(iStock)
Oleh:
Tim Hukumindo
Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Strange Case, Assault Because Forgetting To Say Wedding Anniversary", "Sejarah Peradilan Bangsa Arab Sebelum Islam", "Sejarah Peradilan Islam di Masa Rasulullah SAW", "What Are The Competences of The Religious Courts To Adjudicates In Sharia Economic Cases?", "The Role of Law in Sharia Economic Development" dan "Contoh Surat Permohonan Untuk Mengadakan Arbitrase di BASYARNAS", dan pada perkuliahan kali ini (edisi bulan Ramadhan 2023) akan dibahas mengenai 'Sejarah Peradilan Islam di Masa Khilafah'.
Di masa Abu Bakar tidak nampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini, karena kesibukannya memerangi sebagian kaum Muslimin yang murtad sepeninggal Rasul SAW, dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya, di samping belum meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada waktu itu. Hanya diriwayatkan, bahwa pada masa Abu Bakar ini, urusan qadla' diserahkan kepada Umar bin Khattab selama dua tahun lamanya, namun selama itu tidak pernah terjadi adanya sengketa yang perlu dihadapkan ke muka Pengadilan, karena dikenalnya Umar sebagai orang yang sangat keras, dan juga karena faktor pribadi-pribadi kaum Muslimin pada masa itu yang dikenal sebagai sangat saleh dan toleran terhadap sesama Muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.[1]
Tetapi setelah meluasnya wilayah kekuasaan Islam di masa Umar bin Khattab serta semakin banyaknya beban-beban yang menyangkut bidang peradilan ini, ditambah dengan keharusan peningkatan perhatian dalam urusan pemerintahan di daerah-daerah, maka Khilafah Umar bin Khattab mulai memisahkan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan, dan ia mengangkat Abu Darda' sebagai qadli kota Madinah, dan Syuraih bin Qais bin Abil Ash di Mesir.[2]
Diriwayatkanlah bahwa Umar bin Khattab pernah berkata kepada salah seorang qadli sebagaimana berikut:[3]
"Janganlah dibawa kehadapanku, kasus persengketaan yang bernilai satu atau dua dirham."
"Dan setelah urusan peradilan ini merupakan bagian dari kekuasaan umum, maka di antara wewenang penguasa adalah menentukan wewenang qadli terhadap sebagian urusan peradilan yang harus ditanganinya serta membatasi wewenang tersebut," dan karena itu, maka Khilafah Umar ketika mengangkat pejabat-pejabat qadli, beliau membatasi mereka, khusus tentang penyelesaian sengketa harta benda (urusan perdata), tetapi perkara-perkara jinayah (pidana) yang menyangkut hukum qishash, atau had-had maka tetap menjadi wewenang Khalifah dan penguasa-penguasa daereah.[4]
Sedang Khilafah Usman bin Affan adalah Khalifah yang pertama kali mendirikan gedung peradilan, yang di masa dua orang Khalifah sebelumnya, kegiatan ini dilakukan di masjid. Demikian juga di masa Khalifah-khalifah ini telah diterbitkan gaji bagi pejabat-pejabat peradilan dengan diambilkan dari Kas Baitul Mal yang mula-mula dirintis di masa Khilafah Abu Bakar.[5]
Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib mengangkat An Na-kha'i sebagai Gubernur di Ustur dan Mesir dengan pesan-pesannya, agar ia bertakwa kepada Allah, dan agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasehat-penasehat, serta dijelaskannya tentang siasat pemerintahan, lalu ia berkata (memberi pesan) tentang khusus urusan qadla': "Kemudian pilihlah untuk jabatan qadli, di antara rakyatmu yang engkau pandang sebagai orang terhormat yang tidak disibukkan oleh urusan-urusan lain...dan anjurkanlah agar mereka bersabar dalam usaha mengungkapkan tabir yang menyelimuti rahasia perkara yang sebenarnya, lalu pilihlah orang yang tidak sombong lantaran pujian, dan tidak condong lantaran hasutan, kemudian perbanyaklah memberikan pesan-pesan kepadanya dan berilah fasilitas yang dapat meringankan bebannya...".[6]
Dan Khilafah-khilafah sering kali memperbaharui pesan-pesan mereka kepada para penguasa dan qadl-qadli dengan memberikan bimbingan-bimbingan. Di antaranya adalah surat Khalifah Umar kepada Abu Musa Al Asy'ari--qadli di Kufah--yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara di muka sidang, yang ternyata disambut dan diterima di kalangan Ulama' serta dihimpunlah daripadanya, pokok-pokok hukum.[7]
Para Khalifah, apabila dihadapkan suatu perkara kepada mereka, atau dimohon memberikan fatwa hukum, maka mereka mencari ketentuan hukumnya di dalam Kitabullah, kemudian apabila mereka tidak menemukannya suatu ketentuan hukum di dalam Kitabullah, maka mereka mencarinya di dalam Sunnah Nabi SAW, lalu apabila mereka tidak mendapatkannya di dalam Sunnah, maka mereka menanyakan orang-orang, apakah di antara mereka ada yang mengetahui hukum perkara seperti itu di dalam Sunnah, apabila ditemukan maka mereka berpegang dengan Sunnah tersebut setelah memperoleh penguat dengan saksi-saksi, seperti yang diperbuat Abu Bakar, Umar, atau dengan menyumpah pembawa Sunnah tersebut atau kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Dan kalau mereka tidak menemukan hukum masalah yang mereka hadapi itu dengan cara demikian, maka mereka berijtihad dengan ijtihad bersama (jama'i) apabila masalah itu menyangkut hukum dan berhubungan dengan masyarakat, dan dengan ijtihad perorangan (fardy) apabila masalahnya menyangkut hal-hal yang bersifat khusus, menyangkut urusan orang-seorang.[8]
Dapat diambil kesimpulan, bahwa pada periode khilafah ini, para qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk qadla'nya, karena qadlilah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum memiliki tempat khusus (gedung pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berperkara itu datang ke rumahnya, lalu diperiksa dan diputus di situ juga. Kemudian perkembangan selanjutnya, masjid lah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah terbatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi ia merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial, seperti peradilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah.[9]
____________________
References:
1. "Peradilan Dalam Islam", Muhammad Salam Madkur, Dosen Syari'at Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, (alih bahasa: Drs. Imron A.M.) PT. Bina Ilmu, Cetakan Keempat (1990), Surabaya. Hal.: 41.
2. Ibid., Hal.: 41.
3. Ibid., Hal.: 42.
4. Ibid., Hal.: 42.
5. Ibid., Hal.: 42.
6. Ibid., Hal.: 42.
7. Ibid., Hal.: 42-43.
8. Ibid., Hal.: 46-47.
9. Ibid., Hal.: 47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar