Label

Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Mei 2023

Jeanne Mandagi, Jenderal Polisi Wanita Pertama

(Tribun Jateng)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Chronology of Indosurya Fraud Cases, The Largest Losses in Indonesia!", "Sekilas Kisah Irjen Polisi Bibit Samad Riyanto & KPK" dan "Tito Karnavian, Mendagri Pertama dari Kepolisian", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Jeanne Mandagi, Jenderal Polisi Wanita Pertama'.

Brigjen Pol. (Purn.) Jeanne Mandagi, itulah sosok polisi wanita pertama dengan pangkat Jenderal Polisi, kelahiran Manado, 2 April 1937. Dia menempuh pendidikan dasar dan menengah pertama Manado sebelum melanjutkan ke SMA Santa Ursula, Jakarta.[1]

Sejak lulus dari bangku SMA, Jeanne melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Semasa kuliah, Jeanne mengasah keterampilan berorganisasi dengan menjadi anggota aktif Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Gelar sarjana hukum diperolehnya tahun 1963.[2]

Berbekal gelar sarjana itu, Jeanne meniti karier. Berdasarkan catatan dari sejumlah sumber, Jeanne Mandagi pertama kali diangkat sebagai anggota polwan pada 1 Desember 1965. Setahun kemudian kariernya langsung menanjak dan dipercaya menjabat sebagai Kasi Hukum Polda Maluku.[3]

Sekitar tiga tahun bertugas di Maluku, Jeanne pindah tugas ke Jakarta. Pada tahun 1970, Jeanne diberi amanah sebagai Kepala Seksi Pembinaan Anak-anak, Pemuda, dan Wanita (Kasi Binapta) Polda Metro Jaya sekaligus Hakim Mahkamah Militer untuk wilayah Jakarta-Banten.[4]

Pada 1989, Jeanne dipercaya menjabat sebagai Kepala Divisi Penerangan Polri yang kini bernama Divisi Humas Polri. Dia adalah pejabat keenam sejak divisi tersebut dibentuk. Dua tahun menjabat sebagai kadiv Penerangan, pada 1991 Jeanne akhirnya pecah bintang. Dia mendapatkakan kenaikan pangkat perwira tinggi yaitu Brigadir Jenderal (Brigjen) dengan satu bintang di pundak. Pangkat baru itu mengukuhkan Jeanne sebagai jenderal polisi wanita pertama di Indonesia.[5]

Di luar struktur kepolisian, Jeanne banyak berkecimpung di urusan kampanye anti-narkoba. Dia dikenal sebagai perintis pemberantasan narkoba dan mendirikan Yayasan Permadi Siwi, sebuah pusat rehabilitasi untuk para pecandu narkotika. Jeanne Mandagi wafat di usianya yang ke 80 tahun pada 7 April 2017 dan dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Jagakarsa, Jakarta Selatan.[6]

____________________
References:

1. "Mengenal Jeanne Mandagi, Sosok Polisi Wanita Pertama di Indonesia", nasional.okezone.com., Diakses pada tanggal 20 Mei 2023, Link: https://nasional.okezone.com/read/2023/01/11/337/2744253/mengenal-jeanne-mandagi-sosok-polisi-wanita-pertama-di-indonesia
2. Ibid.

Senin, 22 Mei 2023

Mengenal Sumy Hastry, Polwan Pertama yang Jadi Dokter Forensik

(Tribun Jateng)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Permohonan Penetapan Ahli Waris", "Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama" dan "Listiyo Sigit Prabowo, Kapolri Pengungkap Kasus-Kasus Populer", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Mengenal Sumy Hastry, Polwan Pertama yang Jadi Dokter Forensik'.

Awal Menekuni Forensik

Diketahui, Hastry mulai fokus menekuni bidang forensik saat ia terlibat dalam sebuah operasi di suatu TKP pembunuhan pada tahun 2000 lalu. Saat itu Hastry mendapatkan saran dari Kepala Satuan Reserse Kriminal Poltabes Semarang Ajun Komisaris Purwo Lelono, untuk menekuni bidang forensik. Saran itu akhirnya membuat Hastry termotivasi, karena saat itu keahlian forensik masih belum dimiliku oleh polwan lain.[1]

Bahkan Hastry merupakan polwan pertama yang menjadi seorang dokter forensik. ”Ketika mendapat saran itu, saya termotivasi karena keahlian forensik ketika itu belum dimiliki polwan lain. Saya adalah polwan pertama yang menjadi dokter forensik,” kata Hastry.[2]

Wanita kelahiran 23 Agustus 1970 ini kemudian bergabung dalam berbagai operasi tim Identifikasi Korban Bencana atau Disaster Victim Identification (DVI) Polri. Tugas pertama Hastry dalam tim forensik adalah mengidentifikasi korban bom Bali I pada 2002 silam. Sejak saat itu Hastri pun memiliki tekad untuk mendalami bidang forensik.[3]

Hastri kemudian menekuni studi kedokteran forensik di Universitas Diponegoro, pada 2002-2005. Di tengah proses studinya pun Hastry masih mendapat tugas untuk mengidentifikasi korban bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), dan bom Bali II (2005). Tak hanya itu, Hastry juga terus menekuni pendidikan spesialisnya, di antaranya mengikuti kursus DVI di Singapura pada 2006, kursus DNA di Malaysia (2007) dan kursus identifikasi luka ledakan di Perth, Australia (2011).[4]

Perlu Ketelitian dan Kesabaran untuk Identifikasi Jenazah

Hastry menuturkan, dalam mengidentifikasi jenazah diperlukan ketelitian dan kesabaran yang tinggi. Agar nantinya hasil identifikasi jenazah bisa didapatkan dengan akurat. Bahkan Hastry mengaku lebih memilih tidak melakukan identifikasi jenazah dibandingkan ia harus melakukan identifikasi yang salah. ”Saya lebih memilih tidak mengidentifikasi jenazah dibandingkan melakukan identifikasi yang salah,” ungkap Hastry.[5]

Menurut Hastry, di Indonesia sendiri yang menjadi kendala Tim DVI adalah keinginan pihak keluarga atau pemerintah itu sendiri. Pasalnya, baik pihak keluarga atau pemerintah biasanya selalu ingin segera mengetahui hasil identifikasi dalam waktu singkat. Padahal proses identifikasi ini membutuhkan proses dan waktu yang tidak sebentar, agar hasil identifikasi bisa dipertanggungjawabkan. "Ada dugaan, kami mempersulitlah. Padahal, semua membutuhkan proses agar hasil identifikasi kami dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.[6]

Catatan penulis, sebuah profesi yang jarang ditekuni, apalagi oleh seorang wanita. Layak diberikan apresiasi atas dedikasinya.
____________________
References:

1. "PROFIL Sumy Hastry, Polwan Pertama yang Jadi Dokter Forensik, Kini Tangani Kasus Pembunuhan Subang", www.tribunnews.com., Senin, 4 Oktober 2021, Diakses pada tanggal 20 Mei 2023, Link: https://www.tribunnews.com/regional/2021/10/04/profil-sumy-hastry-polwan-pertama-yang-jadi-dokter-forensik-kini-tangani-kasus-pembunuhan-subang
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.

Selasa, 21 Maret 2023

Listiyo Sigit Prabowo, Kapolri Pengungkap Kasus-Kasus Populer

 
(Wikipedia)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Akta Pendirian Firma Hukum", "Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri Pertama", "Jenderal Hoegeng Dan Hoegeng Award" dan "Tito Karnavian, Mendagri Pertama dari Kepolisian", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Listiyo Sigit Prabowo, Kapolri Pengungkap Kasus-Kasus Populer'.

Jenderal yang kini bintang empat itu lahir di Ambon, Maluku, 5 Mei 1969, memiliki prestasi mentereng sejak bergabung dengan kepolisian pada 1991 (lulus Akpol) tersebut. Jawa Tengah menjadi provinsi yang penting dalam perjalanan karier Listyo. Pada 2009, ia menjadi Kapolres Pati. Satu tahun kemudian, Listyo dimutasi sebagai Kapolres Sukaharjo.[1]

Listyo Sigit Prabowo, Kapolri Indonesia saat ini merupakan Kapolri ke-25 yang dimiliki Indonesia. Dirinya menikah dengan wanita bernama Juliati Sapta Dewi Magdalena dan dikaruniai 3 orang anak. Sebelum menjabat sebagai perwira tinggi Polri, Listyo Sigit Prabowo menyelesaikan pendidikan di Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1991. Tak hanya itu, beliau juga menyelesaikan pendidikan S2-nya di Universitas Indonesia.[2]

Ayah 3 anak ini kemudian mendapatkan banyak tugas dan ditempatkan di beberapa daerah. Diketahui ia pernah berdinas di Polres Tangerang dengan pangkat Letnan Dua, Kapolres Pati, Wakapolrestabes Semarang, Kapolresta Solo, dan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara. Saat menjalani tugas di Solo, Listyo Sigit merupakan salah satu anggota Polri yang dekat dengan Jowo Widodo saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Ia bahkan ditunjuk menjadi ajudan Joko Widodo saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saat menjadi Kapolres Solo, ia pernah menangani kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo, Jawa Tengah.[3]

Listyo kemudian digeser ke Jakarta, mengisi posisi Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri, bersamaan dengan terpilihnya Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta pada 2012. Satu tahun berikutnya, ia ditugaskan menjadi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara. Tak lama, Listyo kembali ditarik ke Ibu Kota bersamaan dengan terpilihnya Jokowi sebagai presiden pada 2014. Listyo pun dipercaya menjadi ajudan presiden. Sekitar dua tahun ia mendampingi Jokowi dalam beraktivitas.[4]

Pengungkap Kasus-Kasus Populer

Kasus-kasus besar yang pernah dibongkar Listyo Sigit sebagai Kabareskrim Polri adalah penangkapan buron penyiram air keras pada Novel Baswedan, Maria Lumowa, dan Djoko Tjandra. Akan tetapi, terdapat beberapa pengungkapan juga dalam kasus Novel Baswedan dan Djoko Tjandra ketika sejumlah perwira aktif Polri ikut menjadi tersangka dalam aksi kriminal tersebut. Bareskrim Polri pada masa Listyo Sigit Prabowo menjabat sebagai Kabareskrim mengambil alih kasus dari Polda Metro Jaya untuk penetapan tersangka Habib Rizieq terkait kerumunan di masa pandemi.[5]

Sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi salah satu sosok yang paling disorot (karena Jabatannya) di tengah hebohnya kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Kasus pembunuhan Brigadir J turut menyeret nama mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo yang menjadi tersangka utama saat ini. Tak main-main, kasus pembunuhan Brigadir J juga menjadi ujian utama bagi Listyo Sigit Prabowo memantapkan visinya untuk menciptakan Polri Presisi.[6]

____________________
References:

1. "Profil dan Biodata Listyo Sigit Prabowo, Kapolri Indonesia Saat Ini", nasional.okezone.com., Diakses pada tanggal 19 Maret 2023, Link: https://nasional.okezone.com/read/2022/08/29/337/2656807/profil-dan-biodata-listyo-sigit-prabowo-kapolri-indonesia-saat-ini
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Profil dan Biodata Listyo Sigit Prabowo, Kapolri Non Muslim Kedua yang Banyak Tangani Kasus Besar", pontianak.tribunnews.com., Diakses pada tanggal 19 Maret 2023, Link: https://pontianak.tribunnews.com/2022/09/09/profil-dan-biodata-listyo-sigit-prabowo-kapolri-non-muslim-kedua-yang-banyak-tangani-kasus-besar
6. Ibid.

Jumat, 17 Maret 2023

Tito Karnavian, Mendagri Pertama dari Kepolisian

(Wikipedia)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Sejarah Peradilan Bangsa Arab Sebelum Islam", "M. Assegaf, Membela Klien Tidak Pandang Bulu" dan "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Tito Karnavian, Mendagri Pertama dari Kepolisian'.

Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, BA., MA., Ph.D. (lahir 26 Oktober 1964), adalah seorang politikus dan tokoh kepolisian Indonesia yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia sejak tanggal 23 Oktober 2019 dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Sebagai seorang perwira tinggi polisi, dirinya pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-23.[1]

Tito Karnavian mengenyam pendidikan SMA Negeri 2 Palembang kemudian melanjutkan pendidikan AKABRI pada tahun 1987 karena gratis dan tidak ingin membebankan biaya orang tuanya. Tahun 1993, Tito menyelesaikan pendidikan di Universitas Exeter di Inggris dan meraih gelar MA dalam bidang Police Studies, dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) di Jakarta tahun 1996 dan meraih Strata 1 dalam bidang Police Studies. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ditempuh di Sekolah Xaverius, kemudian sekolah menengah atas ditempuh di SMA Negeri 2 Palembang. Tatkala duduk di kelas 3, Tito mulai mengikuti ujian perintis. Semua tes yang ia jalani lulus, mulai dari Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Kedokteran di Universitas Sriwijaya, Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada, dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Keempatnya lulus, tapi yang dipilih adalah AKABRI, terutama Akademi Kepolisian.[2]

Tito termasuk seorang polisi yang mendapat kenaikan pangkat cukup cepat. Saat masih menyandang pangkat AKBP, dia memimpin tim Densus 88 yang berhasil melumpuhkan teroris Dr. Azahari di Batu, Jawa Timur, pada tanggal 9 November 2005. Pangkatnya dinaikkan, dan dirinya menerima penghargaan dari Kapolri saat itu, Jenderal Pol. Sutanto bersama dengan para kompatriotnya, seperti Idham Azis, Petrus Reinhard Golose, Rycko Amelza Dahniel, dan yang lainnya. Tito juga pernah memimpin sebuah tim khusus kepolisian yang berhasil membongkar jaringan teroris pimpinan Noordin M. Top. Atas prestasi ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal Polisi dan diangkat menjadi Kepala Densus 88 Anti-Teror Mabes Polri. Kariernya terus menanjak, dan dirinya sempat menjabat sebagai Kapolda Papua dan Kapolda Metro Jaya. Pada tanggal 14 Maret 2016, dia diangkat menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggantikan Komjen. Pol. Saud Usman Nasution yang memasuki masa pensiun.[3]

Pada tanggal 15 Juni 2016, Presiden Joko Widodo mengirim surat kepada DPR-RI, yang isinya menunjuk Tito sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Pol. Badrodin Haiti yang akan segera pensiun. Komisi III DPR-RI menyetujui usulan ini dalam sidang paripurna mereka yang digelar pada awal bulan Juli 2016. Tito resmi dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi pada tanggal 13 Juli 2016. Menjadi Menteri Dalam Negeri. Pada tanggal 22 Oktober 2019, Kapolri Tito diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Jokowi melalui surat yang ditujukan kepada DPR-RI dan disetujui dalam sidang paripurna ke-3 yang dipimpin oleh Puan Maharani, Ketua DPR-RI periode 2019 hingga 2024. Ia kemudian dilantik pada tanggal 23 Oktober 2019 menjadi Menteri Dalam Negeri ke-29 dalam Kabinet Indonesia Maju pada masa pemerintahan Presiden Jokowi periode 2019-2024.[4]

Rekam Jejak Sebagai Kapolres Serang - Banten

Rekam jejak Tito Karnavian dalam kepolisian terbilang cemerlang. Tito saat berpangkat AKBP pernah menjabat sebagai Polres Serang, kala itu belum ada pembagian wilayah administratif dan wilayah hukum (wilkum) seperti saat ini, yakni terdapat Kota Serang dan Kabupaten Serang, begitu pula Polresnya kini sudah ada dua wilayah, yakni Polres Serang Kota dan Polres Pandeglang.[5]

"Pak Jenderal Tito Karnavian yang dipercaya menjadi Mendagri, itu pernah menjabat sebagai Kapolres Serang mulai 27 Mei 2005 sampai 8 Desember 2005. Jadi beliau bertugas di Serang sekitar tujuh bulan," kata Kapolres Serang Kota, AKBP Edhi Cahyono, ditemui di ruangannya, Rabu (23/10/2019). Foto-foto Kapolres Serang sejak pertama kali hingga terakhir terpampang jelas di ruang tunggu Kapolres dan Wakapolres Serang Kota. Hal ini menandakan penerus tongkat estafet kepemimpinan di Ibu Kota Banten tidak boleh melupakan sejarahnya.[6]

Tito Karnavian saat pertama kali datang ke Polres Serang masih berpangkat AKBP, kemudian dia berhasil menangkap pelaku tindak terorisme dan naik pangkat menjadi Kombes Pol. "Menurut informasi, beliau ketika menjabat Kapolres disini berpangkat AKBP, kemudian berhasil mengungkap penanganan terorisme kemudian mendapat kenaikan pangkat luar biasa menjadi Kombes," terangnya.[7] Dari rekam jejak pendidikan dan prestasi penanganan kasus, beliau terlihat sekali kompeten terkait dengan kasus-kasus terorisme. 

____________________
References:

1. "Tito Karnavian", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 16 Maret 2023, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Tito_Karnavian
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Rekam Jejak Tito Karnavian, Kapolri Pertama yang Jadi Mendagri", www.liputan6.com., 24 Oktober 2019, Yandhi Deslatama, Diakses pada tanggal 16 Maret 2023, Link: https://www.liputan6.com/regional/read/4094542/rekam-jejak-tito-karnavian-kapolri-pertama-yang-jadi-mendagri
6. Ibid.
7. Ibid.

Selasa, 24 Januari 2023

Sosok Muchtar Pakpahan, Salah Satu Advokat Hukum Perburuhan Populer

(nasional.tempo.co)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Sederhana Surat Kuasa Khusus Perdata Tergugat", "Soepomo, Penentang Paham Hak Individualistik Dan Turunannya", "Mengenal Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK Pertama" dan "Mengenal Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Pertama", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sosok Muchtar Pakpahan, Salah Satu Ahli Hukum Perburuhan'.

Biografi Singkat

Prof. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.A. (21 Desember 1953 – 21 Maret 2021) adalah tokoh buruh Indonesia yang mendirikan serikat buruh independen pertama di Indonesia. Berkat usahanya yang gigih untuk memperjuangkan kenaikan gaji buruh, ia memperoleh berbagai penghargaan hak asasi manusia internasional.[1]

Muchtar Pakpahan, lelaki kelahiran Bah Jambi 2 Tanah Jawa, Simalungun, Sumatra Utara, 21 Desember 1953 ini adalah pendiri sekaligus mantan Ketua Umum DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (1992–2003), organisasi buruh independen pertama di Indonesia. Dia pernah menjadi anggota Governing Body ILO mewakili Asia dan Vice President World Confederation of Labor (ILO). Pada tahun 2003, Muchtar meninggalkan Serikat Buruh dan mendirikan Partai Buruh Sosial Demokrat.[2]

Pria yang akrab disapa Bang Muchtar ini, menghabiskan masa kecilnya di daerah Tanah Jawa, Sumatra Utara dan ia pindah ke Medan untuk menempuh sekolah menengah atas. Suami Rosintan Marpaung ini memperoleh gelar sarjana hukumnya di Universitas Sumatra Utara (USU). Sementara itu, untuk Program Pascasarjananya, S2 politik, ia menempuh pendidikannya di Universitas Indonesia (UI) (1989). Gelar doktor hukum diraih Muchtar di Universitas Indonesia tahun 1993 dengan disertasinya yang diterbitkan menjadi buku berjudul: "DPR Semasa Orde Baru".[3] Muchtar meninggal dunia pada 21 Maret 2021 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Siloam Semanggi akibat kanker.[4]

Advokat Hukum Perburuhan Populer

Pria yang juga hobi menyanyi dan menciptakan lagu ini dikenal sebagai pejuang reformasi dan tokoh buruh Indonesia. Muchtar juga pernah diminta Badan Intelegensi untuk mengubah isi disertasi karena dianggap membahayakan keselamatan negara. Dirinya dianggap vokal menyuarakan perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru. Muchtar Pakpahan pernah ditahan beberapa kali di penjara: (a). Pada Januari 1994, ia ditahan di Semarang; (b). Pada Agustus 1994—Mei 1995, ia ditahan di Medan karena kasus demonstrasi buruh pertama di Indonesia; (c). Pada Juli 1996–1997, ia ditahan di LP Cipinang karena isi disertasinya yaitu menulis buku Potret Negara Indonesia yang berisi tentang perlunya reformasi sebagai alternatif revolusi. Dia pun diancam pidana mati karena dianggap melakukan tindakan subversif.[5]

Bapak dari tiga anak yang masing-masing bernama Binsar Jonathan Pakpahan, Johanes Dharta Pakpahan, dan Ruth Damai Hati Pakpahan ini memulai kariernya sebagai pengacara pada 1978 dan menjadi advokat pada 1986. Sejak menjadi advokat, dia aktif membela rakyat kecil dengan konsultasi hukum gratis. Setelah hijrah ke Jakarta dan paska reformasi, Pada tahun 2010, dia juga meninggalkan partai dan memilih untuk fokus di kantor pengacaranya Muchtar Pakpahan Associates serta mengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI).[6]

Muchtar kemudian dikenal masyarakat Indonesia sebagai pembela buruh dan rakyat kecil yang tertindas oleh rezim Orde Baru. Muchtar menjadi aktivis perburuhan karena perasaan berhutangnya kepada Tuhan karena dapat memperoleh gelar sarjana hukum meskipun harus berjuang tanpa orang tua sejak usia 18 tahun setelah ditinggal ibunya Victoria Silalahi dan ayahnya, Sutan Johan Pakpahan, meninggal ketika dirinya masih 11 tahun.[7] Dalam pergaulan penulis sebagai advokat, suatu ketika ada sidang sengketa hubungan industrial di PN Jakarta Pusat, Pak Muchtar dikisahkan jika diundang sebagai Ahli Hukum dalam kasus-kasus perburuhan, karena dedikasinya, beliau selalu datang. Dan tentu saja dalam kasus-kasus seperti ini sepengetahuan penulis tidak selalu dibarengi oleh honor yang memadai, apalagi ketika dihadirkan untuk kepentingan para buruh. 

____________________
References:

1. "Muchtar Pakpahan", //id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Muchtar_Pakpahan
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.

Sabtu, 21 Januari 2023

Mohammad Yamin dan Kiprahnya dalam Dunia Politik

(Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo


Biografi Singkat

Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (24 Agustus 1903 – 17 Oktober 1962) adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.[1]

Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903. Ia merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.[2]

Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden - Belanda harus diurungkannya karena ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.[3]

Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari, putri seorang bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.] Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dian melangsungkan pernikahan dengan Gusti Raden Ayu Retno Satuti, putri tertua dari Mangkunegara VIII. M. Yamin meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962. Sebagai pencetus ide-ide penting, M. Yamin mendominasi sejarah politik dan budaya Indonesia modern. Ide-idenya berkontribusi pada kebangkitan politik dan gelora kebanggaan nasional di Indonesia. Pada tahun 1973, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.[4]

Kiprah dalam Dunia Politik

Kita lupakan sejenak peran M. Yamin dalam dunia kesusasteraan Indonesia. Meskipun M. Yamin merupakan penyair terkemuka angkatan pujangga baru, pada artikel ini akan melihat beliau sebagai seorang sarjana hukum yang relevansi kiprah selanjutnya adalah dalam dunia politik.

Karir M. Yamin dalam dunia politik dimulai ketika ia diangkat sebagai ketua Jong Sumatera Bond pada tahun 1926 sampai 1928. Setelah itu pada tahun 1931, ia bergabung ke Partai Indonesia. Tetapi partai tersebut dibubarkan. Karir politiknya berlanjut ketika M. Yamin mendirikan partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilipo, dan Amir Syarifudin.[5]

M. Yamin juga merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan di mana akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal bakal dan merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat M. yamin juga pernah diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).[6]

Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting negara, di antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).[7]

____________________
References:

1. "Mohammad Yamin", //id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Yamin
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. "Profil Mohammad Yamin", m.merdeka.com., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: https://m.merdeka.com/mohammad-yamin/profil
6. Ibid.
7. Ibid.

Kamis, 19 Januari 2023

Bismar Siregar, Mantan Hakim Agung yang Dinilai Progresif

(tribunnews.com)

Oleh:
Tim Hukumindo


Biografi Singkat

Bismar Siregar, S.H. (15 September 1928 – 19 April 2012) adalah mantan Hakim agung Mahkamah Agung. Ia menjadi Hakim Agung periode 1984-2000. Ia dikenal sebagai sosok hakim agung yang progresif.[1] Alumnus Universitas Indonesia ini mengawali karir dengan menjadi Jaksa di Kejaksaan Negeri  Palembang pada 1957 hingga tahun 1959. Kemudian berlanjut di Kejaksaan Negeri Makasar dan Ambon pada tahun 1959 - 1961. Karir sebagai hakim dimulai pada tahun 1961 pada Pengadilan Negeri Pangkalpinang.[2]

Saat bersekolah di bangku Sekolah Dasar, Bismar Tidak lulus. Namun kegigihan luar biasanya berbuah hasil saat dia akhirnya diterima saat mendaftar ke SMP di Sipirok. Karena kondisi keuangan yang tidak baik, bangku SMA baru dilanjutkan di tanah perantauan Bandung. Seragam putih abu-abu baru ditanggalkannya 10 tahun kemudian. Nasib baik berpihak pada Bismar. Dengan kemampuan yang dimiliki, dia berhasil memanfaatkan peluang saat mengikuti ujian penerimaan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pintu menjadi hakim pun terbuka.[3]

Namanya juga pernah tercantum sebagai hakim di PN Pontianak selama 6 tahun hingga 1968. Kemudian Bismar menjadi panitera di Mahkamah Agung pada 1969-1971. Kariernya menanjak saat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur pada 1971-1980. Bismar menghembsukan nafas terakhirnya pada hari Kamis, 19 April 2012 pada pukul 12.25 WIB di Rumah Sakit Fatmawati. Dia mengalami pendarahan di kepala dengan sebelumnya mendadak pingsan pada 16 April 2012 ketika melukis di rumahnya.[4]

Mantan Hakim Agung Progresif

Pria kelahiran Sipirok, Sumatera Utara, 15 September 1928 ini memang telah lama meninggalkan kursi pengadil, namun namanya masih terus akrab di telinga sebagian masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, sejumlah keputusan keras lahir dari balik pribadi yang lembut. Bagi beberapa orang, keputusan hukum yang dibuat Bismar terlihat kontroversial. Ketegasannya Bismar ditunjukkan bahwa dia tidak mau disuap dan tidak bisa dibeli.[5]

Sosok Bismar menjadi cermin bagi para hakim karena kebeningan hati nuraninya. Nurani inilah yang selalu menjadi andalan Bismar setiap kali mengambil keputusan, sebab baginya hati nurani tidak bisa diajak berbohong. Tak berlebihan bila dikatakan Bismar Siregar adalah pendekar hukum langka yang berani melawan arus demi tegaknya keadilan. Baginya, undang-undang dan hukum hanyalah sarana untuk mencapai keadilan. Semasa menjadi hakim, Bismar kerap melakukan terobosan hukum. Ia pun tak mau diintervensi siapapun dalam mengambil keputusan, termasuk oleh atasannya.[6]

Bismar adalah representasi hakim yang punya watak, yang tak mau terkungkung oleh kekakuan hukum di atas kertas, hakim yang mengutamakan keadilan daripada kepastian hukum. Bismar digambarkan sebagai sosok hakim yang kontroversial. Putusannya seringkali melawan arus. “Selama menjadi hakim, beliau telah memutuskan perkara dengan pertimbangan-pertimbangan yang ‘tidak biasa’ dilakukan oleh penegak hukum saat itu,” tulis Guru Besar UIN Jakarta, M. Bambang Pramono, beberapa hari setelah Pak Bismar wafat.[7]

Prof. Bustahunl Arifin, senior sekaligus kolega Bismar di Mahkamah Agung, pun tak ketinggalan memberikan pujian. “Apapun yang dilakukan Bismar, dilakukannya dengan keimanan yang kukuh”. Bismar, tulis Prof. Burtanul Arifin di Varia Peradilan edisi Mei 2009, adalah orang yang istiqomah. “Dia tidak segan mengeluarkan pendapat yang berbeda dari pendapat mainstream,” kata advokat senior Todung Mulya Lubis.[8]

Semasa hidupnya Pak Bismar sering mengirimkan tulisan ke media massa. Melacak semua tulisan Pak Bismar sama sulitnya dengan memastikan berapa sebenarnya jumlah artikel dan paper yang pernah Pak Bismar hasilkan semasa hidupnya. Ini juga tak mudah karena tulisan Pak Bismar  tak semuanya terekam di media massa. Kali lain, Pak Bismar membuat tulisan untuk kebutuhan khutbah dan seminar, ada pula untuk kebutuhan mengajar di beberapa kampus. Bahkan beberapa di antaranya adalah ‘testimoni’ Pak Bismar untuk tokoh hukum, atau kata pengantar dalam buku tertentu.[9]

Karena itu, membuat tulisan tentang sosok, gagasan, dan sepak terjang Bismar dalam tulisan panjang berseri tentu bukan pekerjaan mudah. Sebagian besar jurnalis yang meliput bukanlah generasi yang hidup pada masa Pak Bismar menjalankan profesinya sebagai hakim. Kami beruntung Pak Bismar meninggalkan warisan kekayaan intelektual yang tak terhingga. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa, termasuk majalah ilmiah yang terbit pada dekade 1970 sampai 1980-an. Sebagian tulisan-tulisan Pak Bismar kemudian dibukukan.  Dalam upaya memahami lebih dekat hakim yang pelukis itu,  kami sangat banyak terbantu oleh karya-karyanya dan karya orang lain yang menyinggung Pak Bismar. Pekerjaan besarnya adalah bagaimana memilah-milah informasi dari karya itu agar layak dituliskan ulang dalam tulisan panjang berseri di hukumonline. Apalagi, gagasan dan sepak terjang Pak Bismar bukan hanya ada di lapangan hukum, tetapi juga bidang seni, pendidikan, dan sosial budaya.[10] 
____________________
References:

1. "Bismar Siregar", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Bismar_Siregar
2. "Profil Bismar Siregar", m.merdeka.com., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://m.merdeka.com/bismar-siregar/profil
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. "Bismar Siregar, Hakim Kontroversial yang Berhati Nurani", www.hukumonline.com., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://www.hukumonline.com/berita/a/bismar-siregar--hakim-kontroversial-yang-berhati-nurani-lt559d06730db6c/
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.

Selasa, 17 Januari 2023

Sosok Johannes Latuharhary, Sarjana Hukum Dan Gubernur Maluku Pertama

(Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Overview of Special Economic Zones and Integrated Industrial Zones in Indonesia", "Notonagoro, Akademisi Hukum Dan Pelopor Filsafat Pancasila", "Soepomo, Penentang Paham Hak Individualistik Dan Turunannya", "Mengenal Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK Pertama" dan "Mengenal Tony Blair, Mantan Perdana Menteri Inggris Yang Juga Pengacara", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sosok Johannes Latuharhary, Sarjana Hukum Dan Gubernur Maluku Pertama'.

Biografi Singkat

Mr. Johannes Latuharhary (6 Juli 1900 – 8 November 1959) adalah seorang politikus dan perintis kemerdekaan Indonesia. Ia menjabat sebagai Gubernur Maluku pertama (1950–1955) dan memperjuangkan masuknya Maluku ke dalam NKRI. Johannes lahir di Saparua, Maluku, dan sebagai remaja ia pindah ke Batavia untuk pendidikan lanjut. Belakangan, ia memperoleh beasiswa untuk belajar ilmu hukum di Universitas Leiden. Sepulangnya ke tanah air, ia menjadi hakim di Jawa Timur dan mulai turut serta dalam pergerakan kebangkitan nasional Indonesia melalui organisasi pemuda Sarekat Ambon (SA).[1]

Johannes dilahirkan di Ullath, Saparua pada tanggal 6 Juli 1900. Ayahnya bernama Jan Latuharhary dan ibunya bernama Josefin Hiarej. Jan merupakan seorang guru di desa yang bertetangga dengan Ullath. Awalnya, Johannes (juga dijuluki "Nani") belajar di Ullath pada kelas 1 SD, tetapi ia pindah ke Ambon saat berusia 9 tahun. Di Ambon, ia belajar di sekolah Europeesche Lagere School (ELS) Belanda. Umumnya ELS hanya menerima anak-anak keturunan Eropa, tetapi karena ayahnya merupakan seorang guru, Johannes diterima masuk. Ia belajar di ELS sampai tahun 1917. Setelah itu, Johannes pindah ke Batavia, dan ia belajar di sekolah Hogere Burgerschool (HBS) sampai tahun 1923.[2]

Selulusnya dari HBS, Johannes memperoleh beasiswa dari dana amal Ambonsch Studiefonds sehingga ia dapat belajar ilmu hukum di Universitas Leiden. Di Leiden, ia menjadi putra daerah Maluku pertama yang memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada bulan Juni 1927. Selain belajar hukum, Johannes juga banyak bergaul dengan anggota Perhimpunan Indonesia di sana seperti Ali Sastroamidjojo dan Iwa Kusumasumantri, meskipun ia tidak mendaftar menjadi anggota secara resmi. Sepulangnya dari Leiden, Johannes sudah menjadi seorang pejuang untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia.[3]

Sarjana Hukum Dan Gubernur Maluku Pertama

Sepulangnya ke Indonesia, Johannes diangkat menjadi asisten hakim di Pengadilan Tinggi Surabaya berbekal rekomendasi dari dosennya Cornelis van Vollenhoven.[12] Ia kemudian diangkat menjadi hakim penuh di Surabaya, sebelum ditunjuk menjadi hakim ketua di pengadilan negeri di Kraksaan, Probolinggo pada tahun 1929. Semasa ini, Johannes bergabung dengan organisasi pemuda perantauan Ambon di Jawa, Sarekat Ambon (SA), dan menjabat sebagai ketua redaksi surat kabar organisasi SA, yakni Haloean. Johannes mencoba untuk mendaftarkan SA sebagai organisasi resmi sejak tahun 1930, meskipun permohonannya baru diterima tahun 1933. Dikarenakan depresi besar yang melanda perekonomian dunia sekitar waktu itu, Johannes juga membentuk suatu koperasi untuk para perantauan dari Maluku.[4]

Pada sekitar waktu ini, sejumlah anggota SA mengusulkan agar SA bergabung ke Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang mewadahi berbagai organisasi pergerakan nasional di tingkat daerah sampai seluruh Indonesia. Namun, Johannes memandang bahwa organisasi keagamaan seperti Sarekat Islam tidak seharusnya ikut dalam pergerakan politik, sehingga ia menolak bergabungnya SA ke dalam PPPKI. SA belakangan tetap bergabung ke PPPKI pada tahun 1932. Pada bulan Januari tahun itu, Johannes sempat berpidato dalam kongres PPPKI dengan judul: "Azab Sengsara Kepoelauan Maloekoe" yang bertema penjajahan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan lalu pemerintah Belanda. Pidato ini belakangan diterbitkan sebagai suatu buku yang dibredel pemerintah kolonial. Dalam karya tulisnya, ia juga mencerca sistem pendidikan Belanda di Maluku yang dituduhnya bertujuan untuk menciptakan pegawai negeri, tentara, dan pelaut untuk pemerintah kolonial. Pandangan Johannes untuk negara Indonesia setelah merdeka berbentuk suatu negara serikat, sejalan dengan pandangan tokoh-tokoh lain seperti Sam Ratulangi, Tan Malaka, atau Mohammad Hatta.[5]

Karena aktivitas anti-kolonial Johannes, ia diberikan pilihan oleh pemerintah Belanda: mundur sebagai hakim atau berhenti ikut pergerakan kemerdekaan. Johannes memutuskan untuk mundur sebagai seorang hakim dan beralih haluan menjadi seorang pengacara.[6]

Keputusan ini memberatkan keuangan keluarganya – sebagai hakim ketua, ia menerima gaji 750 gulden yang terhitung besar pada masa itu, tetapi tidak banyak ditabung karena habis untuk donasi ke Sarekat Ambon dan ke beasiswa lamanya (Ambonsch Studiefonds). Meskipun begitu, ia menjadi seorang pengacara yang cukup terkenal di Jawa Timur seusai berhasil mempertahankan hak lahan petani lokal dari pabrik gula, dan ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad (sejenis Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat Kabupaten) di Probolinggo tahun 1934. Kemudian, ia menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Timur (Provinciale Raad) sampai tahun 1942.[7]

Johannes menjadi ketua umum pertama Jong Ambon setelah organisasi tersebut didirikan pada tahun 1936. Ia juga turut serta dalam pemilihan umum anggota Volksraad mewakili Ambon pada tahun 1939 dengan kampanye yang berdasarkan sentimen nasionalisme, sambil membangun sejumlah cabang baru untuk SA. Namun, ia gagal meraih kursi karena dikalahkan seorang caleg keturunan bangsawan anggota Regentenbond. Johannes belakangan menjadi anggota Partai Indonesia Raya (Parindra).[8]

Anggota BPUPKI dan PPKI. Jepang mulai menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada awal 1945 dan Latuharhary ditunjuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) untuk mewakili Maluku. Dalam kapasitas ini, pemerintah Jepang melalui Johannes meminta perantauan Ambon untuk berhenti bergerilya atau berseteru dengan Jepang, dan berfokus untuk meraih kemerdekaan. Dalam rapat-rapat BPUPKI, Johannes mengajukan bentuk negara serikat, tetapi karena hanya 2 dari 19 anggota panitia UUD yang setuju, bentuk negara diputuskan sebagai negara kesatuan. Gagasan Johannes mengenai negara Indonesia, diterbitkan surat kabar Asia Raya edisi 9 Mei 1945, mendasarkan Indonesia atas: Persatuan Rakyat Indonesia, Rumah Tangga Desa, Perguruan, dan Agama.[9]

Seusai pengakuan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar, Johannes berangkat ke Maluku untuk menjabat sebagai Gubernur de facto. Sebelum ia tiba, sempat terjadi pemberontakan Republik Maluku Selatan dan TNI meluncurkan suatu operasi di Kota Ambon, sehingga kota tersebut menjadi luluh lantak karena pertempuran. Setibanya Johannes, ia mulai memperbaiki sistem pemerintahan di bekas medan perang tersebut dengan merekrut bekas anggota Sarekat Ambon dan sejumlah mantan pegawai negeri zaman Belanda untuk mengisi lowongan-lowongan di pemerintah provinsi. Daerah "Maluku Selatan" juga dihapuskan dan digantikan dengan dua kabupaten: Maluku Tengah dan Maluku Tenggara. Pada masa jabatannya, Maluku tengah dilanda perang. Keadaan darurat militer berlangsung sampai tanggal 30 Juli 1952, dan setelahnya keadaan darurat militer ini dicabut sehingga tersisa keadaan perang di Ambon dan Pulau Seram saja. Selagi menjabat sebagai gubernur, Johannes mencoba untuk mencabut status keadaan perang ini secara menyeluruh. Johannes menjabat sebagai gubernur sampai tahun 1955.[10]

Johannes meninggal dunia pada tanggal 8 November 1959 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Ia sebelumnya jatuh koma sebelum berangkat ke gereja pada 6 November, sepulangnya dari kunjungan kerja ke Riau.[11] Sepeninggal Johannes, ia dihargai pemerintah Indonesia dengan Bintang Mahaputera Utama. Sosoknya diabadikan sebagai nama suatu jembatan di Jakarta beserta jalan di Ambon dan Jakarta. KM Johannes Latuharhary, kapal kargo yang dibangun di Polandia, juga dinamakan atasnya. Ada pula yayasan Mr J. Latuharhary Foundation yang merupakan penerbit surat kabar Sinar Harapan di Ambon.[12] 
____________________
References:

1. "Johannes Latuharhary", //id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Johannes_Latuharhary
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.

Sabtu, 14 Januari 2023

Iwa Kusumasumantri, Mantan Menteri dan Rektor yang Pernah Mendirikan Kantor Hukum

(ciamis.info)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "6 Property Investment Tips in Bali for Foreigners", "Notonagoro, Akademisi Hukum Dan Pelopor Filsafat Pancasila", "Soepomo, Penentang Paham Hak Individualistik Dan Turunannya", "Mengenal Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Pertama" dan "Mengenal Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK Pertama", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Iwa Kusumasumantri, Mantan Menteri dan Rektor yang Pernah Mendirikan Kantor Hukum'.

Biografi Singkat

Iwa Kusumasumantri, ia adalah seorang tokoh politisi nasional, pengacara serta pejuang hak-hak buruh. Ia pernah menduduki jabatan sebagai menteri di era kepemimpinan Soekarno.Iwa lahir di Kabupaten Ciamis, pada tanggal 31 Mei 1899. setelah menyelesaikan pendidikan dasar di sekolah yang dikelola oleh pemerintahan colonial Belanda, kemudian melanjutkan pendidikan di Opleidingsschool Voor inlandse Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah pegawai pemerintah pribumi. Sebelumnya ia menolak untuk masuk sekolah tersebut atas permintaan ayahnya.[1]

Setelah menjalani sekolah di OSVIA, Ia tidak bertahan lama. Kemudian ia pindah ke Jakarta untuk mengenyam pendidikan hukum. Di Jakarta, Iwa bergabung dengan sebuah organisasi pemuda jawa atau jong java. setelah menyelesaikan pendidikan di Jakarta selama 5 tahun, akhirnya ia pindah ke Belanda untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden. Di Belanda ia bergabung dengan serikat Indonesia (Indonesische Vereeniging), serikat Indonesia merupakan kelompok nasionalis para intelektual Indonesia.[2]

Pada tahun 1957 Iwa menjadi Rektor Pertama Universitas Padjajaran Bandung. Kemudian ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung merangkap sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dan pada tanggal 27 November 1971 Ia meninggal dunia karena penyakit jantung setelah dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Karet. Pada masa pemerintahan Megawati, Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.[3]

Pernah Mendirikan Kantor Hukum

Setibanya Iwa Kusumasumantri di Indonesia, ia membuka kantor pengacara di Bandung, Jakarta, Medan. Ia juga menerbitkan surat kabar bernama Matahari Indonesia. Namun, pada Juli 1929, akibat tulisan tulisannya yang tajam di surat kabar yang diterbitkannya itu, ia harus mendekam di penjara Medan selama satu tahun. Kemudian dipindahkan ke Jakarta untuk diasingkan ke Bandaneira. Akhir Februari 1941, Iwa dipindahkan dari Bandaneira menuju Makassar.[4] Tidak hanya di satu kota saja, beliau pernah mendirikan kantor hukum di tiga kota, yaitu Bandung, Jakarta dan Medan.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Iwa Kusumasumantri diangkat menjadi Menteri Sosial di bawah pimpinan Presiden Soekarno. Namun, masa jabatan tidak bertahan lama, karena adanya perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem parlementer. Ia ditangkap pada tahun 1946, karena terlibat peristiwa dalam Peristiwa 3 Juli 1946 bersama Mohammad Yamin, Subardjo, dan Tan Malaka. Setelah menjalani hukumannya, ia sekali lagi menjabat sebagai menteri, tapi kali ini ia dipercaya sebagai Menteri Pertahanan. Setelah tidak menyandang jabatan sebagai menteri, tahun 1957 Iwa menjadi rektor Universitas Padjadjaran Bandung, lalu pada tahun 1961 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung merangkap juga menjadi Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.[5] 
____________________
References:

1. "Mengenal Sosok Iwa Kusuma Sumantri", ketik.unpad.ac.id., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://ketik.unpad.ac.id/posts/142/mengenal-sosok-iwa-kusuma-sumantri
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Profil Iwa Kusuma Sumantri", m.merdeka.com., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://m.merdeka.com/iwa-kusuma-sumantri/profil
5. Ibid.

Kamis, 12 Januari 2023

John Howard, Sarjana Hukum Yang Juga Mantan Perdana Menteri Australia

(gettyimages)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "How to Start a Business in Indonesia", "Notonagoro, Akademisi Hukum Dan Pelopor Filsafat Pancasila" dan "Mengenal Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Pertama", "Mengenal Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK Pertama", "Mengenal Tony Blair, Mantan Perdana Menteri Inggris Yang Juga Pengacara" pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'John Howard, Sarjana Hukum Yang Juga Mantan Perdana Menteri Australia'.

Biografi Singkat

John Winston Howard (lahir 26 Juli 1939) adalah Perdana Menteri Australia sejak 11 Maret 1996 hingga 3 Desember 2007. Howard dilahirkan di Sydney dan mengikuti sekolah di Earlwood Primary and Canterbury Boys’ High. Ia meneruskan ke Universitas Sydney dan lulus Sarjana Hukum pada 1961. Ia dibesarkan di daerah Earlwood, suatu daerah kelas menengah yang penduduknya hampir semua merupakan keturunan Anglo-Saxon. Ayahnya mempunyai bengkel mobil dan mendapatkan penghasilan memadai. Ia dibesarkan tanpa banyak kontak dengan masyarakat imigran Australia maupun yang miskin.[1]

John Howard adalah perdana menteri terlama kedua Australia setelah Sir Robert Menzies. Howard juga adalah pemimpin Partai Liberal sejak tahun 1995 hingga 2007. Ia kalah dalam pemilu 2007 yang diadakan pada 24 November sehingga harus melepaskan jabatannya.[2]

Karir Politik

Ia aktif dengan Partai Liberal sejak usia 18 tahun saat mengikuti Gerakan Liberal Muda dan ikut dalam mahasiswa politik di perguruan tinggi. Pada Juli 1962, ia diterima sebagai Jaksa Agung Muda Mahkamah Agung New South Wales. Sebelum pemilihannya ke Parlemen, ia merupakan seorang rekanan di sebuah perusahaan pendanaan di Sydney.[3]

John Howard menjadi orang ke-25 yang memegang jabatan Perdana Menteri sejak terbentuknya Federasi Australia. Ini menyusul kemenangan pemilihan Federal yang menentukan pada 2 Maret 1996. Ia mewakili daerah pemilihan federal Bennelong di pinggiran kota barat laut dan telah terpilih sebagai anggota parlemen Bennelong dalam setiap pemilihan federal sejak 1974.[4]

Ia menjadi perdana menteri dengan pengalaman tinggi yang luas dalam pemerintahan dan oposisi. Ia dipilih sebagai Menteri Urusan Bisnis dan Konsumen pada 1975 pada usia 36 tahun dan kemudian menjabat sebagai Menteri Negosiasi Perdagangan Spesial dan sebagai Bendaharawan Persemakmuran selama lebih dari 5 tahun.[5]

Pada September 1985, ia menjabat Wakil Pemimpin yang dipilih koleganya sebagai Pemimpin Partai Liberal Parlementer dan Pemimpin Oposisi sampai Mei 1989. Ia kembali ke kepemimpinan dengan suara bulat koleganya pada 30 Januari 1995. Pada masa sementara, ia menjabat sebagai juru bicara Koalisi untuk sejumlah jabatan senior.[6]

Terpilih sebagai perdana menteri untuk pertama kalinya pada 1996, ia terpilih kembali pada pemilu 1998, 2001, dan 2004. Ia maju kembali pada pemilu tahun 2007 namun partainya dikalahkan Partai Buruh. Howard sendiri bahkan kalah di daerah pemilihannya, Bennelong.[7] Dari uraian di atas hal yang penting adalah bahwa John Howard seorang sarjana hukum yang salah satunya menduduki jabatan perdana menteri Australia terlama. 
____________________
References:

1. "John Howard", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/John_Howard
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.

Selasa, 10 Januari 2023

Sutan Sjahrir, Sosok Perdana Menteri Pertama Indonesia

(www.70yearsindonesiaaustralia.com)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Contoh Surat Somasi Sederhana", "Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI Periode 2001-2008", "Mengenal Tony Blair, Mantan Perdana Menteri Inggris Yang Juga Pengacara", "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln" dan "Mr. Iskak Tjokroadisurjo, Membuka Kantor Hukum Pertama di Batavia", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Sosok Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Pertama Indonesia'.

Biografi Singkat

Sutan Syahrir (ejaan lama: Soetan Sjahrir, 5 Maret 1909 – 9 April 1966) adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Sjahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.[2]

Sjahrir lahir di Padang Panjang dari pasangan Mohammad Rasad dengan gelar Maharaja Soetan bin Leman dan gelar Soetan Palindih dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Sjahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Sjahrir bersaudara kandung dengan Soetan Sjahsam, seorang makelar saham pribumi paling berpengalaman pada masanya dan Soetan Noeralamsjah, seorang jaksa dan politikus Partai Indonesia Raya (Parindra).[3]

Sarjana Hukum Dan Perdana Menteri Pertama Indonesia

Republik Indonesia dalam sejarahnya juga mempunyai pemimpin yang berlatar belakang pendidikan hukum, dikarenakan sistem pemerintahan pada waktu itu adalah sistem parlementer, maka pemimpin ini menjabat sebagai Perdana Menteri. Waktu itu jabatan Presiden disandang oleh Sukarno, sedangkan Perdana Menteri dijabat oleh Sutan Syahrir. Sosok pejuang kemerdekaan bersama Sukarno dan Hatta ini lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat tanggal 5 Maret 1909. Syahrir menjabat sebagai Perdana Menteri dari tanggal 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947.[4]

Syahrir kemudian melanjutkan pendidikan tingginya ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam . Di sana, Syahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme. Selain menceburkan diri dalam sosialisme, Syahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang ketika itu dipimpin oleh Mohammad Hatta  . Di awal tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda kian bengis terhadap organisasi pergerakan nasional, dengan aksi razia dan memenjarakan pemimpin pergerakan di tanah air, yang berbuntut pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh aktivis PNI sendiri. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis PI di Belanda. Mereka selalu menyerukan agar pergerakan tidak mengendur lantaran pemimpinnya dipenjarakan. Seruan itu mereka sampaikan lewat tulisan. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan misi pendidikan rakyat harus menjadi tugas utama pemimpin politik.[5]

Pengujung tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalamannya dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Syahrir terjun dalam pergerakan buruh, ia memuat banyak tulisannya tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Ia juga kerap berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.[6]

Pasca kekalahan perang dan menyerahnya Jepang pada perang Pasifik, Syahrir yang terus memantau berita Luar Negeri kemudian juga didukung oleh para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus 1945 karena Jepang sudah menyerah. Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat. Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945.[7]

Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Karya yang ditulis Syahrir dengan judul “Perjuangan Kita” merupakan karya terbesar Syahrir, demikian menurut Salomon Tas, bersama surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. Manuskrip itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, “Satu-satunya usaha untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang memperngaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan pada masa depan”. Pemikiran dan usahanya atas Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, menjadikannya ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer pada bulan November 1945. Pada usia 36 tahun, mulailah Syahrir memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.[8]

Perlakuan tidak menyenangkan sempat dialami oleh Syahrir, yaitu pada tanggal 26 Juni 1946 di Surakarta, Syahrir diculik oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan Pemerintah Belanda karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh atau merdeka seratus persen. Sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura. Setelah kejadian penculikan Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.[9]

Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah RI. Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan.[10]

Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Syahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Syahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir. Pada 14 Agustus 1947 Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Syahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco Van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.[11]

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki. Syahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat.[12]

Selepas memimpin kabinet, Sutan Syahrir diangkat menjadi penasihat Presiden Soekarno sekaligus Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948 Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai alternatif selain partai lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pada ajaran Marx-Engels, namun ia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet. Menurutnya pengertian sosialisme adalah menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia. Tahun 1955 PSI gagal mengumpulkan suara dalam pemilihan umum pertama di Indonesia. Setelah kasus PRRI tahun 1958, hubungan Sutan Syahrir dan Presiden Soekarno memburuk sampai akhirnya PSI dibubarkan tahun 1960. Tahun 1962 hingga 1965, Syahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili sampai menderita sakit. Setelah itu Syahrir diizinkan untuk berobat ke Zurich Swiss, salah seorang kawan dekat yang pernah menjabat wakil ketua PSI Sugondo Djojopuspito menghantarkan hingga di Bandara Kemayoran dan Syahrir memeluk Sugondo dengan air mata, dan akhirnya meninggal di Swiss pada tanggal 9 April 1966.[13] 
____________________
References:

1. "Sutan Sjahrir", //id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Sjahrir
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "Sosok Pemimpin Negara atau Pemerintahan Berlatar Pendidikan Bidang Hukum", www.yuridis.com., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: http://www.yuridis.com/sosok-pemimpin-negara-atau-pemerintahan-berlatar-pendidikan-bidang-hukum/
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Ibid.
10. Ibid.
11. Ibid.
12. Ibid.
13. Ibid.

Sabtu, 07 Januari 2023

Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI Periode 2001-2008

(paratokohlampung.blogspot.com)

Oleh:
Tim Hukumindo


Biografi Singkat

Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.C.L. (lahir 6 Oktober 1941) adalah Ketua Dewan Pers Indonesia, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 2001—2008. Menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Bandung (UNISBA) periode 1985—1986 dan 2000—2001. Ia juga merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.[1]

Pada Februari 2010, Bagir terpilih sebagai ketua Dewan Pers Indonesia periode 2010–2013. Selanjutnya pada 3 April 2013, melalui rapat pleno sembilan anggota Dewan Pers periode 2013–2016 di Jakarta, secara aklamasi memilih Bagir Manan kembali menjadi ketua, ia didampingi Margiono sebagai wakil ketua. Bagir Manan mempunyai satu istri bernama Komariah dan tiga orang anak: Kemal, Safitri, dan Firman.[2]

Riwayat Pendidika:[3]
  • SMA di Tanjungkarang (1961);
  • Universitas Padjadjaran, Bandung (1967);
  • Master of Comparative Law, Southern Methodist University Law School Dallas, Texas, Amerika Serikat;
  • Doktor Hukum Tata Negara, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung (1990).

Terus Berkarya Meski Usia Sudah Tidak Lagi Muda

Kariernya dimulai di dunia akademesi. Pada usia 23 tahun, dia menjadi asisten dosen saat masih kuliah. Dia sendiri baru dapat menuntaskan kuliahnya pada tahun 1967 dalam usia 26 tahun. Di tengah kesibukannya menjadi dosen, Bagir mencoba duduk di dunia legislatif sebagai anggota DPRD Kota Bandung 1968-1971. Di dunia politik cukup satu periode, Bagir diminta untuk menjadi staf ahli menteri kehakiman pada tahun 1974. Kariernya di dunia eksekutif ini berlanjut. Kariernya terus naik, dia menjadi Dirjen Hukum dan perundang-undangan Departemen Kehakiman.[4]

Kecintaannya ke dunia kampus belum berakhir, dia diminta untuk menjadi Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba) pada tahun 2000. Dia juga menjadi tenaga pengajar di berbagai perguruan tinggi. Kariernya makin melesat saat dia terpilih menjadi ketua Mahakamah Agung (MA) pada tahun 2001 hingga 2008.[5]

Setelah pensiun dari MA, karier Bagir belum berakhir. Dia lolos seleksi dan terpilih menjadi Ketua Dewan Pers untuk dua periode. Periode 2010-2013 dan 2013-2016. Bagir Manan terus berkarya meski usia sudah memasuki 74 tahun.[6] Berikut riwayat karir Bagir Manan:[7]
  • Asisten Dosen, 1964;
  • Anggota DPRD Kodya Bandung, 1968 - 1971;
  • Staf Ahli Menteri Kehakiman, 1974 - 1976;
  • Direktur Perundang - Undangan departemen Kehakiman, 1990 - 1995;
  • Dirjen Hukum dan perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1995 - 1998;
  • Rektor Unisba Bandung, 2000;
  • Ketua Mahkamah Agung, 2001 - 2008;
  • Ketua Dewan Pers Indonesia, 2010 - 2013;
  • Ketua Dewan Pers Indonesia, 2013 - 2016.
____________________
References:

1. "Bagir Manan", id.wikipedia.org., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://id.wikipedia.org/wiki/Bagir_Manan
2. Ibid.
3. Ibid.
4. "PROF. DR. BAGIR MANAN, S.H.", www.viva.co.id., Diakses pada tanggal 22 Desember 2022, Link: https://www.viva.co.id/siapa/read/173-prof-dr-bagir-manan-sh
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.

Kamis, 05 Januari 2023

Mengenal R. Soebekti, Ketua Mahkamah Agung RI Periode 1968-1974

(Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo


Biografi Singkat

R. Soebekti (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 14 Mei 1914 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 9 Desember 1992 pada umur 78 tahun) adalah Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 1968 hingga tahun 1974.[1]

Sebelum menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung, ia pernah menjabat Hakim Pengadilan Negeri Semarang (1942), Ketua Pengadilan Negeri Purworejo (1944), Panitera Mahkamah Agung R.I. (1946), Hakim Anggota pada Pengadilan Tinggi Makassar (1952), Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta (1955), dan sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I. (1958).[2]

Selain itu, bersama dengan R. Tjitrosoediro menerjemahkan Burgelijke Wetboek (terkenal dengan singkatan BW) menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau KUH Perdata. Ia juga menerjemahkan KUH Dagang, UU Kepailitan, dan Kamus Hukum.[3] Sepengetahuan penulis, R. Soebekti juga diabadikan menjadi nama ruang sidang di sejumlah Pengadilan Negeri di Jakarta. 
____________________
References:

1. "Biografi R. Soebekti", //suduthukum.com., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: https://suduthukum.com/2017/01/biografi-r-soebekti.html
2. Ibid.
3. Ibid.

Selasa, 03 Januari 2023

Mengenal Nehru, Perdana Menteri Pertama India

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan yang lalu platform www.hukumindo.com telah membahas mengenai "Customs Foreclosure Fraud 2022 Sets Record, Losses Exceed IDR 8.3 Billion!", "Secuil Kisah Beracara Abraham Lincoln", "Kisah Ketua MA Pertama, Mr. Koesoemah Atmadja" dan "Mr. Iskak Tjokroadisurjo, Membuka Kantor Hukum Pertama di Batavia", pada kesempatan ini akan dibahas mengenai 'Mengenal Nehru, Perdana Menteri Pertama India'.

Biografi Singkat

Nama Lengkap: Jawaharlal Nehru, Tempat Lahir: Allahabad, India, Tanggal Lahir: Kamis, 14 November 1889, Warga Negara: India, Istri: Kamala Kaul, Indira Gandhi. Jawaharlal Nehru adalah seorang pemimpin nasionalis India dan juga merupakan Perdana Menteri India yang pertama setelah India menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1947.[1]

Jawaharlal Nehru lahir di Allahabad. Dia berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya bernama Motilal Nehru, seorang pemilik perusahaan property dan juga seorang pengacara ternama yang beristrikan Swaruprani Nehru. Nehru menempuh pendidikan dasarnya di Harrow School di Inggris dan melanjutkan pendidikan tingginya di Trinity College, London. Pendidikan hukumnya dia tempuh di Inns of Court School of Law. Selesai mengenyam pendidikan bertahun-tahun di India, Jawaharlal Nehru pun kembali ke kampung halamannya di India pada tahun 1912 untuk menerapkan ilmu hukum yang telah diperolehnya selama bersekolah di Inggris.[2]

Karir Politik

Sejak kembalinya dia ke India, Nehru memutuskan untuk menikahi Kamala Kaul dan setahun setelah pernikahan mereka, lahirlah Indira. Karir hukumnya tidak membuatnya mendapatkan apa yang dia cari sehingga Nehru pun memutuskan untuk bergerak di bidang politik pada 1919 dengan bergabung di Kongres. Karirnya di Kongres menanjak dan akhirnya terpilih sebagai Presiden Kongres pada tahun 1928.[3] Sepertinya karir hukum Nehru tidak begitu sukses, ia lebih sukses sebagai politisi.

Jawaharlal Nehru memegang peran penting pada suksesnya negosiasi kemerdekaan India. Dia adalah penentang Liga Muslim yang berkeras untuk memecah India berdasarkan pada agama. Pada 1947, Jawaharlal Nehru menjadi Perdana Menteri India yang pertama setelah kemerdekaan negara tersebut. Dia mengisi jabatan tersebut hingga kematiannya datang pada tahun 1964. Selain sebagai Perdana Menteri, Nehru juga berperan sebagai Menteri Luar Negeri bagi India dan harus langsung dihadapkan pada permasalahan Kashmir, yang hingga sekarang tidak selesai. Nehru meninggal dunia pada 27 Mei 1964 setelah kesehatannya memburuk karena perang yang dihadapi negaranya ketika bersengketa wilayah dengan China.[4]
____________________
References:

1. "Profil Jawaharlal Nehru", m.merdeka.com., Diakses pada tanggal 23 Desember 2022, Link: https://m.merdeka.com/jawaharlal-nehru/profil
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...