkini Bisnis: Tangis CEO GoTo Saat Umumkan PHK 1.300 Karyawan, RI Dapat Komitmen Investasi 125 T", bisnis.tempo.co., Diakses pada tanggal 20 November 2022, https://bisnis.tempo.co/read/1658395/terkini-bisnis-tangis-ceo-goto-saat-umumkan-phk-1-300-karyawan-ri-dapat-komitmen-investasi-125-t
3. "If I Get Fired, What Are My Rights According to Indonesian Law?", www.hukumindo.com., Diakses pada tanggal 20 November 2022, https://www.hukumindo.com/2021/10/if-i-get-fired-what-are-my-rights.html
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.

Jumat, 18 November 2022

Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu

(Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Corruption offenses in the Criminal Code", "Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum" dan "Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Hazairin, Begawan Hukum Adat Dari Tanah Bengkulu'.

Biografi Singkat

Prof. Dr. Mr. Hazairin (28 November 1906 – 11 Desember 1975) adalah seorang pakar hukum adat. Ia menjabat Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Asal usul, Hazairin lahir di tengah-tengah keluarga taat beragama, dari pasangan Zakaria Bahri (Bengkulu) dan Aminah (Minangkabau). Ayahnya adalah seorang guru dan kakeknya, Ahmad Bakar, adalah seorang ulama. Dari kedua orang tersebut, Hazairin mendapat dasar pelajaran ilmu agama dan bahasa Arab.[1] 

Hazairin kecil mengawali pendidikannya di Bengkulu di sebuah sekolah bernama Hollands Inlandsche School (HIS) tamat tahun 1920. Setamat dari HIS kemudian melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tamat tahun 1924. Usia Hazairin pada waktu itu 18 tahun dan tergolong muda untuk tamatan MULO. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung dan berhasil lulus pada tahun 1927.[2]

Hazairin menamatkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Hukum Jakarta (Recht Hoge School) pada tahun 1936, dengan gelar doktor hukum adat. Setamat kuliah, Hazairin bekerja sebagai kepala Pengadilan Negeri Padang Sidempuan (1938-1945). Selama menjabat, Hazairin juga melakukan penelitian terhadap hukum adat Tapanuli Selatan. Atas jasa-jasanya itu, dia diberikan gelar "Pangeran Alamsyah Harahap."[2]

Pada April 1946, dia diangkat sebagai Residen Bengkulu, merangkap Wakil Gubernur Militer Sumatra Selatan. Ketika menjabat sebagai residen, dia mengeluarkan uang kertas yang dikenal sebagai "Uang Kertas Hazairin." Sesudah revolusi fisik berakhir, dia diangkat menjadi Kepala Bagian Hukum Sipil Kementerian Kehakiman.[3]

Hazairin terjun di kancah perpolitikan Indonesia, dengan ikut mendirikan Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR). Bersama Wongsonegoro dan Rooseno, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara sebagai wakil Partai PIR. Dalam kapasitasnya sebagai wakil partai pula, Hazairin diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955). Pada Pemilu 1955, Partai PIR terpecah menjadi dua, yakni PIR - Wongsonegoro dan PIR - Hazairin. Dalam pemilihan tersebut, PIR - Hazairin hanya memperoleh 114.644 suara atau setara dengan satu kursi.[4]

Selesai terjun di dunia politik, Hazairin menjadi Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam di Universitas Indonesia. Dia juga menjadi Guru Besar di Universitas Islam Jakarta, Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM), dan Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Hazairin dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya, pada tahun 1999 Pemerintah mengukuhkan Hazairin sebagai Pahlawan Nasional.[5]

Publikasi Karya Hukum

Prof. Dr. Mr. Hazairin adalah seorang akademisi dan juga pejabat publik, sebagaimana dikutip laman id.wikipedia.org., beberapa karya buku beliau adalah sebagaimana berikut:[6]
  • Pergolakan Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam (1952)
  • Tujuh Serangkai Tentang Hukum (1981)
  • Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an dan Hadits (1982)
  • Hendak Kemana Hukum Islam (1976)
  • Perdebatan dalam Seminar Hukum tentang Faraidhh (1963)
  • Hukum Kekeluargaan Nasional
  • Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
  • Hukum Pidana Islam Ditinjau dari Segi-segi, dan Asas-asas Tata Hukum Nasional; Demokrasi Pancasila (1970
  • Negara Tanpa Penjara (1981)
  • Hukum Baru di Indonesia (1973)
  • Ilmu Pengetahuan Islam dan Masyarakat (1973)
  • Demokrasi Pancasila (1981)

Sebagai informasi tambahan, pada tahun 1927, atas inisiatifnya sendiri, Hazairin merantau ke Jakarta/Batavia dan melanjutkan Studi di RSH (Rerchtkundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi Hukum, jurusan Hukum Adat yang pada masa itu jurusan ini banyak diminati orang, jurusan Hukum Adat juga telah melahirkan sejumlah nama besar seperti Mr. Muhammad Yamin, Mr. M. M. Djojodiguno dan Mr. Kasman Singodimedjo. Selama delapan tahun Hazairin bekerja keras mendalami bidang Hukum Adat, ia berhasil meraih gelar Meester in de Rechten (MR) pada tahun 1935. selanjutnya ia mendapatkan tawaran untuk melakukan penelitian mengenai Hukum Adat Redjang (salah satu suku yang terdapat di Keresidenan Bengkulu, sekarang Provinsi Bengkulu), atas bimbingan B. Ter Haar seorang pakar Hukum Adat yang terkenal di masa itu, ia melakukan penelitian sebagai syarat untuk meraih gelar Doktor dalam bidang Hukum Adat. Dalam waktu tiga bulan Hazairin berhasil menyelesaikan penelitiannya dan menjadi Disertasi Doktornya yang diberi judul "De Redjang". Disertasi tersebut berhasil dipertahankan pada tanggal 29 Mei 1936. karya inilah yang menghantarkannya sebagai pakar Hukum Adat dan satu-satunya Doktor pribumi lulusan Sekolah Tinggi Hukum Batavia.[7] 

RSH (Rerchtkundige Hoogeschool) atau Sekolah Tinggi Hukum ini kemudian akan mejadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada masa setelah penjajahan Belanda. Tentunya pada masa itu meraih gelar doktor hukum bukanlah sesuatu hal yang mudah, apalagi di bawah bimbingan ketat B. Ter Haar dengan standar akademik negeri Belanda. Sebuah pencapaian yang 'pengecualian' (exeptional) saja untuk seorang pribumi. 
____________________
References:

1. "Hazairin", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 18 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Hazairin
2. "Hazairin", m.merdeka.com., Diakses pada tanggal 18 November 2022, https://m.merdeka.com/hazairin/profil
3. Op. Cit. id.wikipedia.org.
4. Op.Cit. id.wikipedia.org.
5. Op. Cit. id.wikipedia.org.
6. Op.Cit. id.wikipedia.org.
7. Op. Cit., m.merdeka.com

Rabu, 16 November 2022

Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "The Legal Basis for Eradicating Corruption in Indonesia", "Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi" dan "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Fidel Castro Ternyata Pernah Membuka Kantor Hukum'.

Biografi Singkat

Fidel Alejandro Castro Ruz (bahasa Spanyol: [fiˈðel ˈkastɾo]; 13 Agustus 1926 – 25 November 2016) adalah seorang pejuang revolusi dan politikus Kuba. Castro menjabat sebagai Perdana Menteri Kuba dari 1959 hingga 1976 dan sebagai Presiden Kuba sejak 1976 hingga 2008. Ia dilahirkan di Birán, Oriente, dengan latar belakang keluarga petani yang kaya.  Ia pernah ikut serta dalam perlawanan melawan pemerintahan sayap kanan di Republik Dominika dan Kolombia, dan ia kemudian merencanakan pelengseran Presiden Kuba Fulgencio Batista. Namun, serangannya ke Barak Moncada pada 1953 mengalami kegagalan. Setelah dipenjara selama setahun, Castro pergi ke Meksiko, dan di situ ia membentuk sebuah kelompok revolusioner yang disebut Gerakan 26 Juli bersama dengan adiknya, Raúl Castro.[1]

Sekembalinya di Kuba, Castro memimpin perang gerilya melawan pasukan Batista di Pegunungan Sierra Maestra. Setelah jatuhnya pemerintahan Batista pada 1959, Castro menjadi Perdana Menteri Kuba dan berkuasa secara militer maupun politik. Amerika Serikat menentang pemerintahan Castro, tetapi segala upaya untuk menumbangkan Castro gagal, termasuk upaya pembunuhan, blokade ekonomi, dan Invasi Teluk Babi tahun 1961. Untuk membalas ancaman-ancaman ini, Castro mendekatkan diri dengan Uni Soviet dan mengizinkan mereka menempatkan senjata nuklir di wilayah Kuba, sehingga terjadilah Krisis Misil Kuba pada 1962.[2]

Castro adalah tokoh yang kontroversial. Para pendukungnya memandangnya sebagai pahlawan sosialisme dan anti-imperialisme yang berhasil memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial serta mempertahankan kemerdekaan Kuba dari imperialisme Amerika. Di sisi lain, ia dicap sebagai seorang diktator yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, keluaran besar-besaran rakyat Kuba, dan kemiskinan ekonomi di negara tersebut. Walaupun begitu, ia telah memperoleh berbagai penghargaan internasional dan berpengaruh terhadap berbagai individu dan kelompok di berbagai belahan dunia.[3]

Stasiun televisi pemerintah Cuba mengumumkan bahwa Castro menjemput ajal pada malam tanggal 25 November 2016. Penyebab kematiannya tidak dijelaskan. Presiden Raúl Castro memastikan kebenaran kabar tersebut dengan mengeluarkan sebuah pernyataan singkat: "Komandan utama revolusi Kuba meninggal malam ini pada pukul 22.29". Jenazah Castro dikremasi pada 26 November 2016. Setelah masa berkabung selama sembilan hari, abunya dikubur di Pemakaman Santa Ifigenia, Santiago de Cuba.[4]

Mempunyai Gelar Sarjana Hukum Dan Pernah Membuka Kantor Hukum

Pada 1945, Castro mengambil jurusan hukum di Universitas Havana. Walaupun ia mengakui bahwa ia "buta politik", ia tetap terlibat dalam aktivisme di kampus dan budaya gangsterismo yang penuh kekerasan di universitas tersebut. Ia memiliki pandangan anti-imperialisme dan menentang intervensi Amerika Serikat di kawasan Karibia. Ia sempat mencoba maju menjadi ketua Federasi Mahasiswa Universitas dengan program "kejujuran, kesusilaan, dan keadilan", tetapi ia tidak berhasil. Castro juga menjadi pengkritik tindakan korupsi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Ramón Grau, dan ia menyampaikan pidato di muka umum mengenai permasalahan tersebut pada November 1946 yang membuatnya disorot di halaman depan beberapa surat kabar.[5]

Castro menjadi salah satu pendiri kantor hukum yang ingin membantu orang-orang miskin di Cuba, tetapi usaha ini gagal secara finansial. Ia tidak peduli dengan uang atau materi, alhasil ia tidak dapat melunasi tagihannya; perabotannya pun disita dan listriknya diputus, sehingga membuat kesal istrinya.[6]

Pada November 1950, Castro turut serta dalam demonstrasi pelajar di Cienfuegos untuk menentang pelarangan perkumpulan mahasiswa oleh Kementerian Pendidikan, tetapi demonstrasi itu berujung pada kekerasan; walaupun Castro sempat ditangkap dan didakwa melakukan tindak kekerasan, pada akhirnya hakim membebaskannya dari segala tuduhan. Castro masih menaruh harapan kepada Chibás dan Partido Ortodoxo, dan ia hadir saat Chibás bunuh diri atas dasar politik pada 1951. Castro lalu menganggap dirinya sebagai pewaris Chibás dan ia mencoba maju menjadi calon anggota Kongres untuk pemilu Juni 1952, tetapi para anggota senior Partido Ortodoxo merasa khawatir dengan reputasi radikalnya dan menolak untuk mengangkatnya sebagai calon. Sebagai gantinya, ia dijadikan calon anggota Dewan Perwakilan di kawasan-kawasan termiskin Havana, dan ia pun mulai berkampanye. Partido Ortodoxo memperoleh banyak dukungan dan diprediksi akan meraih banyak suara.[7]

Pada masa kampanye, Castro sempat bertemu dengan Jenderal Fulgencio Batista, mantan presiden yang kembali terjun ke dunia politik. Walaupun mereka berdua sama-sama menentang pemerintahan Prío, pertemuan mereka tidak lebih dari sekadar basa-basi. Pada Maret 1952, Batista melancarkan kudeta dan berhasil merebut kekuasaan, sementara Prío melarikan diri ke Meksiko. Batista menyatakan dirinya sebagai presiden, dan ia lalu membatalkan pemilu dan mengumandangkan sistem "demokrasi terpimpin"; Castro dan banyak orang lainnya menganggap sistem ini sebagai kediktatoran yang dikuasai oleh satu orang saja. Pandangan politik Batista lalu bergeser ke arah kanan dan ia mempererat hubungan dengan kelompok elit dan Amerika Serikat. Ia juga memutus hubungan dengan Uni Soviet, memberangus serikat pekerja, dan menindas kelompok-kelompok sosialis di Kuba. Castro lalu melayangkan beberapa tuntutan hukum terhadap pemerintahan Batista, tetapi upaya ini sia-sia, sehingga Castro mulai memikirkan cara-acara lain untuk melengserkan rezim tersebut.[8] 

Yang menarik bagi penulis dari sosok Fidel Castro ini adalah ternyata beliau bukan saja mempunyai gelar sarjana hukum tapi juga pernah membuka kantor hukum/pengacara dan pernah melakukan upaya hukum melalui tuntutan/gugatan ke pengadilan terhadap pemerintahan sebelumnya. Hal ini tentunya tidak semua sarjana hukum atau bahkan yang berprofesi sebagai advokat/pengacara di Indonesia mengetahuinya. 
____________________
References:

1. "Fidel Castro", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 16 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Fidel_Castro
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Senin, 14 November 2022

Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi

 
(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "A Glimpse History of Corruption", "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln", "Besar Mertokoesoemo, Advokat Pribumi Pertama" dan "Mr. Iskak Tjokroadisurjo, Membuka Kantor Hukum Pertama di Batavia", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi'.

Biografi Singkat

Mohandas Karamchand Gandhi (aksara Devanagari: मोहनदास करमचन्द गांधी; bahasa Hindustani: [ˈmoːɦənd̪aːs ˈkərəmtʃənd̪ ˈɡaːnd̪ʱi]; 2 Oktober 1869 – 30 Januari 1948) adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India. Gandhi adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India. Ia adalah aktivis yang menggunakan perlawanan tanpa kekerasan, mengusung gerakan kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Pada masa kehidupan Gandhi, banyak negara yang merupakan koloni Britania Raya. Penduduk di koloni-koloni tersebut mendambakan kemerdekaan agar dapat memerintah negaranya sendiri. Gelar Mahatma (bahasa Sanskerta: "jiwa agung") diberikan kepadanya pada tahun 1914 di Afrika Selatan. Selain itu, di India ia juga dipanggil Bapu (bahasa Gujarat: panggilan istimewa untuk "ayah","papa").[1]

Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di negara bagian Gujarat di India. Beberapa dari anggota keluarganya bekerja pada pihak pemerintah. Saat remaja, Gandhi pindah ke Inggris untuk mempelajari hukum. Gandhi kemudian memutuskan untuk menjadi seorang aktivis politik agar dapat mengubah hukum-hukum yang diskriminatif. Gandhi pun membentuk sebuah gerakan non-kekerasan. Ketika kembali ke India, dia membantu dalam proses kemerdekaan India dari jajahan Inggris; hal ini memberikan inspirasi bagi rakyat di koloni-koloni lainnya agar berjuang mendapatkan kemerdekaannya dan memecah Kemaharajaan Britania untuk kemudian membentuk Persemakmuran.[2]

Rakyat dari agama dan suku yang berbeda yang hidup di India kala itu yakin bahwa India perlu dipecah menjadi beberapa negara agar kelompok yang berbeda dapat mempunyai negara mereka sendiri. Banyak yang ingin agar para pemeluk agama Hindu dan Islam mempunyai negara sendiri. Gandhi adalah seorang Hindu namun dia menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk Islam dan Kristen. Dia percaya bahwa manusia dari segala agama harus mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara. Pada 1947, India menjadi merdeka dan pecah menjadi dua negara, India dan Pakistan. Hal ini tidak disetujui Gandhi.[3]

Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai "jalan yang benar" atau "jalan menuju kebenaran", telah menginspirasi berbagai generasi aktivis-aktivis demokrasi dan anti-rasisme seperti Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan kalau nilai-nilai ajarannya sangat sederhana, yang berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional: kebenaran (satya), dan non-kekerasan (ahimsa). Pada 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh oleh Nathuram Godse, seorang nasionalis Hindu yang marah kepada Gandhi dengan menggunakan pistol semi-otomatis karena ia diduga terlalu memihak kepada Muslim.[4]

Sekilas Karir Pengacara Mahatma Gandhi

Setelah lulus kuliah, Gandhi kembali ke India untuk bekerja sebagai pengacara. Dia kalah saat menangani kasus pertamanya dan diusir dari kantornya oleh seorang pejabat Inggris. Karena dipermalukan, Gandhi menerima jabatan di Afrika Selatan dan berlayar ke negara itu pada bulan April 1893. Dia tinggal disana selama 21 tahun.[5]

Ketika melakukan perjalanan di negara itu dia pernah diusir dari gerbong kelas satu kereta karena warna kulitnya. Gandhi tidak menyukai perlakuan yang diterima imigran India, sehingga dia mendirikan Indian Congress di Natal untuk memerangi segregasi dan mengembangkan ide pemurnian-diri dan "satyagraha"- protes tanpa-kekerasan warga sipil.[6]

Dia ditangkap karena mengorganisir pemogokan dan melakukan mars menentang pengenaan pajak pada penduduk keturunan India. Inggris terpaksa mencabut pajak tersebut dan membebaskan Gandhi. Kabar kemenangannya diberitakan di Inggris dan Gandhi mulai menjadi tokoh dunia.[7] Jika boleh menyimpulkan, karir pengacara Mahatma Gandhi terhitung singkat, beliau mungkin mengenal politik segregasi pada awalnya dari dunia praktik hukum karena jelas bertentangan dengan profesinya. Karir cemerlang Mahatma Gandhi adalah setelah itu, ketika beliau aktif di dunia pergerakan, atas keberhasilannya dalam dunia politik, Gandhi bahkan dikenal sebagai salah satu founding father negara India modern.
____________________
References:

1. "Mahatma Gandhi", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 14 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Mahatma_Gandhi
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Mahatma Gandhi: Tujuh momen penting kehidupan remaja pemberontak yang menjadi 'Bapak bangsa India'", www.bbc.com., Diakses pada tanggal 14 November 2022, https://www.bbc.com/indonesia/dunia-49893035
6. Ibid.
7. Ibid.

Senin, 07 November 2022

Indonesia's State Debt in 1950 Case

 
(iStock)

Oleh:
Team of Hukumindo

Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about "Nelson Mandela, Kisah Perjuangan Seorang Pengacara LBH Melawan Apartheid", "Contoh Gugatan Wanprestasi Sektor Konstruksi" and you may read also "Contoh Surat Gugatan Cidera Janji/Wanprestasi", and on this occasion we will discuss about 'Indonesia's State Debt in 1950 Case'.

Case Position

This case began when the government experienced a financial crisis in 1950. The President at that time ordered the Minister of Finance to borrow money from the public. His (Hardjanto Tutik) parents named Lim Tjiang Poan alias Indra Tutik at that time were one of the exporters of spices and lent money to the government in the amount of Rp. 83 thousand. The process of borrowing and borrowing is said to be carried out with legal evidence.[1]

The plaintiff's attorney, Amiziduhu Menndrofa, said that the lawsuit against the debt with the government defendant is currently happening because the heirs (clients) have not yet received the payment of the debt.[2]

Case Updates

The emergence of the figure of Rp. 62 billion is the result of the conversion of the gold price in 1950, where one kg of gold at that time was only worth Rp. 3.800,- so that if the total government loans were accumulated at that time, it was 21 kg of gold.[3]

However, it is currently reported that the Government will appeal the decision of the Padang District Court asking President Joko Widodo (Jokowi) and Finance Minister Sri Mulyani Indrawati for the lawsuit.[4]

"The information I got from the Secretary General (Kemenkeu Heru Pambudi), the government will appeal. That's what I got information from the Secretary General," said Director General of State Assets of the Ministry of Finance Rionald Silaban in a Discussion with DJKN, Friday (16/9/2022).[5] And if you have any legal issue with this topic, contact us then, feel free in 24 hour, we will be happy to assist you. 


*) For further information please contact:
Mahmud Kusuma Advocate
Law Office
Jakarta - Indonesia.
E-mail: mahmudkusuma22@gmail.com

________________
References:

1. "Pemerintah Ngutang Rp 83 Ribu ke Warga Padang, Eh Tagihannya Jadi Rp 62 M", finance.detik.com., Diakses pada tanggal 6 November 2022, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6340896/pemerintah-ngutang-rp-83-ribu-ke-warga-padang-eh-tagihannya-jadi-rp-62-m
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.

Sabtu, 05 November 2022

Nelson Mandela, Kisah Perjuangan Seorang Pengacara LBH Melawan Apartheid

 
(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Syafruddin Prawiranegara: Presiden Kedua R.I. Bergelar Sarjana Hukum", "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln" dan "Barack Obama Dan Sekilas Karirnya Sebagai Pengacara", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Nelson Mandela, Kisah Perjuangan Seorang Pengacara LBH Melawan Apartheid'.

Biografi Singkat

Nelson Mandela atau Nelson Rolihlahla Mandela merupakan revolusioner anti apartheid  atau diskriminasi etnis. Nelson Mandela lahir di sebuah desa bernama Mvezo, desa Nelson Mandela dikenal sebagai Transkei, Afrika Selatan. Ayahnya, Nkosi Mphakanyiswa Gadla Mandela, merupakan kepala desa dan anggota keluarga dari suku Thembu yang berbicara bahasa Xhosa. Sementara ibunya bernama Nonqaphi Nosekeni. Mandel nama panggilan kecil Nelson, tumbuh sebagai anak laki-laki yang mendapat perlindungan tetua dan kepala suku. Hal ini juga yang membuat Nelson Mandela mencintai warisan Afrika.[1]

Ayahnya meninggal dunia pada 1930, saat itu Mandela baru berusia 12 tahun. Lalu Mandela diasuh oleh seorang wali bernama Jongintaba, seorang Wali Raja Tembu yang tinggal di Great Place di Mqhekezweni. Nelson Mandela menempuh pendidikan di Qunu. Mandela kemudian berupaya untuk mendapat gelar Bachelor of Arts di University College Fort Hare. Namun dia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di sana, karena bergabung dengan aksi protes mahasiswa. Raja Tembu begitu geram mengetahui Nelson tidak menjalankan pendidikannya dengan baik, malah kembali ke Great Place.[2]

Bahkan, Raja Tembu mengancam akan mencarikan istri bagi Mandela dan sepupunya, Justin apabila mereka tidak kembali ke Fort Hare. Keduanya memutuskan untuk kabur ke Johannesburg dan sampai 1941. Dilansir dari laman Nelsonmandela.org, Mandela bekerja sebagai petugas keamanan tambang di Johannesburg, lalu kemudian menjadi agen tanah.[3]

Karir Sebagai Pengacara LBH

Nelson Mandela akan dikenang sebagai pemimpin besar, pemikir visioner, dan negarawan. Apa yang mungkin tidak diketahui dengan baik adalah bahwa dia pada awalnya adalah seorang pengacara. Dia adalah satu-satunya orang Afrika kulit hitam di kelasnya yang belajar hukum di Universitas Witwatersrand pada 1940-an dan berpraktik hukum pada 1950-an dalam kemitraan dengan Oliver Tambo.[4]

Bersama-sama mereka membentuk firma hukum Afrika Hitam pertama. Dalam bukunya Long Walk to Freedom Mandela menulis bahwa firmanya adalah 'tempat di mana orang Afrika dapat menemukan telinga yang simpatik atau sekutu yang kompeten'.Tentu saja, bagi seorang aktivis politik di negara di mana dia dan orang lain sewarnanya benar-benar dikucilkan dari kehidupan demokrasi, hubungannya dengan hukum tidak akan pernah mudah, tetapi pentingnya supremasi hukum sebagai prinsip demokrasi terus berlanjut. untuk merasuki pemikiran dan aktivitasnya.[5]

Dia tentu saja menentang keras hukum apartheid dan merasa tidak terikat olehnya. Namun ia juga mengakui bahwa di negara yang sepenuhnya demokratis (yang tentu saja Afrika Selatan tidak pada era apartheid) aturan hukum harus ditegakkan. Dalam sebuah artikel di Times minggu ini referensi dibuat untuk kasus hukum yang berkaitan dengan hukuman mati yang berjalan melalui Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan ketika dia menjadi Presiden. Sementara menentang hukuman mati, dia menerima keputusan akhir Pengadilan bahwa dia telah bertindak secara inkonstitusional dalam menghapusnya pada saat itu, dengan mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada orang yang kebal hukum, termasuk Presiden.[6]

Melawan Apartheid

Nelson Mandela berhasil merampungkan studinya dengan meraih gelar BA, di University of South Africa. Lalu Nelson kembali ke Fort Hare untuk merayakan kelulusannya pada 1943. Mandela aktif terlibat dalam gerakan anti-apartheid dan bergabung dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1942.[7]

Dalam ANC, terdapat sekelompok kecil pemuda Afrika yang bersatu, menyebut dirinya sebagai Liga Pemuda Kongres Nasional Afrika (ANCYL). Pada 1956, Mandela dan 150 orang lainnya ditangkap atas tuduhan berkhianat. Pada 1961, Mandela ikut mendirikan Umkhonto we Sizwe atau MK, sebuah cabang bersenjata ANC yang bertugas menyabotase dan menggunakan taktik perang gerilya untuk mengakhiri apartheid. Dia mengatur pemogokan pekerja nasional selama tiga hari.[8]

Dia kembali memimpin aksi serupa pada tahun berikutnya dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Pada 1963, Mandela diseret ke pengadilan lagi. Kali ini, dia dan 10 pemimpin ANC lainnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena pelanggaran politik, termasuk sabotase. Selama 27 tahun, Nelson Mandela menghabiskan waktunya mendekam di penjara, dari November 1962 sampai Februari 1990. Nyaris dua abad setelah bebas, dia kembali dipenjara di Robben Island hingga mengidap tuberkulosis.[9]

Sebagai tahanan politik berkulit hitam, Mandela mendapat perawatan terendah. Meski dipenjara, dia berhasil mendapat gelar Sarjana Hukum melalui program korespondensi Universitas London. Pada 1981, agen intelijen Afrika Selatan bernama Gordon Winter mengungkap adanya plot yang dirancang pemerintah Afrika Selatan untuk mengatur pelarian Mandela. Dengan begitu, pihak berwenang dapat menembaknya selama penangkapan. Namun, skenario itu digagalkan oleh intelijen Inggris. Pada 1985, Presiden PW Botha menawarkan pembebasan Mandela asalkan perlawanan bersenjata dihentikan. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Nelson Mandela.[10]

Di sisi lain, terdapat tekanan dari masyarakat lokal dan dunia internasional untuk membebaskan Nelson Mandela semakin meningkat. Pemerintah Afrika pun terus membahasnya namun tidak kunjung mencapai kesepakatan. Sampai pada akhirnya, Frederik Willem de Klerk mengumumkan pembebasan Mandela pada 11 Februari 1990, untuk menggantikan Botha yang terkena stroke. Dia juga membatalkan pemblokiran terhadap ANC, menghapus pembatasan pada kelompok politik dan membekukan eksekusi. Pada tahun 1993, Nelson Mandela dan Presiden de Klerk secara bersama-sama dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian.[11] Nelson Mandela meninggal pada tanggal 5 Desember 2013 di Johanesberg, Afrika Selatan. 
____________________
References:

1. "Nelson Mandela Tokoh Anti Apartheid yang Mencintai Batik Indonesia", katadata.co.id., Diakses pada tanggal 5 November 2022, https://katadata.co.id/intan/ekonopedia/6319685c1cabd/nelson-mandela-tokoh-anti-apartheid-yang-mencintai-batik-indonesia
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Nelson Mandela: firstly, a lawyer", www.kerseys.co.uk., Diakses pada tanggal 5 November 2022, https://www.kerseys.co.uk/nelson-mandela-firstly-lawyer/
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Op. Cit. katadata.co.id.
8. Op. Cit. katadata.co.id.
9. Op. Cit. katadata.co.id.
10. Op. Cit. katadata.co.id.
11. Op. Cit. katadata.co.id.

Jumat, 04 November 2022

Syafruddin Prawiranegara, Presiden Kedua R.I. Bergelar Sarjana Hukum

 
(wikipedia)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Indonesia Launches Second Home Visa", "Mr. Assaat, Presiden R.I. Dari Kalangan Advokat", "M. Assegaf: Membela Klien Tidak Pandang Bulu" dan "Barack Obama Dan Sekilas Karirnya Sebagai Pengacara", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Syafruddin Prawiranegara, Presiden Kedua R.I. Bergelar Sarjana Hukum'. Boleh dikatakan ada dua presiden Republik Indonesia yang bisa dikategorikan seringkali 'dilupakan' oleh sejarah, yaitu Mr. Assat dan Syafruddin Prawiranegara. Uniknya, keduanya adalah seorang yang berlatarbelakang sarjana hukum. Pada kesempatan terdahulu platform ini telah membahas Mr. Assat, dan pada kesempatan ini akan dibahas Syafruddin Prawiranegara.

Biografi Singkat

Syafruddin lahir di Anyer Kidul, Kabupaten Serang, Keresidenan Banten pada 28 Februari 1911. Ia memiliki darah keturunan Suku Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak ibu. Ayahnya, Raden Arsyad Prawiraatmadja, awalnya bekerja sebagai jaksa di Serang, sebelum menjadi camat di Jawa Timur. Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatra Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Pada saat Syafruddin masih berusia satu tahun, ayah dan ibu kandungnya bercerai dan Syafruddin dibesarkan oleh ibu tiri. Syafruddin baru dikenalkan ke ibu kandungnya pada usia tujuh tahun.[1]

Syafruddin menempuh pendidikan Europeesche Lagere School (setara SD) di Serang pada 1925, dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setara SMP) di Madiun pada 1928, dan Algemeene Middelbare School (setara SMA) di Bandung pada 1931. Setelah itu, ia masuk ke Rechtshoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan meraih gelar Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) pada 1939. Selama studinya, Syafruddin turut mendirikan perkumpulan mahasiswa Unitas Studiorum Indonesiensis yang apolitis dan didukung pemerintah Hindia Belanda sebagai alternatif dari Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia yang notabene bersifat radikal dan pro-kemerdekaan.[2]

Setelah lulus dari Rechtshoogeschool, Syafruddin bekerja menjadi redaktur di surat kabar Soeara Timur dan mengetuai Perserikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) antara 1940 dan 1941. Selama masa awal kariernya, Syafruddin mulai menunjukkan sikap-sikap nasionalis, dan ia tidak setuju dengan tuntutan-tuntutan yang "moderat" (menuntut otonomi yang lebih di Indonesia) dalam Petisi Soetardjo tahun 1936. Belakangan, Syafruddin diterima kerja di kantor pajak di Kediri, sebagai ajudan inspektur pajak. Sebelum pendudukan Jepang, ia juga sempat mendirikan organisasi untuk menolong korban perang.[3] Dapat kita baca di sini bahwa meskipun beliau mempunyai gelar sarjana hukum, akan tetapi dikemudian hari karir politiknya lebih banyak berkutat di bidang keuangan.

Pemerintahan Darurat R.I.

Syafruddin Prawiranegara adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.[4]

Soekarno-Hatta  menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra. Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 jam 6 pagi Belanda telah mulai serangannya atas Ibu-Kota Jogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewadjibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra". Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada.[5]

Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara". Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki "Penyelamat Republik". Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta.[6]

Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu "ketua", namun kedudukannya sama dengan presiden. Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa.[7]

Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Sjafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.[8] 
____________________
References:

1. "Syafruddin Prawiranegara", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 4 November 2022, https://id.wikipedia.org/wiki/Syafruddin_Prawiranegara
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Syafrudin Prawiranegara, Presiden yang Terlupakan", bakesbangpoldagri.lomboktimurkab.go.id, Diakses pada tanggal 4 November 2022, https://bakesbangpoldagri.lomboktimurkab.go.id/baca-berita-201-syafrudin-prawiranegara-presiden-yang-terlupakan.html
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.