Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Perubahan Gugatan. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Perubahan Gugatan. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Rabu, 01 April 2020

Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Dalam dunia praktik hukum, khususnya perdata, surat gugatan memegang peranan penting ketika seseorang akan menempuh prosedur beracara. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai larangan melakukan perubahan gugatan. Tentunya bukan sembarang larangan, ia mesti berdasarkan hukum acara yang berlaku.

Dasar hukum yang dimaksud bersumber pada Pasal 127 Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering, yaitu hukum acara perdata dan pidana yang berlaku untuk golongan Eropa di jaman penjajahan Hindia - Belanda), yang bunyinya adalah sebagai berikut:
"Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya."
Bunyi Pasal 127 Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering) ini mengharuskan kita untuk terlebih dahulu memahami arti "pokok gugatan".

Perihal Pokok Gugatan


Pokok gugatan tidak dijelaskan dalam aturan dimaksud, sehingga mendorong kita untuk mendalami lebih jauh mengenai maksud pokok gugatan. Salah satu tempat untuk bertanya adalah kepada para ahli hukum, diantaranya adalah Subekti, Soepomo, Sudikno dan M. Yahya Harahap. Subekti mengemukakan, yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah kejadian materiil gugatan. Sedangkan menurut Soepomo, yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah berasal dari kata "onderwerp van den eis". Sedangkan Sudikno menerangkan, menurut praktik selain meliputi juga dasar tuntutan, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan.[1]

M. Yahya Harahap menyimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan pokok gugatan secara umum adalah materi pokok gugatan atau materi pokok tuntutan, atau kejadian materiil gugatan.[2] Terlepas dari persilangan pendapat para ahli sebagaimana diterangkan sebelumnya, penulis dengan ini berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud dengan pokok gugatan secara umum adalah terkait dengan tuntutan inti. 

Perubahan Surat Gugatan Yang Diperbolehkan

Sebelum membahas mengenai larangan untuk merubah surat gugatan, ada bainya terlebih dahulu mengetahui perubahan surat gugatan yang diperbolehkan, diantaranya mencakup: a). Perubahan gugatan yang tidak prinsipil, misalnya memperbaiki hubungan darah antara Para Tergugat dengan pewaris Penggugat; b). Perubahan Nomor Surat Keputusan (SK), hal ini diakibatkan oleh salah ketik, tidak menghambat proses pemeriksaan; dan terakhir adalah c). Perubahan tanggal tidak dianggap merugikan kepentingan tergugat.[3]

Dari ketiga perbolehan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan gugatan yang dapat dilakukan adalah yang tidak prinsipil, dan selain itu tidak merugikan kepentingan dari tergugat.

Tiga Larangan Hukum Merubah Surat Gugatan

Setelah membahas perbolehan melakukan perubahan gugatan, maka pada kesempatan ini, penulis akan menerangkan mengenai tiga (3) larangan hukum dalam hal merubah gugatan, yaitu:
  1. Larangan Mengubah Materi Pokok Perkara, dilarang perubahan gugatan atau tuntutan yang menimbulkan akibat terjadinya perubahan materi pokok perkara. Penegasan ini terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 547 K/Sip/1973, yang menyatakan "Perubahan gugatan mengenai materi pokok perkara adalah perubahan tentang pokok gugatan, oleh karena itu harus ditolak".[4]
  2. Larangan Mengubah Posita Gugatan, dilarang dan tidak dibenarkan perubahan mengakibatkan perubahan posita gugatan. Larangan ini dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1043 K/Sip/1971 yang menyatakan: "Yurisprudensi mengizinkan perubahan gugatan atau tambahan asal hal itu tidak mengakibatkan perubahan posita, dan pihak tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri." Yang dimaksud dengan perubahan posita atau penyimpangan dari posita; perubahan itu mengakibatkan terjadinya penggantian posita semula menjadi baru atau posita lain. Misalnya, posita jual-beli, diubah menjadi sewa-menyewa atau hibah.[5]
  3. Larangan Mengurangi Gugatan Yang Merugikan Tergugat, Pasal 127 Rv memberi hak kepada Penggugat untuk mengurangi gugatannya atau tuntutannya. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 848 K/Pdt./1983, ganti rugi dari Rp. 13 Juta menjadi Rp. 4 Juta. Contoh mengurangi gugatan yang merugikan tergugat adalah misalnya perkara pembagian harta warisan. Penggugat mendalilkan, harta peninggalan orang tua belum dibagi waris. Semula penggugat memasukkan seluruh harta warisan, meliputi harta yang dikuasai dengan yang dikuasai ahli waris lainnya. Pada sidang pengadilan, penggugat mengurangi objek harta warisan yang dikuasainya dari gugatan, sehingga harta yang menjadi objek gugatan hanya yang dikuasai oleh Para Tergugat, hal dimaksud sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2 K/Sip/1959 tertanggal 28 Januari 1959.[6]
_________________________

Referensi:
1. M. Yahya Harahap, "Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan)", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan kesembilan, 2009, Hal. 97.
2. Ibid. Hal.: 97-98.
3. Ibid. Hal.: 98-99.
4. Ibid. Hal.: 98-99.
5. Ibid. Hal.: 100.
6. Ibid. Hal.: 100-101.

Jumat, 12 Juni 2020

Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan.

Mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan terdapat sedikitnya dua versi. Versi pertama adalah sampai saat perkara diputus. Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang menyatakan, Penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Pada catatan yang diberikan pada Putusan MA Nomor: 943 K/Sip/1987, tanggal 19 September 1985, terdapat penegasan yang memperbolehkan perubahan gugatan selama persidangan. Ahli M. Yahya Harahap, S.H. kurang setuju dengan ketentuan batas jangka waktu ini, hal ini dianggap kesewenang-wenangan terhadap Tergugat.[1] Sepanjang pengalaman penulis beracara sebagai advokat, memang belum menemukan majelis hakim yang memberikan keleluasaan dalam melakukan perubahan gugatan sampai sebelum putusan dijatuhkan. Dan harap maklum, harus diakui oleh penulis, bahwa penulis pun baru mengetahui adanya yurisprudensi tertanggal 19 September 1985 di atas.

Versi kedua adalah sampai dengan hari sidang pertama. Hal ini berpedoman pada Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir. Dari segi hukum, perubahan gugatan dimaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan gugatan. Menurut M. Yahya Harahap, S.H., hal ini justru terlalu membatasi, sehingga kurang realistis.[2] Sedikit berkomentar, sepengalaman penulis dalam beracara sebagai advokat, inilah jangka waktu lazimnya diajukan perubahan gugatan, yaitu pada sidang pertama. Praktik di lapangan adalah Penggugat mengajukan perubahan gugatan kepada majelis hakim pemeriksa perkara pada sidang pertama, dan pada sidang selanjunya paper/berkas sudah diserahkan ke Majelis hakim. Dan sidang setelahnya, baru giliran para tergugat dan turut tergugat mengajukan Jawabannya masing-masing. 

M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat bahwa perubahan gugatan masih dapat dilakukan sampai agenda Replik-Duplik. Hal ini dengan alasan bahwa versi pertama terlalu memberikan keleluasaan jika perubahan gugatan masih dapat diajukan sebelum putusan dijatuhkan. Sebaliknya, versi kedua, terlalu membatasi jika perubahan gugatan hanya dapat diajukan pada saat sidang pertama. Menurut salah satu ahli dimaksud (M. Yahya Harahap, S.H.), lebih baik menerapkan tenggang waktu yang bersifat moderat, dalam arti membolehkan pengajuan perubahan gugatan tidak hanya terbatas pada sidang pertama, namun diperbolehkan sampai dengan agenda Replik-Duplik.[3]

Menurut hemat penulis sebagai advokat, pendapat terakhir ini juga kurang pas, karena dalam praktik akan berimbas pada berubahnya konstruksi tulisan, baik itu gugatan maupun jawaban, bahkan seterusnya. Tidak akan terlalu bermasalah jika perubahan gugatan dimaksud hanya sebatas salah ketik, namun apabila lebih dari itu, misalnya mengurangi tuntutan atau kesalahan pada perhitungan, maka imbasnya cukup signifikan pada konstruksi tulisan posita, bahkan petitum. Sepengalaman penulis, sudah cukup jika perubahan gugatan diajukan pada sidang pertama. Hakim akan menilai jika perubahan gugatan dimaksud cukup signifikan, maka sudah selayaknya diberikan waktu yang relatif lebih lama atau setidaknya proporsional. Sehingga ketika memasuki agenda jawaban, replik dan duplik, para pihak dan majelis hakim yang mengadili telah terbebas dari urusan perubahan gugatan ini.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 94.
2. Ibid. Hal.: 94.
3. Ibid. Hal.: 94-95.

Senin, 15 Juni 2020

Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai "3 Syarat Perubahan Gugatan", kemudian juga telah dibahas mengenai "Batas Waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan", maka Pada kesempatan ini akan membahas tentang Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding.

Pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, tidak dapat dilakukan pada tingkat banding pada instansi Pengadilan Tinggi. Akan tetapi, tanpa mengurangi prinsip tersebut, Asikin dalam Yahya Harahap berpendapat: "dimungkinkan mengajukan atau melakukan perubahan gugatan pada tingkat banding. Demikian juga halnya Pengadilan Tinggi yang berfungsi sebagai tingkat banding juga adalah peradilan yang memeriksa fakta-fakta. Oleh karena itu, perubahan gugatan dapat juga diajukan dalam tingkat banding, asal saja pihak tergugat diberi kesempatan mengemukakan pendapat dan membela diri".[1] Jika penulis cermati, maka statement di atas bertitik tolak dari anggapan bahwa Pengadilan Banding adalah juga masih memeriksa perkara yang sifatnya faktawi (judex facti), sehingga dimungkinkan diajukan perubahan gugatan sebagaimana layaknya tingkat pertama.

Pasal 344 Rv juga melarang pengajuan tuntutan baru pada tingkat banding. Hal ini dengan rincian: a). Dilarang mengajukan tuntutan baru pada Tingkat Banding, perlu dicermati di sini yang dilarang bukan merubah gugatan, tapi mengajukan tuntutan baru. Yang dimaksud dengan tuntutan baru adalah yang merubah pokok perkara. Misalnya telah disinggung terdahulu, salah satu contohnya adalah merubah pokok perkara dari gugatan wanprestasi menjadi gugatan waris. b). Boleh mengajukan tuntutan baru secara exceptional, antara lain tuntutan Uitvoerbaar Bij Voorraad. Pasal ini memungkinkan mengajukan tuntutan baru seperti uang bunga, dll., biaya kerugian dan bunga karena kerugian yang diderita, serta putusan serta merta/dijalankan terlebih dahulu.[2] Yang dimaksud dengan tuntutan exceptional di atas adalah sebenarnya merupakan tuntutan assesoir, bukan tuntutan pokok.

Menanggapi kemungkinan sebagaimana diatur dalam Pasal 344 Rv dan pendapat ahli Asikin di atas, penulis berpendapat sebagai seorang advokat praktik yang berpijak khususnya pada pengalaman beracara, akan sangat sulit mengharapkan hasil positif dari perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding. Meskipun secara normatif ternyata juga tidak dilarang, akan tetapi sepengalaman penulis, perubahan gugatan yang diajukan pada tingkat banding adalah tidak populer. Umumnya lawan akan merasa keberatan dengan adanya perubahan gugatan dimaksud, hal mana juga diatur dalam Pasal 127 Rv bahwa perubahan gugatan tidak boleh merugikan Tergugat. Di sisi lain, dalam hal perkara memakai jasa kuasa hukum, patut dipertanyakan kapasitas dan kompetensi kuasa hukum jika memang sejak awal (sejak surat gugatan didaftarkan pada pengadilan negeri) tidak cermat dan tidak mampu mengkonstruksi sebuah surat gugatan yang baik dari perkara yang telah dikuasakan kepadanya. Dengan demikian, penulis lebih sependapat dengan argumentasi hukum bahwa pada prinsipnya perubahan gugatan dilakukan pada peradilan tingkat pertama, yaitu Pengadilan Negeri, dan tidak populer dilakukan pada tingkat banding.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 101.
2. Ibid. Hal.: 102.

Selasa, 09 Juni 2020

Orientasi Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terkait dengan perubahan gugatan, pada bagian terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas salah satunya mengenai "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan", dan Pada kesempatan ini akan membahas mengenai perubahan gugatan. Hal ini berarti, artikel-artikel selanjutnya akan membahas secara lebih luas dan mendalam mengenai perubahan gugatan.

Pertanyaan pertama terkait dengan perubahan gugatan adalah: Apakah Penggugat boleh melakukan perubahan gugatan? Pertanyaan ini mengandung dua sisi kepentingan. Satu sisi, dalam kenyataan praktik, dibutuhkan perubahan gugatan agar gugatan tidak mengalami cacat formil, sehingga terhindar dari sebuah kategori gugatan yang kabur (obscuur libel). Di sisi yang lain, membolehkan perubahan gugatan berarti mendatangkan kerugian kepada Tergugat. Bahkan bisa menimbulkan proses pemeriksaan terhambat yang dapat menimbulkan kerugian pada Tergugat.[1]

Sehubungan dengan itu, jika perubahan gugatan dibenarkan, perlu dilindungi kepentingan para pihak secara seimbang dan proporsional, sehingga terbina suatu kerangka tata tertib, bahwa kebolehan penggugat melakukan perubahan gugatan pada satu sisi, tidak menimbulkan kerugian Tergugat pada sisi yang lain. Keadaan inilah yang akan dibahas terkait dengan perubahan gugatan. Hal ini akan berisi tentang ruang lingkup perubahan gugatan yang dibenarkan secara hukum.[2]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 91.
2. Ibid. Hal.: 91.

Pasal 127 Rv & Yurisprudensi Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Orientasi Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Pasal 127 Rv Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan.

HIR dan RBg sebagai peraturan perundang-undangan hukum acara Perdata di Indonesia tidak mengatur mengenai perubahan gugatan. Padahal berdasarkan kenyataan, perubahan gugatan merupakan kebutuhan dalam proses penyelesaian perkara. Meskipun HIR tidak mengatur mengenai perubahan gugatan, tidak berarti tidak diperbolehkan.[1]

Jika praktik peradilan tidak membenarkan perubahan gugatan, proses pemeriksaan tidak efektif dan tidak efisien. Untuk mengubah atau memperbaiki kesalahan pengetikan (clerical error), terpaksa Penggugat mencabut gugatan. Atau misalnya memperbaiki kesalahan perhitungan, harus mencabut gugatan, serta mengajukan gugatan baru. Beruntung bila pencabutan disetujui oleh Tergugat, Penggugat tidak akan bermasalah, lain halnya apabila tergugat tidak menyetujuinya, masalah akan menimpa Penggugat.[2]

Memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkan dengan tidak diaturnya perubahan gugatan dalam HIR dan RBg, praktik pengadilan dapat berpaling kepada Pasal 127 Rv sebagai landasan rujukan berdasarkan prinsip demi kepentingan beracara atau process doelmatigheid. Soepomo memperlihatkan dalam Landraad Purworejo pada 1937 telah menjadikan Rv tersebut sebagai pedoman penyelesaian perubahan tuntutan. Dalam putusan yang dijatuhkan pada 21 Juni 1937 menyatakan "bahwa sifat hukum acara perdata bagi landraad yang tidak formalistis itu, membolehkan perubahan tuntutan, asal saja hakim menjaga, bahwa tergugat tidak dirugikan dalam haknya untuk membela diri".[3]

Di dalam Rv sendiri, ketentuan mengenai perubahan gugatan, hanya terdiri dari satu Pasal, yaitu Pasal 127 yang berbunyi, "Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya".[4] Pada tataran praktik, selanjutnya dasar hukum mengenai perubahan gugatan didasarkan pada Pasal 127 Rv dimaksud serta tentunya Yurisprudensi terkait.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 91.
2. Ibid. Hal.: 91-92.
3. Ibid. Hal.: 92.
4. Ibid. Hal.: 92.

Sabtu, 13 Juni 2020

3 Syarat Perubahan Gugatan

(Bigstock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Batas waktu Pengajuan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Syarat Perubahan Gugatan.

Pasal 127 Rv tidak menyebut syarat formil pengajuan perubahan gugatan. Dalam praktik peradilan, ditemukan dalam Buku Pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sebagai berikut:[1]

Pengajuan Perubahan Pada sidang yang Pertama Dihadiri Tergugat, syarat yang pertama ini berarti perubahan gugatan diajukan oleh Penggugat pada sidang pertama, dan dihadiri oleh Para Pihak. Sebaliknya hal ini berarti Penggugat tidak diperkenankan mengajukan perubahan gugatan dalam hal diajukan di luar hari sidang, dan pada sidang yang tidak dihadiri oleh Tergugat.[2] Disini terlihat bahwa perubahan gugatan yang diajukan sampai Replik-Duplik ataupun sebelum Putusan sangat sulit dilaksanakan, dalam hal ini ahli M. Yahya Harahap tidak menyinggungnya pendapatnya lagi bahwa perubahan gugatan diajukan sampai batas Replik-Duplik (lihat pendapat beliau di artikel sebelumnya), namun secara eksplisit setuju diajukan pada sidang pertama.

Memberi Hak Kepada Tergugat Menanggapi, syarat ini berarti perubahan gugatan yang diajukan Penggugat tanpa mendengar pendapat Tergugat dianggap tidak sah. Serta memberi hak dan kesempatan kepada Tergugat untuk menanggapi dan membela kepentingannya.[3] Sepengalaman penulis berpraktik sebagai advokat, kesempatan ini kadang dipergunakan oleh Parat Tergugat dan Turut Tergugat dan kadang juga tidak dipergunakan, bahkan kadang kala ada Tergugat yang sampai mempermasalahkan hal-hal yang tidak substansial seperti salah ketik.

Tidak Menghambat Acara Pemeriksaan, syarat ini dikemukakan dalam catatan perkara Mahkamah Agung Nomor: 943 K/Pdt./1984. Ditegaskan bahwa kebolehan perubahan gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan perkara. Menurut ahli M. Yahya Harahap hal ini dapat disetujui, meskipun agak sulit mengkonstruksikannya dalam tataran praktik. Sebagai catatan, hal dimaksud harus diterapkan secara cermat dan kasuistik.[4] Sepengalaman penulis beracara sebagai advokat, belum pernah bersinggungan dengan aturan yang satu ini, meskipun penulis tentu saja harus menyetujui bahwa perubahan gugatan sudah selayaknya tidak menghambat pemeriksaan perkara.
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 95.
2. Ibid. Hal.: 95.
3. Ibid. Hal.: 95-96.
4. Ibid. Hal.: 96.

Rabu, 10 Juni 2020

Merubah Gugatan Adalah Hak Penggugat

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu redaksi Hukumindo.com telah membahas mengenai "Pasal 127 Rv & Yurisprudensi Sebagai Rujukan Perubahan Gugatan", serta Pada kesempatan ini akan membahas tentang Merubah Gugatan adalah Hak Penggugat.

Menurut Pasal 127 Rv, perubahan gugatan merupakan hak yang diberikan kepada Penggugat. Hal ini berarti Hakim maupun Tergugat tidak boleh menghalangi dan melarangnya. Penggugat bebas mempergunakan hak itu, asalkan berada dalam kerangka hukum yang dibenarkan. Di dalam praktik, yang tercermin dalam Yurisprudensi, perubahan gugatan tidak diatur dengan tegas sebagai hak, namun memakai istilah lain seperti 'diperbolehkan', hal dimaksud misalknya terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 934 K/Pdt/1984, tertanggal 19 September 1985, antara lain mengatakan: "Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan tuntutan selama persidangan diperbolehkan".[1]

Istilah hukum yang tepat adalah hak, hal ini berarti hukum memberi hak kepada Penggugat. Hak disini tidak hanya terbatas untuk melakukan perubahan, tetapi meliputi juga hak mengurangi tuntutan. Mempergunakan istilah diperbolehkan atau diizinkan maupun diperkenankan, memperlemah hak yang diberikan Pasal 127 Rv kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan.[2]

Perubahan gugatan diajukan, bukan dimohonkan, hal ini berarti Pasal 127 Rv menegaskan bahwa dalam melakukan perubahan gugatan: a). Penggugat berhak mengajukan perubahan dimaksud kepada majelis hakim pemeriksa perkara; b). Harus dimaknai bahwa hal ini (pengajuan) bukan meminta atau memohon izin atau perkenan untuk melakukan perubahan gugatan. Secara tersirat, implikasi dari permohonan atau permintaan izin ini akan seolah-olah hakim pemeriksa perkara dapat menolak permohonan dimaksud, sedangkan dalam hal diajukan, hakim tidak boleh mempersoalkan boleh atau tidak penggugat mengajukan perubahan pada gugatannya.[3]
____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 92-93.
2. Ibid. Hal.: 93.
3. Ibid. Hal.: 93.

Selasa, 16 Juni 2020

Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan

(Getty Images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Terdahulu platform Hukumindo.com telah membahas mengenai topik perubahan gugatan, dan pada artikel terakhir telah membahas tentang "Perubahan Gugatan Pada Tingkat Banding", dan Pada kesempatan selanjutnya adalah terkait topik 'Penggabungan Gugatan'. Sebagai bagian awal topik, maka artikel ini akan membahas perihal Pengertian dan Pengaturan Penggabungan Gugatan.

Pengertian Penggabungan Gugatan

Secara teknis, penggabungan gugatan berarti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan. Disebut juga kumulasi gugatan atau istilah dalam bahasa Belandanya adalah samenvoeging van vordering, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri sendiri. Masing-masing gugatan diajukan dalam satu surat gugatan yang terpisah serta berdiri sendiri. Akan tetapi dalam hal batas-batas tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan dalam satu surat gugatan, apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat hubungan erat atau koneksitas.[1] Sederhananya adalah penyatuan lebih dari satu gugatan, bahkan lebih, ke dalam satu gugatan.

Pengaturan Penggabungan Gugatan

Hukum positif tidak mengatur mengenai penggabungan gugatan. Baik HIR maupun RBg tidak mengaturnya. Hal yang sama juga dengan Rv, tidak diatur di dalamnya, setidaknya tidak diatur secara tegas, namun juga tidak melarangnya. Yang dilarang adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Rv, yaitu hanya terbatas pada penggabungan atau kumulasi gugatan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik. Oleh M. Yahya Harahap hal ini ditafsirkan secara a contrario dengan mengartikannya sebagai pembolehan terkait penggabungan gugatan.[2]

Meskipun HIR dan RBg maupun Rv tidak mengatur, peradilan sudah lama menerapkannya. Supomo menunjukkan salah satu putusan Raad Justisie Jakarta pada tanggal 20 Juni 1939 yang memperbolehkan penggabungan gugatan, asal antara gugatan-gugatan itu, terdapat hubungan erat (innerlijke samenhang). Pendapat yang sama ditegaskan juga dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 575 K/Pdt/1983, yang penjelasannya antara lain:[3]
  • Meskipun Pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR, namun untuk mewujudkan tercapai process doelmatigheid, dimungkinkan menerapkan lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu berpedoman pada ukuran: a). Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan; b). Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan;
  • Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas erat di antaranya. Ternyata dalam kasus ini, hal itu tidak terdapat, karena utang yang terjadi adalah utang yang masing-masing berdiri sendiri, sehingga tidak bisa dikumulasi.
__________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 102.
2. Ibid. Hal.: 103.
3. Ibid. Hal.: 103.

Minggu, 26 April 2020

Identitas Para Pihak Dalam Gugatan

(getty images)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kesempatan sebelumnya telah dibahas mengenai "Gugatan Ditandatangani" juga telah dibahas tentang "Pemberian Tanggal Gugatan", dan telah disinggung juga perihal "Kemana Gugatan Ditujukan?" sebagai bagian dari pembahasan mengenai topik "Formulasi Surat Gugatan".

Sebagai kelanjutan dari topik formulasi gugatan, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai identitas para pihak dalam sebuah surat gugatan. Penyebutan identitas dalam surat gugatan merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak menyebut identitas Tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada.[1]


Identitas yang harus disebut dalam surat gugatan bertitik tolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1) H.I.R. Identitas yang harus dicantumkan cukup memadai sebagai dasar untuk: a). Menyampaikan panggilan; b). Menyampaikan pemberitahuan.[2] Sangat sederhana, cukup dua kriteria sebagaimana disebut di atas, maka cukup memenuhi kriteria dimaksud.

Dengan demikian, tujuan utama pencantuman identitas agar dapat disampaikan panggilan dan pemberitahuan, identitas yang wajib disebut, cukup meliputi:[3]
  1. Nama Lengkap, termasuk alias atau gelar jika memang ada. Dalam hal penulisan nama perseroan, harus lengkap dan jelas, sesuai dengan akta pendirian perusahaan dan perubahannya yang tercantum secara resmi.
  2. Alamat atau Tempat Tinggal, identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat tinggal tergugat atau para pihak. Yang dimaksud dengan alamat meliputi: alamat kediaman pokok, bisa juga alamat kediaman tambahan atau tempat tinggal riil. Sedangkan bagi perseroan, dapat diambil dari NPWP, Anggaran Dasar, Izin Usaha atau Papan Nama. Perlu dipahami di sini, perubahan alamat setelah gugatan diajukan tidak mengakibatkan gugatan cacat formil, oleh karena itu tidak dapat dijadikan eksepsi atas hal dimaksud. Dan apabila alamat tergugat tidak diketahui, tidak menjadi hambatan bagi Penggugat untuk mengajukan Gugatan. Pasal 390 ayat (3) HIR telah mengantisipasi kemungkinan dimaksud dalam bentuk panggilan umum oleh Wali Kota atau Bupati.
  3. Penyebutan Identitas Lain Tidak Imperatif, adalah tidak dilarang mencantumkan identitas tergugat yang lengkap, meliputi umur, pekerjaan, agama, jenis kelamin, dan suku bangsa. Lebih lengkap tentunya lebih baik dan lebih pasti. Akan tetapi, hal itu jangan diterapkan secara sempit, yang menjadikan pencantuman identitas secara lengkap sebagai syarat formil. Karena tidak mudah mendapat identitas tergugat secara lengkap.

Guna membandingkannya pada tataran praktik, ada baiknya kita melihat contoh sebagaimana berikut:



Dari contoh di atas, pada dasarnya yang sangat penting dalam konteks identitas gugatan hanyalah nama dan tempat tinggal. Meskipun bisa dilakukan perubahan gugatan, dalam hal ini perubahan alamat, ada baiknya, alamat yang dicantumkan adalah lengkap, dimulai dari Nomor rumah, nama jalan, RT/RW, Kelurahan/Desa, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota serta Provinsi. Hal ini tentunya untuk mempermudah proses pemanggilan. Jika setelah dilakukan pemanggilan oleh Juru Sita ternyata tempat keliru, maka dalam praktik akan diminta untuk dilakukan perbaikan gugatan. 

____________________
1.“Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, M. Yahya Harahap, S.H., Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 53.
2. Ibid. Hal.: 54-56.
3. Ibid. Hal.: 54-57. 

Selasa, 14 September 2021

Strategi Mengajukan Gugatan Cerai Bagi TKI

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com telah menyajikan cukup banyak artikel mengenai hal-hal yang berkaitan dengan gugatan perceraian, misalnya: a). Gugatan Cerai di Jakarta; b). Contoh Gugatan Cerai Alasan Pertengkaran; kemudian ada artikel yang berjudul c). Contoh Gugatan Cerai Non Muslim, pada kesempatan yang berbahagia ini akan dibahas mengenai Strategi Mengajukan Gugatan Cerai Bagi TKI. Artikel ini bertujuan mencari solusi atas terbatasnya waktu seorang tenaga kerja Indonesia berada di dalam negeri (Indonesia), yang pada umumnya dikarenakan terikatnya seorang dengan perjanjian kerja di luar negeri.

1. Kehadiran Penggugat Dalam Sidang Pertama Dan Acara Mediasi Sebagai Sebuah Kewajiban

Telah dibahas sebelumnya dalam artikel yang berjudul: "Kewajiban Hadir Pada Persidangan Pertama Bagi Para Pihak Di Pengadilan Agama",  bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 82 Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, ayat (2) berbunyi: "Dalam sidang perdamaian tersebut, suami-isteri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu". Hal ini berarti setiap Penggugat maupun Tergugat secara pribadi harus hadir dalam sidang pertama atas perkara yang berkaitan dengannya. Akan tetapi, meskipun demikian, terdapat perkecualian, yaitu dalam hal salah satu pihak berdomisili di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi, dapat dikuasakan secara khusus untuk itu kepada kuasa hukumnya. 

Juga, dalam acara mediasi, sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi, khususnya Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:
  1. "Para Pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.
  2. Kehadiran Para Pihak melalui komunikasi audio visual jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dianggap sebagai kehadiran langsung.
  3. Ketidakhadiran Para Pihak secara langsung dalam proses Mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan sah.
  4. Alasan sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi antara lain: a). kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan Mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; b). Di bawah pengampuan; c). mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau d). menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan".
Diatur mengenai kewajiban Para Pihak, baik Penggugat maupun Tergugat, untuk menghadiri acara mediasi secara langsung, tanpa diwakilkan oleh kuasa hukumnya. Adapun beberapa alasan pengecualian terkait dengan pembahasan artikel ini adalah ketika gugatan diajukan berdomisili, berkedudukan, maupun bertempat tinggal di luar negeri. 

Ketika membaca dua ketentuan di atas, yaitu: a). Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; dan b). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi, kita dapat memahami bahwa terdapat pengecualian bagi seorang warga negara Indonesia yang sedang bekerja di luar negeri (TKI) untuk menyimpangi kewajiban hadir dirinya, baik dalam acara sidang pertama gugatan, maupun dalam acara Mediasi.

2. Perbedaan Kewajiban Hadir Bagi Penggugat Laki-laki dan Perempuan

Selain dua ketentuan sebagaimana telah disebutkan di atas, bagi Laki-laki juga berlaku ketentuan Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, khususnya Pasal 70 ayat (3) dan (4) yang berbunyi sebagai berikut:
  • "Setelah Penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut".
  • "Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi Kuasa Khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya".
Hal ini berarti setelah putusan berkekuatan hukum tetap, bagi seorang Laki-laki yang mengajukan permohonan talak, masih terdapat acara penjatuhan ikrar talak sebagai agenda pamungkas. Dan sebagai ketentuan peraturan perundang-undangan, menjadi kewajiban baginya untuk hadir secara langsung, jikapun dilakukan pendelegasian melalui kuasa hukum, haruslah melalui akta otentik di depan Notaris. Sedangkan bagi perempuan yang mengajukan gugatan perceraian, tidak ada kewajiban terkait agenda sebagaimana dimaksud. 

3. Menyerahkan Keperluan Pengurusan Gugatan Di Luar Kewajiban Hadir Penggugat Kepada Kuasa Hukum

Setelah membaca uraian di atas, terdapat acara dalam sebuah gugatan perceraian yang mewajibkan hadirnya Penggugat maupun Tergugat secara langsung tanpa diwakilkan kepada kuasa hukumnya. Yaitu dalam agenda sidang pertama, acara mediasi dan tambahan acara penjatuhan ikrar talak khusus untuk yang mengajukan Laki-laki. Meskipun terdapat pengecualian, dalam praktiknya sangatlah tidak mudah.

Kesulitan dalam memperoleh pengecualian bagi Para Pihak dalam agenda sidang pertama dan acara Mediasi dalam tataran praktik adalah hal-hal yang sifatnya administratif dan non teknis. Perihal domisili, berkedudukan, maupun bertempat tinggal di luar negeri khususnya dari Penggugat ini harus mendapat verifikasi dan clearance dari Kedutaan Besar (Embassy) terkait yang tentunya perlu mengeluarkan energi dan biaya. Khusus untuk acara penjatuhan ikrar talak, jika dikuasakan terlebih dahulu diwajibkan untuk menggunakan Akta Otentik di depan Notaris, tentunya hal ini perlu hadir dari Pemberi Kuasa langsung untuk datang ke Indonesia, meskipun tidak hadir di depan Majelis Hakim. Selain itu, hal-hal non teknis seperti penundaan maupun molornya waktu sidang dan proses pendukung administrasi untuk keperluan di Pengadilan menjadikan pilihan untuk mengambil prosedur 'pengecualian' ini tidak sebanding dengan apabila Penggugat atau Pemberi Kuasa hadir langsung di depan sidang Pengadilan. Oleh karena itu, Penulis yang juga selaku praktisi hukum, menyarankan kepada sidang pembaca agar senantiasa lebih condong untuk datang secara langsung ke hadapan sidang Pengadilan. Berikut adalah tips yang penulis sarankan.

4. Tips 

Setelah membaca uraian di atas, saatnya tiba untuk memberikan tips bagi anda sidang pembaca berprofesi sebagai TKI yang ingin mengajukan gugatan perceraian. 
  1. Pahami Hukum Acara, hal ini berarti anda harus mengerti bahwa terdapat aturan hukum yang mewajibkan seseorang untuk hadir secara langsung di depan sidang pengadilan ketika anda mengajukan gugatan perceraian/permohonan talak. 
  2. Persiapkan Langkah Hukum Anda, ketika anda sudah paham atas uraian dari angka 1 sampai dengan 3 di atas, persiapkan langkah hukum anda. Artinya, jika anda 'jeli' dan menyewa advokat yang kompeten, maka agenda-agenda sidang yang mewajibkan anda untuk hadir langsung di depan sidang Pengadilan akan diselenggarakan waktunya sejalan dengan waktu ketika anda berada di Indonesia, atau setidaknya jangka waktu ketika anda berada di dalam negeri semakin singkat dan menjadikannya efisien. Bahkan, sebagai salah satu tips rahasia yang penulis bagikan di sini, dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, bukan hal yang sulit apabila Surat Kuassa dan Gugatan telah didaftarkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum anda mendarat di tanah air. Hal ini tentu banyak menghemat waktu anda.
  3. Sewa Advokat, untuk mencapai target efisiensi waktu keberadaan anda di tanah air dengan tetap mematuhi ketentuan hukum acara yang berlaku, menyewa jasa advokat menjadi tidak terelakan. Tentu saja hal ini akan mempunyai konsekuensi pada biaya yang anda keluarkan, akan tetapi hal tersebut adalah sebanding dengan hasil yang akan anda peroleh. Banyak hal yang dapat advokat lakukan sebelum dan setelah anda tiba di tanah air untuk mengurus perkara anda. 
____________________
Referensi:

1. Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
2. Undang-undang Nomor: 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
3. Undang-undang Nomor: 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
4. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi.

Senin, 16 November 2020

Contoh Jawaban Gugatan Perdata

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Sebelumnya platform Hukumindo.com pada label Praktik Hukum telah membahas mengenai "Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Jakarta)", kemudian platform ini juga telah membahas "Cara Membuat Surat Gugatan Perceraian (Tangerang)", ada juga telah dibahas perihal "Tutorial Membuat Gugatan", juga telah dibahas "Tiga Larangan Hukum Acara Terkait Merubah Surat Gugatan", dan pada kesempatan ini akan dibahas perihal Contoh Jawaban Gugatan Perdata.

Tiga Teknik Menjawab Gugatan

Secara struktur tulisan, dalam sebuah jawaban atas gugatan perdata adalah anti tesis dari surat gugatan perdata. Sama juga dengan struktur tulisan dalam surat gugatan, isinya ya posita dan petitum juga. Akan tetapi perlu diperhatikan, terdapat perbedaan juga dalam sebuah struktur surat jawaban atas gugatan perdata, terutama adalah dalam surat jawaban atas gugatan perdata dimungkinkan bagi Tergugat atau Turut Tergugat untuk mengajukan tangkisan atau eksepsi dalam surat Jawabannya, serta dimungkinkan juga untuk mengajukan gugatan balik atau rekonvensi. Soal panjang atau pendeknya surat jawaban adalah relatif, sangat tergantung dari gugatan yang akan dijawab serta materi yang menjadi persoalan dalam sebuah perkara.

Dalam membuat surat jawaban gugatan perdata, berikut akan penulis uraikan berdasarkan pengalaman penulis sebagai advokat praktik. Cara ini adalah hasil pengalaman penulis selama berkecimpung dalam profesi advokat. Tentu saja pengalaman penulis ini bisa dibandingkan dengan literatur yang ada, ataupun pengalaman-pengalaman lain dari sidang pembaca yang budiman. Penulis telah turut merasakan bahwa pengalaman ("jam praktik") adalah guru terbaik yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Pertama, adalah teknik membuat jawaban dengan menjawab hal-hal pokok dari gugatan lawan. Biasanya teknik ini digunakan oleh pemula yang tingkat ketelitiannya perlu ditingkatkan, atau oleh orang yang awam hukum namun memaksa untuk berpraktik karena dirundung keadaan tertentu seperti keterpaksaan karena kondisi ekonomi. Keunggulan teknik ini menurut penulis tidak ada, karena jawaban akan rentan mempunyai celah. Kelemahannya adalah akan terlalu banyak celah yang mungkin tercipta.

Kedua, adalah teknik membuat jawaban dengan mengetik kembali point gugatan lawan dan menjawabnya satu persatu tanpa ada yang terlewatkan. Teknik ini biasanya digunakan oleh orang-orang yang sangat teliti dan tidak mau melewatkan satu point pun dari Gugatan lawannya. Teknik ini seringkali dengan cara menulis kembali point gugatan lawannya, dan jawaban atas gugatan lawannya ada persis di bawahnya, dalam kasus tertentu jawaban ini agak menjorok ke samping dengan membentuk paragraf tersendiri. Keunggulan teknik ini adalah ketelitian yang maksimal. Adapun kelemahannya adalah kadang kala terjadi pengulangan atas jawaban yang telah diutarakan sebelumnya diutarakan kembali setelahnya.

Ketiga, adalah teknik membuat jawaban dengan merujuk pada point-point gugatan lawan dan memberikan jawaban. Teknik ini memungkinkan menjawab gugatan lawan dengan efisiensi dan efektifitas yang lebih baik dari teknik kedua. Contoh riil-nya adalah dengan cara merujuk pada gugatan lawan pada angka tertentu dan paragraf tertentu kemudian memberikan jawabannya. Meskipun demikian, selama penulis menggunakan teknik ini terdapat kelemahannya juga karena kadang kala terdapat acuan gugatan lawan yang tidak memakai angka dan skema penulisan yang rapih, selain itu bagi sebagian yang lain dikarenakan jawaban kita merujuk pada kode tulisan gugatan lawan yang tertentu (misalnya paragraf 1 dan seterusnya), menjadikan tugas membaca jawaban haruslah disandingkan juga pada dokumen sidang yang lain (Gugatan lawan), kadang dokumen setiap sidang telah tercecer atau tidak build in sehingga cukup merepotkan.

Bagaimana sidang pembaca, teknik mana yang akan anda gunakan?

Contoh Surat Jawaban Gugatan Perdata

Contoh-contoh surat jawaban gugatan perdata cukup banyak di literatur berupa buku maupun artikel-artikel di dunia maya, bahkan dokumen-dokumen yang dapat diunduh dari beragam situs internet. Jika kita menggunakan mesin pencari google, ia mempunyai algoritmanya tersendiri dalam memilih sumber-sumber yang relevan, namun sidang pembaca yang budiman dapat memilih sesuai relevansi dan kebutuhannya masing-masing. Di bawah ini penulis pilihkan salah satu contoh yang cukup baik sebagai berikut:[1]


Jawaban Tergugat  IV

Kepada Yth.:
Ibu Ketua Majelis Hakim Perkara
Perdata No.14/Pdt.G/2010/PN. SGT.
Di –
   Pengadilan Negeri Sengeti 


Dengan hormat,

Yang bertanda tangan di bawah ini: ANDI GUNAWAN, S.H., Advokat/Penasehat Hukum pada Kantor Lembaga Bantuan Hukum dan Keadilan (LBHK) beralamat di Jl. Ir. H. Juanda, Lr. Anda No. 22 RT: 25 RW: 08, Simpang III Sipin, Kota Jambi. Kode Pos 36126, Telp. 0741-61452.

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama mewakili kepentingan Pemberi Kuasa dari ST. ZAHAR AZIZ  selaku Tergugat IV berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 20 Desember 2010.

Dengan ini perkenankanlah Kami selaku Kuasa Hukum dari Tergugat IV mengajukan Jawaban dan gugatan Rekonvensi atas Gugatan  Para Penggugat tertanggal 9 Desember 2010, sebagai berikut:


DALAM EKSEPSI

1. Bahwa Tergugat  IV menolak seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh Para Penggugat, kecuali yang diakui dan dinyatakan secara tegas dalam Jawaban ini;

2. Bahwa dalil Gugatan Para penggugat mengalami kurang pihak, dimana dalam gugatan para Penggugat tidak mengikut sertakan Ahli Waris dari Alm. H. Usman Hamid Cs. selaku Pemilik asal hak atas tanah Sertifikat Hak Milik No.: 309 Tahun 1990 dan juga tidak mengikut sertakan Camat Jambi Luar Kota selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah, karena Tergugat IV didalam memperoleh sebidang tanah berdasarkan sertifikat Hak Milik No.: 309 Tahun 1990 berdasarkan Akta Jual Beli No.: 351/JLK/1990 tertanggal 22 Juni 1990 yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Dengan tidak diikut sertakan pihak-pihak tersebut, secara hukum gugatan yang diajukan Para Penggugat mengalami kurang pihak.

3. Bahwa dalil gugatan Para Penggugat mengalami kekaburan (obscuur libel), hal mana terlihat dari:
a. Bahwa apa yang diuraikan dalam dalil gugatan Para Penggugat tentanng Letak objek  tanah yang disengketakan adalah tidak jelas dan terang, karena tidak menyebutkan secara tegas dimana lokasi yang sebenarnya objek tanah  sengketa tersebut berada. Sedangkan tanah milik Tergugat IV dahulunya terletak di RT. 15 Kelurahan Pal Merah, Kec. Jambi Selatan , kemudian terjadi perubahan wilayah termasuk kedalam Wilayah Desa Kebun IX Kec. Mestong Kabupaten Muaro Jambi, dan sekarang telah berubah lagi dan termasuk kedalam wilayah RT. 05  Desa Mekar Jaya Kec. Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi;

b. Bahwa Para Penggugat telah  keliru didalam menguraikan status kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki oleh Tergugat IV, karena Tergugat IV tidak lagi memiliki Hak Atas Tanah berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 309 Tahun 1990, melainkan memiliki hak atas berdasarkan Sertifikat Hak Milik Nomor 3216  Tahun 2008  seluas ± 12.918 M2 dan Nomor 3217 Tahun 2008 seluas ± 8017 M2 di atas tanah objek yang disengketakan , begitu pula batas – batas yang dimiliki oleh Tergugat IV tidak sesuai apa yang diuraikan dalam dalil gugatan penggugat;

4. Bahwa kedudukan hukum Para Penggugat selaku  pihak dalam hal mengajukan gugatan terhadap  Tergugat IV adalah tidak sah dan tidak mempunyai dasar hukum sama sekali, hal mana dikarenakan objek tanah yang dimiliki oleh Tergugat IV berdasarkan Sertifikat Hak Milik No.: 3216 Tahun 2008 dan No.: 3217 Tahun 2008 diperoleh dari Alm. H Usman Abdul Hamid Cs. berdasarkan sertifikat 309 Tahun 1990, tanah mana termasuk dalam objek perkara dalam Perkara Perdata No.: 05/Pdt.G/1990/PN.M.BLN. Jo. No.: 16/Pdt/1993/ PT.JBI Jo. No.: 840 K/Pdt./1994  yang telah diajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara No.: 191 PK/Pdt./1999 terhadap perkara mana dimenangkan oleh Alm. H. Usman Abdul Hamid Cs. Dan perkara tersebut telah mempunyai kekuatan hukum Pasti. Untuk itu sudah sepatutnya secara hukum Gugatan Para Penggugat  ditolak atau tidak dapat diterima;

5. Bahwa bila dilihat dari Posita gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat tidak sesuai apa yang menjadi posita gugatannya, kerena tidak ada relevansi sama sekali dengan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat IV. Dimana dalam uraian Posita tidak terlihat sama sekali adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh  Tergugat  IV. Dan justru apa yang telah dilakukan oleh Tergugat IV dalam hal memiliki tanah tersebut  telah sesuai dengan prosedur dan aturan hukum yang berlaku. Dengan tidak menggambarkan secara jelas bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat IV. Maka sudah sepatutnya secara hukum gugatan Para Penggugat dapat ditolak atau tidak dapat diterima;

Selanjutnya mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk dapat memutus dalam putusan dengan Amar sebagai berikut:

– Menerima Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

– Menyatakan  Gugatan Penggugat dapat ditolak atau tidak dapat diterima;

– Menghukum  Para  Penggugat  untuk membayar semua biaya yang timbul akibat perkara ini.


DALAM KONVENSI

1. Bahwa apa yang telah dikemukakan dalam Eksepsi juga dimasukkan dalam Konvensi ini, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan;

2. Bahwa pada prinsipnya Tergugat  IV menyangkal dan  menolak dalil-dalil Gugatan yang diajukan Penggugat, kecuali yang diakui secara tegas dalam Jawaban ini;

3. Bahwa apa yang dikemukakan Para Penggugat pada point 2 dalil gugatanya, pada dasarnya Tergugat IV tidak pernah mengetahui tentang adanya Sertifikat Hak Milik No.: 751 Tahun 1981 atas nama Junaidi Milik Para Tergugat. Karena Tergugat didalam memperoleh atau memiliki tanah objek yang disengketakan diperoleh dari Alm. H. Usman Abdul Hamid Cs. Yang telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik No. 309 Tahun 1990 seluas ± 37.595 M2 atas nama Alm. H. Usman Abdul Hamid Cs. didasarkan kepada Akta Jual Beli No.: 351/JLK/1990 tertanggal 22 Juni 1990 yang dikeluarkan oleh Camat Jambi Luar Kota selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Selama dalam proses balik nama dan  pengukuran tanah dilapangan atas sertifikat Hak Milik No.: 309 Tahun 1990 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Batang Hari tidak ada pihak-pihak yang menyanggah ataupun keberatan atas terbitnya Sertifikat  Hak Milik No. 309 Tahun 1990 Milik Alm. Usman Abdul Hamid Cs. pada saat itu. Disamping itu juga terhadap tanah yang dimiliki Alm. H. Usman Abdul Hamid Cs. berdasarkan Sertifikat Hak milik 309 Tahun 1990 adalah merupakan salah satu sebagaian tanah miliknya yang telah dikuasainya terlebih dahulu yang telah diterbitkan sertifikat  dari Lahan miliknya seluas ± 80 Ha. (delapan puluh Hektar) yang diikut sertakan dalam mempertahankan tanah miliknya, dengan mengajukan gugatan Pekara Perdata No.: 05/Pdt.G/1990/PN.M.BLN di Pengadilan Negeri Bulian, yang telah dilakukan upaya Hukum Banding Perkara No.:16/Pdt./1993/ PT. JBI, Kasasi No.: 840 K/Pdt./1994 dan Peninjauan Kembali (PK) No.: 191 PK/Pdt./1999. perkara tersebut semuanya dimenangkan oleh Alm. H. Abdul Hamid Cs. dan telah mempunyai kekuatan hukum pasti. Atas dasar mana secara hukum terlihat keberadaan sertifikat Hak Milik No.: 751 Tahun 1981 milik Para Penggugat bukan berada diatas tanah Milik Tergugat IV. Untuk itu sudah sepatutnya secara hukum gugatan Penggugat dapat ditolak;

4. Bahwa apa yang didalilkan  oleh Para Penggugat pada point 3 adalah tidak berdasar dan beralasan hukum sama sekali, hal mana dikarenakan keberadaan Sertifikat Hak Milik  No.: 751 Tahun 1981 milik Para Tergugat  patut dipertanyakan keabsahannya? Apakah memang benar dikeluarkan oleh instansi terkait, karena bila dilihat secara hukum dasar sertifikat No.: 751 Tahun 1981 didasarkan kepada Gambar Tanah yang bukan dibuat oleh instansi terkait dan juga dasar perolehan haknya tidak jelas. Disamping itu juga letak objek tanahnya tidak dijelas dan terang dimana letak posisi tanah yang sebenarnya,  Para Penggugagat dalam  hal menempatkan lokasi tanahnya hanya didasarkan hasil dari apa yang dilakukan oleh Saudara Chandra Kirana dan  masyarakat menggunakan RT. 33 Kelurahan Lingkar selatan Kec. Jambi Selatan. Hal mana sangat berbeda dengan status lokasi kepemilikan tanah Hak milik Tergugat IV. secara hukum jelas berdasarkan Putusan Pengadilan dalam perkara No.: 05/Pdt.G/1990/PN.M.BLN yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti, objek tanah yang disengketakan dahulunya termasuk dalam wilayah RT.15 Kel. Pal Merah Kec. Jambi Selatan, kemudian terjadi perubahan sehingga masuk kedalam wilayah  Desa Kebun IX Kec. Mestong Kabupaten Muaro Jambi, dan sekarang telah berubah lagi menjadi RT.05 Desa Mekar Jaya, Kec. Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi. Berdasarkan fakta hukum tersebut, jelas terlihat keberadaan sertifikat No.751 Tahun 1981 tidak tumpang tindih dan tidak berada di atas tanah milik Tergugat IV yang telah diterbitkan sertifikat Hak Milik No.: 3216 dan 3217. Oleh karenanya cukup beralasan hukum gugatan Para Penggugat Patut untuk ditolak;

5. Bahwa pada point 4 dan 5 dalil gugatan Para Penggugat adalah  tidak benar dan beralasan hukum sama sekali. Karena tanah objek sengketa dahulunya adalah kebun karet milik Alm. Usman Abdul Hamid Cs. yang sebahagian tanahnya telah diterbitkan sertifikat termasuk salah satu sertifikat 309 Tahun 1990 yang kemudian dijual kepada Tergugat IV. Pada waktu itu tidak ada sama sekali alm. Junaidi maupun Para Penggugat  mengakui itu tanah miliknya. Dan baru pada bulan Maret 2002 Alm. Junaidi telah melakukan pengrusakan di Tanah Milik Tergugat IV, perbuatan Alm. Junaidi tersebut dilaporkan kekepolisian dan disidangkan di Pengadilan Negeri Muara Bulian dalam Perkara Pidana No.: 123/Pid.B/2003/PN. MBLN, sejak kejadian itu Alm. Junaidi sampai meninggal dunia tidak berani lagi mengganggu Tanah Milik Tergugat IV, dan ternyata kemudian pada bulan Januari 2007 telah didoser lagi oleh Saudara Kim Lay (Edi Gunawan), atas perbuatan tersebut Tergugat IV Menemui Saudara Kim Lay memberitahukan untuk menghentikan segala kegiatan diatas tanah tersebut. Hal mana tidak ditanggapi oleh Sdr. Kim Lay dan menyatakan dia sudah beli tanah tersebut dari Penggugat Imar binti Abdulah (Istri Alm. Junaidi). Atas kejadian mana Tergugat IV membuat laporan Pengaduan di Kepolisian di Polres Murao Jambi dengan No.: Pol. LP/B-02/I/2009/SPK tertanggal 7 Januari 2009, Proses perkara mana sudah  P.21 untuk dilimpahkan Kejaksaan, ternyata belum dapat dilimpahkan terhalang karena Sdr. Kim Lay (Edi Gunawan) tidak mau menyerahkan  Sertifikat Asli No.: 751 Tahun 1981 untuk disita sebagai barang bukti, hingga sampai saat sekarang Sdr. Kim Lay sulit untuk ditemui, jadi adalah tidak benar kalau Para Penggugat telah mengelola tanah tersebut dan membangun rumah dan pagar. Namun entah kenapa akhirnya Para Penggugat mengajukan Gugatan Perkara  Perdata ini. Secara hukum Tergugat IV masih tetap menguasai tanah miliknya  berdasarkan sertifikat Hak Milik No.: 3216 dan 3217 Tahun 2008.

6. Bahwa dalil gugatan Para Penggugat Pada Poin 6, 7 dan 8 terlalu dini mengatakan Sertifikatnya tumpang tindih dengan sertifikat milik Tergugat IV. Pada prinsipnya Tergugat IV tidak pernah mengakui keberadaan adanya sertifikat hak Milik No.: 751 Tahun 1981 milik Para Penggugat tersebut. karena berdasarkan hasil pemeriksaan dikepolisian dan juga berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pihak Tergugat VI (BPN Muaro Jambi) sebagaimana surat Kepala Kantor Pertanahan. Kabupaten Muaro Jambi Tertanggal 26 Agustus 2009 dan tertanggal 17 Nopember 2009 yang menjelaskan hasilnya sebagai berikut:

Data Lapangan (Objek) SHM No.: 751.

–  Bahwa SHM No.: 751/Pal Merah tanggal 03-12-1981 berikut pecahannya belum tergambar/belum terploting pada peta pendaftaran yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten Muaro Jambi.

–  Pemegang sertifikat SHM No.: 751 (Pal Merah) menunjuk lokasi di Desa Kebun Sembilan yang telah mempunyai sertifikat SHM No.: 309.

– Terhadap sertifikat SHM No.: 309 telah mempunyai kekuatan hukum (Azas Delimitasi Kontradiktur) yang dapat ditunjukan kebenarannya di lapangan.

–  Data pendukung SHM No.: 309 :

a.  Surat Tugas Pengukuran Nomor : 127/SP-P/2007 tanggal 26 Januari 2007.

b. Peta hasil Rekontruksi Pengukuran SHM No.: 309 Desa Kebun  Sembilan atas nama Zakar Aziz.

c. Surat Keterangan Pendaftaran tanah (SKPT) No.: 1005/SKPT/2001 tanggal 6 November 2001.

Berdasarkan fakta tersebut, jelas terlihat keberadaan Sertifikat SHM No.: 751 Tahun 1981 berikut pecahannya tidak tergambar dan terdaftar pada Kantor Petanahan Kabupaten Muaro Jambi. Dengan demikian secara hukum keberadaan sertifikat SHM No.: 751 Tahun 1981 berikut Pecahanya tidak tumpang tindih dengan SHM No.: 309 Tahun 1990  milik Tergugat IV. Oleh karenanya sudah sepatutnya secara hukum  gugatan Para Penggugat patut untuk ditolak;

7. Bahwa tidak beralasan hukum bagi Para Penggugat untuk meminta diletakkan Sita Jaminan atas tanah objek yang disengketakan. Karena tanah objek yang disengketakan adalah bukan Hak milik para Penggugat, melainkan milik Tegugat IV berdasarkan bukti kepemilkan Hak atas tanah sertifikat No.: 3216 dan 3217 Tahun 2008. untuk itu sudah sepatutnya secara hukum permohonan sita mana patut untuk ditolak;

8. Bahwa  untuk  dalil-dalil gugatan yang selebihnya yang tidak ditanggapi, pada prinsipnya Tergugat IV tetap menolaknya;

9. Bahwa oleh karena dalil-dalil gugatan Para Penggugat  tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat, maka sangatlah patut dan beralasan hukum untuk menolak atau tidak dapat diterima Gugatan yang diajukan oleh Para Penggugat;


DALAM REKONVENSI

1. Bahwa apa yang telah dikemukakan dalam Konvensi juga dimasukkan dalam Rekonvensi ini, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan;
2. Bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi ada memiliki 2 bidang tanah berdasarkan seretifikat Hak Milik No.: 3216 Tahun 2008 seluas ± 12.918 M2 dan No.: 3217 tahun 2008 seluas ± 8017 M2  yang berlokasi di RT.05 Desa Mekar Jaya  Kec. Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi dengan batas-batas sebagai berikut:

Sertifikat Hak milik No.: 3216 Tahun 2008 dengan batas-batas sebagai berikut:
a.   Utara berbatasan dengan         :       St. Zaher Aziz.
b.   Selatan berbatasan dengan      :        St. Zaher Aziz.
c.   Barat berbatasan dengan         :        Alm. Usman Abdul Hamid.
d.   Timur berbatasan dengan        :        Jln. Lingkar selatan.

Sertifikat Hak Milik No.: 3217 Tahun 2008 dengan batas-batas sebagai berikut:
a.   Utara berbatasan dengan        :       St. Zaher Aziz.
b.  Selatan berbatasan dengan      :        Hendrik JK.
c.  Barat berbatasan dengan         :        Alm. Usman Abdul Hamid.
d.  Timur berbatasan dengan        :        Jln. Lingkar Selatan.

3. Bahwa Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi memperoleh hak atas tanah tersebut berdasarkan jual-beli dengan Almarhum  H. Usman Abdul Hamid Cs. yang telah memiliki sertifikat hak milik Milik No.: 309 Tahun 1990 proses jual beli mana berdasarkan Akta Jual Beli No.: 351/JLK/1990 tertanggal 22 Juni 1990, yang dilakukan dihadapan Camat Jambi Luar Kota selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah, terhadap jual-beli mana telah dilakukan proses balik nama. Adapun tanah milik Almarhum H. Usman Abdul Hamid Cs yang telah diterbitkan sertifikat No.: 309 Tahun 1990 adalah merupakan tanah objek perkara dalam Pekara Perdata No.: 05/Pdt.G/1990/PN.M.BLN di Pengadilan Negeri Bulian, yang telah dilakukan upaya Hukum Banding Perkara No.:16/Pdt/1993/PT.JBI, Kasasi No.: 840 K/Pdt./1994 dan Peninjauan Kembali (PK) No.: 191 PK/ Pdt./1999. Tanah tersebut adalah  merupakan salah satu sebagian tanah yang dikuasainya terlebih dahulu yang telah diterbitkan sertifikat yang diikut sertakan dalam gugatan perkara tersebut. adapun hasil keputusan perkara tersebut semuanya dimenangkan oleh Alm. H. Abdul Hamid Cs. dan telah mempunyai kekuatan hukum pasti;

4. Bahwa sejak pembelian  dari tahun 1990 Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi IV telah mengurus dan mengelola tanah tersebut serta melakukan pemagaran dengan kawat berduri dan menempatkan seorang penjaga kebun. Pada saat itu  tidak pernah ada gangguan dari siapapun juga.  Dan baru pada bulan Maret 2002 Alm. Junaidi  (Suami Imar Tergugat Rekonvensi) telah melakukan pengerusakan di Tanah Milik Penggugat Rekonvensi, perbuatan Alm. Junaidi tersebut dilaporkan kekepolisian dan disidangkan di Pengadilan Negeri Muara Bulian dalam Perkara Pidana No.: 123/Pid. B/2003/PN. MBLN, sejak kejadian itu Alm. Junaidi sampai meninggal dunia tidak berani lagi mengganggu Tanah Milik Penggugat Rekonvensi. Selama tidak ada gangguan lagi diatas tanah tersebut, Penggugat Rekonvensi talah melakukan  jual-beli atas tanah sertifikat No.: 309 Tahun 1990 sehingga terjadi pemecahan sertifikat No.: 309 Tahun 1990  menjadi 3 (tiga) bidang tanah yang masing-masing bersertifikat Hak Milik Nomor: 3215, 3216, 3217, Tahun 2008;

5. Bahwa baru kemudian pada bulan Januari 2007 tanah milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi  di ratakan dengan mengunakan alat berat  Doser  oleh Saudara Kim Lay (Edi Gunawan), atas perbuatan tersebut Tergugat IV Menemui Saudara Kim Lay dan memberitahukan untuk menghentikan segala kegiatan di atas tanah tersebut. Pemberitahuan dan peringatan mana tidak ditanggapi oleh Sdr. Kim Lay dan menyatakan dia sudah beli tanah tersebut dari Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi Imar binti Abdulah (Istri Alm. Junaidi), atas kejadian mana Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi  membuat laporan Pengaduan di Kepolisian di Polres Murao Jambi dengan No.: Pol. LP/B-02/I/2009/SPK tertanggal 7 Januari 2009, Proses perkara mana sudah P.21 untuk dilimpahkan Kejaksaan, ternyata belum dapat dilimpahkan  terhalang karena Sdr. Kim Lay (Edi Gunawan) tidak mau menyerahkan Sertifikat Asli No.: 751 Tahun 1981 untuk disita sebagai barang bukti, hingga sampai saat sekarang Sdr. Kim Lay sulit untuk ditemui;

6. Bahwa terhadap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Para Tergugat Rekonvensi/Para Penggugat Konvensi yang telah menjual dan atau menyuruh orang lain menguasai tanah milik Penggugat Rekonvensi yang termasuk sebagian dalam Sertifikat Hak Milik No.: 3216 seluas ± 5000 M2  dan seluruhnya yang termasuk dalam sertifikat Hak Milik No.: 3217 seluas ± 8017 M2, dengan cara mendirikan Rumah dan membangun pagar beton yang didasarkan kepada Sertifikat Hak Milik No.: 751 Tahun 1981 atas nama Alm. Junaidi  adalah merupakan perbuatan melawan hukum. Karena secara hukum keberadaan sertifikat No.: 751 Tahun 1981 tidak berada diatas tanah milik Penggugat Rekonvensi dan tidak tumpah tindih dengan penerbitan Sertifikat  Hak Milik No.: 3216 dan 3217 Tahun 2008 Milik Penggugat Rekonvensi/ Tergugat IV Konvensi;

7. Bahwa berdasarkan Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian Polres Muaro Jambi berdasarkan Laporan Polisi No.: LP/B-02/I/2009/SPK tertanggal 7 Januari 2009, serta berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pihak Tergugat VI (BPN Muaro Jambi) sebagaimana surat Kepala Kantor Pertanahan. Kabupaten Muaro Jambi Tertanggal 26 Agustus 2009 dan tertanggal 17 Nopember 2009 perihal  penemuan Lokasi Administrasi SHM No.: 751 Tahun 1981 yang menjelaskan hasilnya sebagai berikut:

Data Lapangan ( Objek ) SHM No.: 751.

– Bahwa SHM No.: 751/Pal Merah tanggal 03-12-1981 berikut pecahannya belum tergambar/belum terploting pada peta pendaftaran yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten Muaro Jambi.
– Pemegang sertifikat SHM No.: 751 (Pal Merah) menunjuk lokasi di Desa Kebun Sembilan yang telah mempunyai sertifikat SHM No.: 309.
– Terhadap sertifikat SHM No.: 309 telah mempunyai kekuatan hukum (Azas Delimitasi Kontradiktur) yang dapat ditunjukan kebenarannya dilapangan.
– Data pendukung SHM No.: 309:
a. Surat Tugas Pengukurab No.: 127/SP-P/2007 tanggal 26 Januari 2007.
b. Peta hasil Rekontruksi Pengukuran SHM No.: 309 Desa Kebun  Sembilan atas nama Zakar Aziz.
c. Surat Keterangan Pendaftaran tanah (SKPT) No.: 1005/SKPT/2001 tanggal 6 Nopember 2001.

Berdasarkan fakta tersebut, jelas terlihat keberadaan Sertifikat SHM No.: 751 Tahun 1981 berikut pecahannya tidak tergambar dan terdaftar pada Kantor Petanahan Kabupaten Muaro Jambi. Dengan demikian secara hukum keberadaan sertifikat SHM No.: 751 Tahun 1981 berikut dengan Pecahanya SHM No.: 752 Tahun 1981, SHM No.: 899 Tahun 1982 dan SHM No.: 901 Tahun 1982, tidak tumpang tindih dengan SHM No.: 309 Tahun 1990 yang sekarang telah dipecah menjadi SHM No.: 3215, 3216 dan 3217 Tahun 2002 milik Tergugat IV. Oleh karenanya sudah sepatutnya secara hukum Sertifikat Hak Milik No.: 751 Tahun 1981 atas nama Junaidi Milik Para Tergugat Rekonvensi tidak mempunyai kekuatan hukum;

8. Bahwa oleh karena dasar kepemilikan sertifikat Hak Milik Para Tergugat Rekonvensi SHM. No.: 751 Tahun 1981 tidak tergambar dan terdaftar di Kantor Badan Petanahan Muaro Jambi (Tergugat VI Konvensi), maka terhadap tindakan dan perbuatan Para Tergugat Rekonvensi yang telah menjual dan menyuruh mengusai tanah milik Penggugat Rekonvensi tidak berdasar sama sekali. Oleh karena itu sudah sepatut secara hukum dapat dinyatakan atau diperintahkan kepada Para Tergugat Rekonvensi dan atau orang lain yang perolehannya dari Para Tergugat Rekonvensi untuk segera mengosongkan dan membongkar bangunan rumah dan pagar yang ada diatas tanah Milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi  berdasarkan sertifikat Hak milik No.: 3216 dan 3217 Tahun 2008 untuk diserahkan kepada Penggugat Rekonvensi secara sukarela tanpa suatu beban apapun juga;

9. Bahwa untuk menjamin agar gugatan Penggugat Rekonvensi tidak sia-sia dikemudian hari, yang dikhawatirkan akan dialihkan atau dipindah tangan kepada orang lain, maka sudah sepatutnya secara hukum dimohonkan kepada Ibu/Bapak Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini dapat meletakkan sita jaminan (Conservatoir Beslag) atas tanah objek yang disengketakan:                      

10. Bahwa untuk supaya Para Tergugat Rekonvensi tidak ingkar di dalam melaksanakan isi putusan ini, maka sudah sepatutnya apabila Tergugat lalai di dalam menjalankan isi putusan ini, dapat dihukum membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu juta Rupiah) setiap harinya.

11. Bahwa oleh karena Gugatan Rekonvensi yang diajukan oleh Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi didukung bukti-bukti dan dasar hukum yang jelas, maka sudah sepatutnya putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu (uit voorbaar bij vooraad) walaupun ada verzet, banding dan kasasi.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan Tergugat IV Konvensi serta gugatan Penggugat Rekonvensi  di atas,  selanjutnya  mohon kepada Ibu/Bapak Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini, berkenan memutus perkara dengan amar sebagai berikut:


DALAM KONVENSI:

– Menyatakan  menolak Gugatan Para Penggugat seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan Gugatan tidak dapat diterima;
– Menghukum Para Penggugat untuk membayar segala biaya yang ditimbulkan dalam Perkara ini;

DALAM REKONVENSI:

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi Penggugat Rekonvensi/Terguigat IV Konvensi  seluruhnya;
2. Menyatakan Pengugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi selaku pemilik yang sah  atas 2 (dua) bidang berdasarkan sertifikat Hak milik yaitu :

Sertifikat Hak milik No.: 3216 Tahun 2008  seluas ± 12918 M2 dengan batas-batas sebagai berikut:
a.   Utara berbatasan dengan       :  St. Zaher Aziz.
b.   Selatan berbatasan dengan    :  St. Zaher Aziz.
c.   Barat berbatasan dengan       :  Alm. Usman Abdul Hamid.
d.   Timur berbatasan dengan      :  Jln. Lingkar selatan.

Sertifikat Hak Milik No.: 3217 Tahun 2008 seluas ± 8017 M2  dengan batas-batas sebagai berikut:
a.   Utara berbatasan dengan       :   St. Zaher Aziz.
b.   Selatan berbatasan dengan    :   Hendrik JK.
c.   Barat berbatasan dengan       :    Alm. Usman Abdul Hamid.
d.   Timur berbatasan dengan      :   Jln. Lingkar Selatan.

3. Menyatakan Sertifikat Hak Milik No.: 3216 Tahun 2008  dan No.: 3217 Tahun 2008 milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat IV Konvensi adalah sah dan berkekuatan hukum;

4. Menyatakan terhadap objek tanah sengketa berdasarkan sertifikat Hak Milik No.: 309 Tahun 1990 atas nama St. Zaher Aziz seluas ± 37.595 M2 berikut pemecahannya No.: 3215, 3216 dan 3217 Tahun 2008 atas nama St. Zaher Aziz adalah merupakan tanah Hak Milik Alm. H. Usman Hamid Cs. yang termasuk dalam objek Perkara dalam Perkara Perdata No.: 05/Pdt.G/1990/PN.M.BLN di Pengadilan Negeri Bulian, yang telah dilakukan upaya Hukum Banding Perkara No.: 16/Pdt/1993/PT.JBI, Kasasi  No.: 840 K/Pdt./1994 dan Peninjauan Kembali (PK) No.: 191 PK/Pdt./1999, yang telah mempunyai kekuatan Hukum Pasti;

5. Menyatakan terhadap perbuatan Para Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi yang telah menguasai tanah tanah milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi IV didasarkan kepada Sertifikat Hak Milik No. 751 Tahun 1981 adalah tidak benar dan merupakan perbuatan perbuatan melawan hukum;

6. Menyatakan Sertifikat hak Milik No.: 751 Tahun 1981 atas nama Junaidi milik Para Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi berikut dengan pemecahanya SHM. No.: 752 Tahun 1981, SHM. No.: 899 Tahun 1982 dan SHM. No.: 901 Tahun 1982 tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak tumpang tindih dengan keberadaan Sertifikat Hak Milik No.: 309 Tahun 1990 yang sekarang telah dipecah menjadi Sertifikat Hak Milik No.: 3216 Tahun 2008 dan No.: 3217 Tahun 2008 milik Penggugat Rekonvensi;

7. Menghukum Para Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi  dan siapapun yang mendapat hak dari padanya, untuk segera mengosong/meninggalkan serta membongkar bangunan rumah dan pagar yang berada diatas tanah objek sengketa;

8. Memerintahkan kepada Para Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi dan siapapun yang mendapat hak dari padanya atas tanah objek perkara yang dikuasainya,  termasuk sebagian tanah objek perkara ke dalam Sertifikat Hak Milik No.: 3216 seluas ± 5000 M2  dan seluruh objek tanah perkara yang termasuk dalam sertifikat Hak Milik No.: 3217 seluas ± 8017 M2, yang berlokasi di Desa Mekar Jaya Rt.05 Kec. Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi. Untuk diserahkan kepada Penggugat Rekonvensi tanpa suatu beban apapun juga;

9. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan atas tanah objek yang disengketakan;

10. Menyatakan Putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum Banding dan Kasasi;

11. Menghukum Para Tergugat Rekonvensi untuk membayar uang paksa (Dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) setiap harinya apabila lalai dalam melaksanakan isi Putusan ini;

12. Menghukum Para Tergugat Rekonvensi untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini;
      
Sekiranya Ibu/Bapak Majelis Hakim dalam perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Demikianlan Jawaban dan Gugatan Rekonvensi ini disampaikan, atas perhatian dan perkenannya diucapkan terima kasih.


Jambi,  23 Pebruari   2011

Hormat Kami,

Kuasa Hukum Tergugat IV Konvensi/Penggugat Rekonvensi.


Ttd.

A G, S.H.
_________________
Referensi:

1. "Jawaban Tergugat IV/ST. Zaher Azis", Kantor Hukum Helmi Dan Rekan, 20 Oktober 2011, Diakses pada tanggal 15 November 2020, https://helmilaw.wordpress.com/2011/10/20/jawaban-tergugat-ivst-zaher-azis/

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...