Rabu, 15 Mei 2019

Hukum Dan Kaidah-kaidah Etika Lainnya

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Pada kuliah sebelumnya yang berjudul: “Hukum Sebagai Kaidah dan Kebiasaan” telah kita selesaikan, kemudian kita akan beranjak untuk memahami kaidah hukum dalam posisinya sebagai salah satu kaidah dalam etika dan hubungannya dengan kaidah-kaidah lain. Adapun buku yang dijadikan acuan dalam kuliah ini adalah “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, karya Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn, penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), tahun 1993.

A. Pendahuluan

Hukum terdiri dari peraturan-peraturan/kaidah-kaidah tingkah laku. Tetapi selain daripada hukum, masih ada peraturan/kaidah lain. Kumpulan dari segala peraturan-peraturan dimaksud bernama etika. Etika meliputi kaidah-kaidah tentang agama, kesusilaan, hukum dan adat. Pada zaman dahulu, manusia tidak membedakan perbedaan-perbedaan itu. Misalnya dalam “The Ten Commandments”, dalam kitab Zabur atau Al-Qur’an terdapat bermacam-macam kaidah agama, kesusilaan, dan hukum yang dicampuradukan, pada waktu itu alasannya adalah dikarenakan seluruhnya berasal dari Tuhan. Meskipun hubungan antar kaidah dimaksud adalah erat, akan tetapi kesadaran untuk membedakannya datang di kemudian hari.[1]

B. Hukum Dan Adat Berbeda Dari Kesusilaan Dan Agama

1. Hukum dan Kesusilaan

Hidup manusia mempunyai dua segi: manusia sekaligus adalah makhluk perseorangan dan juga makhluk sosial. Kesusilaan menyangkut manusia sebagai perseorangan, hukum dan adat menyangkut kemasyarakatan. Kesusilaan memberi peraturan untuk seseorang. Sebaliknya hukum dan adat ditujukan pada manusia sebagai makhluk masyarakat. Orientasinya, ia menghendaki kesempurnaan masyarakat.[2]

Antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, terutama terdapat perbedaan tujuan. Tujuan hukum ialah tata tertib masyarakat yang baik; tujuan kesusilaan ialah penyempurnaan seseorang. Dengan perbedaan tersebut, terdapat hubungan erat dengan perbedaan yang lain, yang lebih mengenai isinya, Hukum dan adat yang menghendaki peraturan masyarakat yang baik, memberikan peraturan-peraturan untuk perbuatan-perbuatan lahir manusia. Kesusilaan yang ditujukan pada kesempurnaan seseorang, pertama-tama tidak mengindahkan perbuatan-perbuatan manusia, melainkan lebih mengindahkan sikap batin. Akan tetapi perbedaan-perbedaan itu jangan terlalu dibayangkan terlalu tajam.[3]

Akan tetapi, perbedaan antara hukum dan kesusilaan ialah: bila tingkah laku lahir seseorang sesuai dengan peraturan hukum, maka hukum tidak menanyakan kehendak baiknya. Hukum merasa cukup dengan tingkah laku lahir yang sesuai dengan peraturannya. Meskipun ketika seseorang melanggar hukum, diperhatikan juga kehendak baiknya. Hal ini menjelaskan bahwa ketika seseorang melanggar hukum, ternyata menjadikan kedua kaidah ini saling mendekati, bahkan saling tumpang tindih. Hukum tidak jarang terpaksa menjatuhkan vonis hukuman atas perbuatan-perbuatan yang ditimbulkan oleh alasan-alasan yang dibenarkan oleh kesusilaan.[4]

Perbedaan antara hukum dan adat pada satu pihak dan kesusilaan pada pihak lain, adalah terkait asal-usul kaidahnya. Rumusannya adalah sebagai berikut: Kesusilaan adalah otonom, hukum (demikian juga adat) adalah heteronom. Dalam hukum, kekuasaan dari luarlah yang meletakkan kemauannya kepada kita, yakni masyarakat. Kita takluk pada hukum di luar kehendak kita, hukum mengikat kita tanpa syarat. Sebaliknya seluruh susila adalah suatu tuntutan yang dilakukan orang terhadap dirinya sendiri. Kesusilaan mengikat kita karena kehendak kita sendiri. Perbedaan lain juga erat kaitannya dengan titik pangkal pikiran kita. Hukum menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik. Tujuan ini hanya tercapai jika di luar dan di atas perseorangan terdapat kekuasaan yang tidak berpihak yang membuat perintah bagaimana mereka harus bertindak satu sama lain. Sedangkan kesusilaan menghendaki kesempurnaan diri seseorang. Apa yang dapat dipandang mencukupi tujuan itu hanya dapat ditentukan oleh tiap-tiap orang untuk dirinya sendiri.[5]

Hukum dan adat, sebagai peraturan tingkah laku, dapat dibedakan dari kesusilaan dari segi bagaimana orang patuh terhadapnya. Kesusilaan berakar dari suara hati manusia. Sifat perintah susila ialah bahwa ia harus dipenuhi dengan sukarela. Satu-satunya kekuasaan yang berdiri di belakang kesusilaan adalah kekuasaan suara hati manusia sendiri. Sedangkan dalam hukum, kekuatan kekuasaan hati nurani manusia tidaklah asing, ia juga menjadi dasar seseorang patuh terhadap hukum, hukum dipatuhi salah satunya atas sebab hati nurani seseorang merasa sejalan dengan keyakinan kesusilaannya. Akan tetapi, dalam hukum, dapat juga seseorang patuh terhadap hukum secara lahiriah tanpa memperhatikan sikap batinnya. Di belakang hukum terdapat juga kekuasaan yang lain daripada hati nurani, yaitu masyarakat meletakkan peraturan-peraturan pada kita dan juga mempunyai alat kekuasaan untuk memaksakannya.[6]

Antara hukum dan adat pada satu pihak, dengan kesusilaan di pihak lain masih terdapat perbedaan dalam daya kerjanya. Hukum dan adat mempunyai dua daya kerja. Ia memberikan kekuasaan dan meletakkan kewajiban. Ia serentak normatif dan atributif. Sedangkan kesusilaan hanya meletakkan kewajiban semata. Ia semata-mata bersifat normatif. Perbedaan ini merupakan lanjutan perbedaan tujuan antara berbagai golongan kaidah dalam etika. Hukum dan adat menghendaki peraturan pergaulan hidup yang baik dan meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban untuk kepentingan sesama manusia. Kesusilaan menghendaki kesempurnaan individu, menunjukan peraturan-peraturannya kepada manusia sebagai individu, untuk kepentingan manusia itu sendiri.[7]

2. Agama

Agama dalam arti sempit adalah hubungan antara Tuhan dan manusia. Hubungan itu mengandung kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, sebagai cinta terhadap Tuhan dan percaya kepada Tuhan. Kewajiban-kewajiban dimaksud benar-benar bersifat keagamaan sejati, yang isinya berbeda dari kewajiban yang sifatnya moral maupun yang sifatnya kewajiban hukum.  Hubungan antara Tuhan dengan manusia membawa juga kewajiban untuk menuruti kehendak Tuhan. Maka, agama meliputi lapangan yang lebih luas dari semata-mata hubungan antara Tuhan dan manusia. Berdasarkan kewajiban mengikuti kehendak Tuhan lah kemudian manusia juga terikat untuk melakukan perintah pada sesama manusia. Dari hal ini manusia memperoleh sifat kesusilaan keagamaanya, yaitu ketika terikat secara batin atas dasar hubungannya dengan Tuhan.[8]

C. Hukum Dan Adat

Adat adalah segala peraturan tingkah laku yang tidak termasuk dalam lapangan hukum, kesusilaan dan agama. Tetapi adat juga diartikan sebagai tingkah laku yang berlaku untuk anggota lingkungan tertentu. Selanjutnya adat dimaknai dalam arti peraturan-peraturan tingkah laku. Terdapat hubungan yang rapat sekali antara adat dan kebiasaan. Adat timbul dikarenakan adanya kebiasaan.[9]

Untuk menarik batas yang tegas antara hukum dan adat adalah hal yang sukar. Hukum sebagai kebiasaan misalnya, ia timbul dan tumbuh dari kebiasaan. Sebagaimana telah disinggung tadi, bahwa adat juga timbul dikarenakan kebiasaan. Beberapa persamaan antara hukum dan adat: 1). Bahwa ia ditujukan pada manusia sebagai makhluk sosial. 2). Bahwa ia puas dengan tingkah laku lahir, tidak menanyakan kehendak baik yang mendukung tingkah laku itu. 3). Sifatnya heteronom, diletakkan pada diri kita oleh masyarakat dimana kita hidup. 4). Bahwa ia memberi hak-hak menuntut sesuatu tingkah laku sesuai peraturan-peraturannya.[10]

Perbedaan antara hukum dan adat seringkali dilihat dari sanksinya. Meskipun demikian hal ini tidaklah sesederhana yang dikatakan. Perbedaan antara hukum dan adat tidak begitu saja terletak pada paksaan. Pada peraturan-peratuan adat, paksaan datanya dari tiap-tiap orang yang tidak teratur, seringkali melampaui batas. Sebaliknya pada hukum, paksaan dilakukan oleh masyarakat melalui institusi/organ. Perbedaan lain yang pokok antara adat dan hukum adalah bersifat formil, bukan materiil. Artinya hanya dari sudut pandang pengertian hukum saja, bukan dari isinya.[11]

D. Hubungan Antara Berbagai Golongan Kaidah-kaidah Etika

Hukum pada satu pihak, kesusilaan, agama dan adat pada pihak lain dapat dibedakan, akan tetapi pemisahan tersebut sesungguhnya tidak ada. Dikarenakan semua memberikan fungsinya berupa peraturan-peraturan hubungan antar manusia. Terdapat hubungan yang rapat antara berbagai kaidah etika, tiap-tiap kaidah sebagaimana dimaksud memberikan pengaruh yang kuat terhadap isi kaidah-kaidah lain. Antara lain, kaidah agama dan kaidah kesusilaan terus menerus mempengaruhi kaidah hukum. Hukum untuk sebagian besar adalah kesusilaan positif yang diperlukan oleh Pemerintah, dan kesusilaan didasarkan pada agama. Kejahatan-kejahatan yang diuraikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hampir semuanya perbuatan-perbuatan yang dicela juga oleh kesusilaan dan agama. Selain itu, bukan hanya pembuat undang-undang saja yang harus mengikuti kesusilaan, hakim juga selalu berbuat demikian.[12]

Selain itu, hubungan lainnya adalah kaidah-kaidah etika yang beragam itu saling memperkuat daya masing-masing. Peraturan hukum diikuti tidak semata-mata karena sifat memaksa dari Pemerintah melalui institusi/organ pelaksananya, melainkan juga bersandar pada bahwa orang merasa terdorong mengikutinya berdasarkan agama dan kesusilaan.[13]  
_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 22.
2.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 22-23.
3.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 23.
4.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25.
5.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 25-26.
6.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 27.
7.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 28.
8.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29.
9.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 29-30.
10.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 31.
11.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 32.
12.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 35-36.
13.        L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 37-38.

Jumat, 10 Mei 2019

Faktor-faktor Yang Membantu Pembentukan Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Kuliah Pengantar Ilmu Hukum sebelumnya yang berjudul: ‘Sumber-sumber Hukum’ telah kita lalui, pada kesempatan ini akan dibahas mengenai faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum. Di samping sumber-sumber hukum dalam arti formil yang telah di bahas sebelumnya, masih terdapat hal-hal lain yang membantu pembentukan hukum. Menurut L.J. van Apeldoorn hal dimaksud adalah persetujuan antara yang berkepentingan, pengadilan dan ilmu pengetahuan.

A. Perjanjian

Ada analogi tertentu antara undang-undang dan perjanjian. Hingga batas tertentu, para pihak yang mengadakan perjanjian berbuat sebagai pembentuk undang-undang: ia membentuk sesuatu peraturan. Jadi apabila perjanjian itu kita sebut sumber hukum, maka kata hukum itu kita pakai dalam arti yang lain daripada apabila kita menyebut undang-undang sebagai sumber hukum. Dalam hal yang terakhir, dengan hukum dimaksud, peraturan-peraturan yang umum mengikat, jadi apa yang dalam kebiasaan hukum disebut hukum obyektif; dalam hal yang pertama, dimaksud sesuatu peraturan yang dibentuk untuk hal yang tertentu atau ‘hukum yang konkrit’. Perbedaan antara kedua hal tersebut ialah bahwa undang-undang adalah keputusan kehendak dari suatu pihak; perjanjian, keputusan kehendak dari dua pihak; dengan perkataan lain, bahwa orang terikat pada perjanjian berdasar atas kehendaknya sendiri pada undang-undang terlepas dari kehendaknya.[1]

Dalam hal itu jangan kita lupa, bahwa dalam menguraikan pengertian undang-undang dan perjanjian itu kita menarik batas lebih tajam daripada keadaan sebenarnya. Dalam keadaan sebenarnya, tidak adalah pemisahan yang mutlak, kedua hal tersebut kadang-kadang sangat mendekati.[2] Penulis setuju denan hal ini, bahwa meskipun antara Perjanjian (sebagai salah satu faktor yang membantu pembentukan hukum) dengan Undang-undang (sebagai sumber hukum) dapat dibedakan pada aras analisa keilmuan hukum, namun keduanya saling berkaitan, sehingga dalam batas tertentu dapat dibedakan dan sekaligus juga saling berkaitan.

B. Peradilan

Sebagaimana halnya dengan undang-undang dan perjanjian, maka antara undang-undang dan keputusan hakim terdapat analogi. Keduanya membentuk peraturan. Akan tetapi, secara umum, keputusan hakim membentuknya dalam konkreto, undang-undang dalam abstrakto. Keputusan hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara. Hakim tidak dapat membentuk peraturan-peraturan yang umum mengikat.[3]

Di Negeri Belanda tidak ada hakim yang terikat pada keputusan hakim lain; juga tidak pada keputusan hakim-hakim yang lebih tinggi. Dalam pada itu biasanya para hakim mengikuti keputusan-keputusan yang dahulu diberikannya sendiri atau oleh orang lain. Terutama, mengenai keputusan-keputusan badan peradilan yang tertinggi, Mahkamah Agung.[4] Hal yang sama terjadi di Indonesia (menganut sistem hukum Eropa-Kontinental), yaitu keputusan hakim bersifat independen, putusan hakim sebelumnya tidak mengikat hakim untuk memutus perkara setelahnya. Sebaliknya, sistem hukum Anglo-Saxon, keputusan hakim setelahnya adalah terikat pada putusan hakim sebelumnya untuk perkara-perkara sejenis.

Walaupun di Negeri Belanda pengadilan tidak merupakan sumber hukum dalam arti formil, akan tetapi ia sangat membantu pembentukan hukum. Itu sudah dilakukannya selama ia berdiri. Di Inggris, Amerika Serikat dan Afrika Selatan, para hakim terikat pada keputusan-keputusan hakim yang tingkatnya lebih tinggi daripada diri sendiri, atau yang setingkat dengan dia. Jadi di negeri tersebut, peradilan memang merupakan sumber hukum dalam arti formil. “Judge-made law” atau “common law” mengambil tempat yang penting di samping “statute law” (hukum undang-undang).[5] Penulis kira perbedaannya menjadi jelas, bahwa dalam sistem hukum Anglo-Saxon/Common Law, peradilan adalah salah satu sumber hukum, sebaliknya pada sistem hukum Eropa Kontinental.

C. Ajaran Hukum

Sejarah mencatat, bahwa pada bangsa Romawi, ajaran hukum adalah merupakan salah satu sumber hukum. Singkat kata, para sarjana hukum yang ternama pada waktu itu membuat semacam buku/kitab-kitab yang berisikan catatan-catatan hukum kebiasaan sesuatu suku, negeri atau kota, untuk memenuhi kebutuhan utama pada masa itu, dikemudian zaman menjadi semacam literatur yang diwajibkan, bahkan beberapa dari buku/kitab-kitab hukum itu memperoleh kekuasaan yang demikian besarnya, sehingga ia dipakai dalam peradilan, seolah-olah ia bukan catatan-catatan hukum partikulir, melainkan catatan hukum resmi. Contoh yang diajukan oleh L.J. van Apeldoorn misalnya: “Grand Coutumier de Normandie” (abad ke-13), yang penulisnya tidak dikenal.[6]

Di Negeri Belanda, ajaran hukum bukan sumber hukum dalam ari formil. Hukum yuris Romawi, yang sebenarnya bukan ilmu pengetahuan, melainkan agak merupakan sesuatu hasil kesenian yang gemilang perihal praktek hukum (ars boni et aequi) adalah tersusun dari nasehat-nasehat yang diberikan oleh para ahli hukum mengenai peristiwa-peristiwa yang diacarakan dan karena itu dapat dipakai untuk praktek. Di Negeri Belanda, ajaran hukum lebih-lebih mempunyai sifat teoritis, juga dalam hal ia langsung mengabdi pada pelaksanaan hukum.[7]

Walaupun di Negeri Belanda ajaran hukum bukan sumber hukum dalam arti formil, ini tidak menghalang-halangi, bahwa ia merupakan faktor yang penting dalam pembentukan hukum. Itu sudah barang yang sewajarnya karena peradilan di Negeri Belanda dipegang oleh hakim-hakim yang mendapat pendidikan ilmiah, sehingga walaupun mereka tidak mengakui kekuasaan ajaran hukum sebagai kekuasaan yang mengikat, merekapun akan dipengaruhi juga.[8]

_________________________________
1.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 155-156.
2.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 156.
3.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 159.
4.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 161.
5.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 162.
6.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 164-165.
7.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 166-167.
8.  L.J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 168.

Rabu, 08 Mei 2019

Sumber-sumber Hukum

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Melanjutkan kuliah sebelumnya berjudul: 'Hukum Sebagai Kaidah Dan Kebiasaan', dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Sumber-sumber Hukum. Perlu menjadi catatan di sini, sebagai objek ilmu pengetahuan, hukum dapat dilihat dari beragam segi, seperti sejarah, filsafat, antropologi budaya, sosiologi, ekonomi dan lain sebagainya, dan pada pembahasan ini yang dimaksud dengan sumber-sumber hukum adalah sumber-sumber hukum dalam arti formal.  


Sumber-sumber Hukum Formal

Sumber-sumber hukum formal dimaksud adalah sebagaimana berikut:
  1. Undang-undang;
  2. Adat Dan Kebiasaan;
  3. Traktat;
  4. Yurisprudensi;
  5. Doktrin.[1]

A. Undang-undang

Pada umumnya, pengertian undang-undang dibagi ke dalam dua, pertama adalah dalam arti materil dan kedua dalam arti formil. Undang-undang dalam arti materil adalah sesuatu keputusan Pemerintah, yang mengingat isinya disebut undang-undang, yaitu tiap-tiap keputusan Pemerintah, yang menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat secara umum (dengan perkataan lain, peraturan-peraturan hukum obyektif).[2]

Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti formil ialah keputusan Pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul. Di Negeri Belanda undang-undang dalam arti formil adalat tiap-tiap keputusan, yang ditetapkan oleh Raja dan Staten-Generaal bersama-sama.[3] Tidak jauh berbeda dengan Negara Republik Indonesia, undang-undang adalah produk hukum yang diproduksi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden.

B. Adat Dan Kebiasaan

Hukum adat ialah bagian dari tata hukum Indonesia yang berasal dari adat istiadat. Adat istiadat ialah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada, merupakan tradisi dalam masyarakat bumiputera dan yang bermaksud mengatur tata tertib masyarakat bumiputera itu. Kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh anggota berbagai persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen) yang ada di wilayah Indonesia. Misalnya, persekutuan-persekutuan hukum orang Batak Karo, orang Mandailing, orang Jawa Tengah, dll.[4]

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah himpunan kaidah-kaidah yang—biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan—dalam suasana ‘werkelijkheid’ ditaati juga, karena orang sanggup menerima kaidah-kaidah itu sebagai hukum dan telah ternyata kaidah-kaidah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan. Dengan demikian hukum kebiasaan itu kaidah yang, biarpun tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, masih juga kuatnya sama dengan hukum tertulis.[5]

C. Traktat

Traktat ialah perjanjian (persetujuan) yang diadakan antara dua atau lebih dari dua negara. Bilamana traktat itu diadakan antara hanya dua negara, maka perjanjian adalah suatu perjanjian bilateral; bilamana traktat itu diadakan antara lebih dari dua negara, maka perjanjian adalah suatu perjanjian multilateral. Bilamana suatu perjanjian multilateral memberi kesempatan kepada negara-negara yang pada permulaan tidak turut mengadakannya, kemudian juga menjadi pihaknya, maka perjanjian adalah suatu perjanjian kolektif atau terbuka. Sebuah contoh tentang suatu perjanjian kolektif adalah Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa yang diadakan di San Francisco pada tahun 1945. Traktat memuat hukum yang berlaku di wilayah pihaknya.[6]

D. Yurisprudensi

Keputusan seseorang hakim, yang memuat suatu peraturan sendiri, menjadi dasar keputusan seorang hakim lain, maka keputusan yang disebut pertama itu menjadi sumber hukum. Keputusan tersebut adalahsumber hukum bagi terutama peradilan (rechtspraak) dan administrasi negara (tatausaha negara), yaitu bersifat kaidah bagi peradilan dan administrasi negara itu. Apabila kemudian ternyata bahwa keputusan yang disebut pertama itu juga mendapat perhatian dari pergaulan umum, maka lama-kelamaan keputusan tersebut menjadi sumber hukum bagi pergaulan umum, yaitu sumber yang memuat suatu kaidah yang oleh umum diterim sebagai hukum (menjadi suatu ‘behorensorde’).[7]

E. Doktrin

Anggapan seorang ahli hukum (yang paling cakap) mempunyai kekuasaan. Mereka yang telah membaca yurisprudensi, maka mengetahui bahwa hakim itu sering berpegang pada anggapan seorang sarjana hukum atau beberapa sarjana hukum yang terkenal namanya. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusan-keputusannya, maka hakim itu sering menyebut anggapan seorang ahli tentang soal yang harus diselesaikannya. Apalagi kalau ahli hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Anggapan itu menjadi dasar keputusan tersebut.[8]
_________________________________
1.  Pengantar Dalam Hukum Indonesia”, E. Utrecht, S.H., PT. Penerbit Dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, (Cetakan Keenam), 1961, Hal.: 135.
2.  “Pengantar Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,  PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 80.
3.  Van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 80.
4.  E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 155.
5.  E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 166-167.
6.  E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 185.
7.  E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 189.
8.  E. Utrecht., Op. Cit., Hal.: 195.

Jumat, 03 Mei 2019

Eksistensi Anarcho-syndicalism dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Sekilas Anarcho-syndicalism

Dua hari yang lalu, ketika peringatan May Day (Hari Buruh Internasional) di Jakarta, ada fenomena yang menarik perhatian aparat keamanan, yaitu vandalisme mulai dari corat-coret tembok sampai dengan merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta. Aparat keamanan memberikan keterangan bahwa para pelakunya adalah kelompok “anarcho-syndicalism”. Terlepas dari adanya dugaan tindak pidana dari kejadian dimaksud, sebagai bagian dari sikap ilmiah, ada baiknya terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan “anarcho-syndicalism”.

Sebelum masuk ke anarkisme, perlu ditegaskan di sini terkait makna vandalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, vandalisme adalah (1) Perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya); 2 Perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.[1] Jadi perlu dipahami bahwa vandalisme adalah terkait tindakan seseorang, bukan sebuah aliran pemikiran atau semacam paham. Kembali ke anarkisme, aliran pemikiran ini mempunyai akar panjang di Eropa. Istilah anarkisme berasal dari bahasa Yunani, ‘anarkos’, yang berarti tanpa penguasa. Namun bentuk anarkisme yang berkembang luas saat ini terbentuk saat Revolusi Prancis, di mana industrialisasi meluas. Banyak orang marah terhimpit dan marah di bawah kekuasaan monarki dan kekuatan elit kapitalis.[2]

Di antara tokohnya adalah Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865) yang merupakan filsuf Prancis ternama abad ke-19, adalah orang pertama yang mendapuk dirinya sebagai seorang anarkis. Ucapannya pada 1849 sangat terkenal: “Siapapun yang menggunakan kekerasan untuk memerintah saya adalah seorang perebut kekuasaan dan seorang tiran, dan saya menganggapnya sebagai musuh saya.” Berbeda dengan pengertian kontemporer, Proudhon berusaha mengubah konotasi negatif penuh kekerasan yang kerap dilekatkan pada anarkisme. Menurut Proudhon, anarkisme adalah cara paling rasional dan adil untuk menciptakan ketertiban masyarakat. Antara lain dia menganjurkan apa yang dia disebut “mutualisme” dan (melampaui zamannya) menciptakan konsep bebas pinjaman dari bank dan serikat pekerja untuk melindungi kepentingan buruh.[3]

Menurut Brian Crabtree dalam tulisan “The History of Anarchism“, meski Proudhon tak mengakui hak milik, dia juga tidak mendukung komunisme. Dia menggarisbawahi pentingnya hak pekerja untuk mengendalikan alat produksi sebagai bagian penting dari kebebasan. Proudhon adalah orang pertama yang menggagas serikat pekerja. Bersama rekan-rekannya, pada 1864 dia membentuk First International Workingmen’s Association, sebuah serikat buruh berskala internasional pertama di dunia.[4]

Pemikir lainnya adalah Mikhail Bakunin (1814-1876), seorang intelektual Rusia, merupakan nama penting berikutnya dalam perkembangan pemikiran anarkis di Eropa. Dia mengembangkan pemikiran Proudhon menjadi “anarkisme kolektif”, di mana pekerja bergabung secara setara untuk mengendalikan sepenuhnya hasil produksi mereka. Titik berat pemikiran Bakunin ada pada “anarko-sindikalisme”, di mana serikat pekerja, yang dipimpin para anarkis, memperjuangkan kebebasan lebih besar bagi diri mereka sendiri. Bakunin percaya bahwa anarki hanya dimungkinkan melalui sebuah revolusi yang menghancurkan seluruh institusi yang ada. Bakunin tidak menyetujui visi Karl Marx tentang “diktator proletariat”, dan menulis pada 1868 bahwa “sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan sebuah bentuk kebrutalan.”[5]

Beberapa hal penting menjadi catatan. Pertama, anarko-sindikalisme berakar dari revolusi Prancis. Di satu sisi, ketika revolusi industri meluas maka ia melahirkan kelas elit kapitalis, dan elit kapitalis ini membutuhkan kekuasaan kaum monarki (penguasa negara) untuk menjalankan agendanya. Di sisi lain, untuk menjalankan agenda revolusi industri, kaum elit kapitalis juga membutuhkan buruh untuk menjalankan produksi. Di sinilah terjadi pertentangan antara kaum anarko-sindikalisme dengan elit kapitalis dan penguasa negara.

Catatan kedua, sebagai sebuah ajaran pemikiran, anarko-sindikalisme berbeda dengan komunisme. Meskipun secara akar masalah terdapat persamaan, atau setidaknya persinggungan. Jika komunisme bermaksud mendirikan diktator proletariat untuk menyelesaikan permasalahan di maksud, artinya eksistensi penguasa negara yang dahulunya diisi oleh kaum monarki (penguasa negara) digantikan oleh kekuatan diktator proletar. Maka pada anarko-sindikalisme berbeda, kaum ini justru berpendapat bahwa negara adalah bagian dari kekuatan yang juga menindas, oleh karenanya harus dilenyapkan, dan tujuannya adalah bukan hanya menciptakan tatanan tanpa kelas, tapi juga melenyapkan institusi kekuasaan seperti negara. Sederhananya, kekuatan penindas buruh bagi kaum anarko-sindikalisme ada dua, yaitu elit pemodal dan juga penguasa negara. Lalu kira-kira masyarakat seperti apa jadinya? Sebagaimana diterangkan di atas, konsepnya adalah menciptakan masyarakat tanpa negara yang ‘mutualisme’, sederajat dan saling menguntungkan.

Eksistensi Anarcho-syndicalism Dalam Bingkai Hukum Positif Negara Republik Indonesia

Dikarenakan pada May Day kemarin fenomena anarko-sindikalisme ini salah satunya terjadi di Indonesia, maka disadari atau tidak oleh kaum ini, terdapat konsekuensi hukum daripadanya. Menurut penulis, hampir bisa dipastikan gerakan yang secara tidak langsung berimplikasi ingin melenyapkan eksistensi elit pemodal dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bisa dipastikan bertentangan dengan Pancasila sebagai ideologi negara dan sebagai turunannya juga bertentangan dengan hukum positif di Indonesia.

Penulis belum memperoleh informasi apakah perkumpulan anarko-sindikalisme di Indonesia telah mempunyai badan hukum resmi. Misalnya didirikan berdasarkan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan berbunyi sebagai berikut: "Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh". Namun asumsi ini hampir tidak mungkin, karena kaum ini secara pemikiran menolak eksistensi kekuasaan negara. Meskipun demikian, sepengetahuan penulis, aturan hukum maupun produk hukum yang secara langsung menyatakan bahwa anarko-syndikalisme adalah sebuah organisasi atau paham terlarang di Indonesia juga tidak ada, atau setidaknya belum ada.

Sebagai perbandingan, mari kita lihat beberapa permasalahan sejenis. Contoh pertama adalah Komunisme. Di Indonesia, eksistensinya adalah dilarang melalui aturan hukum berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor: XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Contoh kedua adalah terkait Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Awalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai organisasi kemasyarakatan (ORMAS), kemudian terbit Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akibat bertentangan dengan aturan dimaksud (dianggap anti-Pancasila), status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bukan hanya itu, pun setelah diajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan Nomor: 211/G/2017/PTUN.JKT. didaftarkan tanggal 13 Oktober 2017, PTUN Jakarta menolak gugatan dimaksud. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ini juga dikuatkan pada tingkat Banding melalui Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor:196 B/2018/PT.TUN.JKT. Serta pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung juga menolak gugatan ini melalui Putusan Nomor: 27 K/TUN/2019, diputus pada hari Kamis, 14 Februari 2019.

Belajar dari dua permasalahan sejenis di atas, yaitu Komunisme dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), maka terkait dengan isu anarko-sindikalisme di Indonesia sampai saat ini hampir bisa dipastikan bukanlah gerakan yang telah mempunyai badan hukum resmi yang selayaknya diakui negara, baik itu sebagai organisasi buruh atau organisasi kemasyarakatan. Karena dari segi pemikiran saja sudah menentang eksistensi negara. Menurut penulis, keberadaannya harus dilihat sebagai perkumpulan di luar framing hukum positif Indonesia terkait.

Konsekuensi Hukum Pidana

Akan tetapi, akibat dari tindakan mengatasnamakan apapun di wilayah Republik Indonesia yang mengakibatkan kerusakan fasilitas publik seperti telah disebutkan di awal, menjadikan perbuatan dimaksud (merusak pagar halte Tosari Trans Jakarta) potensial dapat dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 dan/atau Pasal 406 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).  

Pasal 170 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “(1)   Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. (2)   Tersalah dihukum: 1. Dengan penjara  selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka; 2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh; 3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang”.

Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Dalam perspektif hukum, terdapat ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal-pasal KUHP di atas dalam hal ekspresi pemikiran melanggar koridor hukum. Saran penulis, ekspresi pemikiran bisa melalui cara lain agar tidak melanggar hukum, salah satunya mungkin bisa melalui seni tarik suara seperti John Lenon dalam lagunya berjudul “Imagine” (1971) yang beberapa bait liriknya dikutip sebagai berikut: “...Imagine there's no countries, It isn't hard to do, Nothing to kill or die for, And no religion too, Imagine all the people living life in peace, you... Imagine no possessions, I wonder if you can, No need for greed or hunger, A brotherhood of man, Imagine all the people sharing all the world, you...”.

________________________________
1.  Vandalisme”, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), https://kbbi.web.id/vandalisme
2.  "Tiga Abad Anarkisme Eropa”, Devi Fitria, 07 Januari 2011, Historia.id., https://historia.id/politik/articles/tiga-abad-anarkisme-eropa-6lB3v
3.  Ibid.
4.  Ibid.
5.  Ibid.

Selasa, 30 April 2019

Sejarah Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia dan Aspek Hukumnya

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo


Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara Ke Luar Pulau Jawa

Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota ke luar pulau Jawa. Hal itu diputuskan Jokowi dalam rapat terbatas terkait pemindahan Ibu Kota di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/4/2019). Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, Jokowi berencana memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. [1] Hal ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, meskipun demikian rencana ini bukanlah hal baru.

"Dalam rapat tadi diputuskan, Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan Ibu Kota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini," kata Bambang. Menurut Bambang, keputusan Jokowi itu diambil dengan mempertimbangkan agar Indonesia tidak Jawa sentris. Diharapkan nantinya pertumbuhan ekonomi bisa merata di setiap wilayah. [2]

Menurut penulis, setidaknya ada dua hal penting dari berita di atas, pertama adalah ibu kota akan dipindahkan ke luar jawa, dan kedua adalah tujuan dari rencana tersebut agar pertumbuhan ekonomi merata di setiap wilayah, alasannya adalah faktor ekonomi. Sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, perpindahan Ibu Kota Negara bukanlah hal yang baru, setidaknya tercatat telah dua kali mengalami perpindahan, ke daerah mana saja itu? Apa saja alasan utamanya? Serta apa dasar hukumnya?

Sejarah Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Sepanjang sejarah perjuangan negara ini, Indonesia setidaknya mengalami dua kali perpindahan Ibu Kota. Pertama adalah perpindahan dari Jakarta ke Yogjakarta ketika terjadi Agresi Militer I Belanda, dan kedua adalah perpindahan dari Yogyakarta ke Bukittinggi untuk mencegah kekosongan kekuasaan setelah Agresi Militer II dari Belanda.

Perpindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta hanya berselang lima bulan setelah deklarasi kemerdekaan. Pemindahan Ibu Kota dilakukan karena Belanda datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu dan Jakarta berhasil diduduki pada 29 September 1945. [3] Kemudian pada tanggal 2 Januari 1946 Sultan HB IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibukota NKRI dipindah ke Yogyakarta. Tawaran Sultan diterima dengan oleh Soekarno, sehingga  tanggal 4 Januari ibukota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta. [4] Inilah perpindahan pertama, yaitu pada 4 Januari 1946. Adapun alasannya, setelah jatuhnya Jakarta ke tangan Belanda dan Sekutu, maka Yogyakarta dinilai sebagai wilayah yang paling siap dari sisi ekonomi, politik dan keamanan pada waktu itu.  

Setelah Ibu Kota Negara Indonesia pindah ke Yogyakarta, kerajaan Belanda melancarkan agresi militer II pada 19 Desember 1948. Sederhananya, setelah kembali menginjakan kaki di nusantara, khususnya di Jakarta melalui Agresi Militer I dengan membonceng Sekutu, Kerajaan Belanda ingin kembali berkuasa. Maka dibuatlah Agresi Militer II, hal ini bertujuan untuk menumpas pemerintahan negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Mengembalikan kendali kekuasaan kolonial Kerajaan Belanda di nusantara. Agresi Militer II ini mengakibatkan jatuhnya Yogyakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia ke tangan Belanda, dan pemimpin Republik Indonesia tertinggi, yaitu Soekarno-Hatta ditangkap dan kemudian diasingkan ke luar jawa.

Namun sebelum diasingkan Presiden Sokarno memberikan surat kuasa kepada Safrudin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat. [5] Tanggal 22 Desember 1948, Syafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. PDRI dibentuk karena Belanda menduduki Ibu Kota RI saat itu, Yogyakarta. Para pemimpin Republik pun ditangkap, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, dan lainnya, lalu diasingkan ke luar Jawa. [6] Dengan demikian, hanya berselang dua hari setelah kejatuhan Yogyakarta, dibentuklah pemerintahan darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat. Inilah perpindahan kedua, adapun alasan perpindahan Ibu Kota dari Yogyakarta ke Bukittinggi ini adalah dikarenakan pemerintahan berada pada kondisi darurat.

Dasar Hukum Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia

Dari latar sejarah dapat kita pahami bahwa perpindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Yogyakarta, dan dari Yogyakarta ke Bukittinggi, kedua-duanya disebabkan oleh faktor utama yaitu keadaan darurat. Jatuhnya wilayah Jakarta dan Yogyakarta ke tangan Sekutu dan Belanda pada waktu itu menjadi alasan utama dipindahkannya Ibu Kota Negara.

Dalam keadaan darurat seperti telah dijelaskan di atas, aspek hukum terkait perpindahan Ibu Kota Negara, terutama berdasarkan hukum positif pada waktu itu tidaklah mengemuka. Meskipun demikian, adalah tidak tepat pula jika mengatakan pada waktu itu tidak ada dasar hukumnya. Menurut hemat penulis, hal ini bisa dikembalikan dasar hukumnya kepada Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan dan dinyatakan berlaku pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Setidaknya terdapat satu pasal di dalam Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen yang relevan pada waktu itu, pertama adalah Pasal 4 ayat (1). Adapun bunyinya adalah sebagai berikut:

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Juga relevan adalah Pasal 12 Undang-undang Dasar 1945, perihal Presiden menyatakan keadaan bahaya. Akan tetapi, dalam kondisi darurat seperti itu, Presiden berperan dominan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Maka secara hukum Presiden menjadi berwenang untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari satu daerah Indonesia ke daerah lainnya. Mungkin harus dikaji kembali sumber-sumber sejarah terkait sisi hukum administrasi pemerintahannya sebagai instrumen hukum turunan dari Undang-undang Dasar. Sehingga belum telihat ketika Presiden Soekarno memindahkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada waktu itu dengan menerbitkan instrumen hukum apa? Dan alih tangan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno ke Syafruddin Prawiranegara yang mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi memakai instrumen hukum apa? Namun demikian, kita tentunya tidak dapat selalu berpikir positivistik an sich, karena pemerintahan negara pada waktu itu sangatlah tidak ideal.

Beda dulu dengan sekarang. Sebagaimana diterangkan di awal, alasan pemindahan Ibu Kota Negara saat ini adalah terutama dikarenakan faktor ekonomi, yaitu melakukan pemerataan pertumbuhan. Saat ini tidak ada alasan negara dalam keadaan darurat sebagaimana alasan pemindahan Ibu Kota sebelumnya pada awal perjuangan kemerdekaan. Lalu bagaimana dengan instrumen hukumnya?

Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar 1945, sampai dengan amandemen ke-4, tidak diatur mengenai ketentuan Ibu Kota Negara Indonesia harus di wilayah tertentu, namun yang pasti masih di dalam wilayah Republik Indonesia (vide Pasal25 A Undang-undang Dasar 1945). Siapa yang dapat mengambil kebijakan atas pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya adalah Presiden, dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana dikutip di atas. Apa bentuk instrumen hukum turunan dari Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 untuk melandasi kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia? Jawabannya menurut hemat penulis adalah cukup dengan diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres). Entah jika kemudian Presiden mempunyai pertimbangan lain, misalnya dengan mengusulkan Undang-undang ke DPR. Mari kita cermati bersama perkembangannya.

_______________________________
1.  Kompas.com, "Rencana Pemindahan Ibu Kota, Bagaimana Nasib Jakarta?", 30 April 2019,  https://megapolitan.kompas.com/read/2019/04/30/08063981/rencana-pemindahan-ibu-kota-bagaimana-nasib-jakarta.
2.  Ibid.
3.  Liputan6.com, “Cerita di Balik Aksi Pindah Ibu Kota ke Jogja”, 15 Agustus 2016, https://www.liputan6.com/regional/read/2577674/cerita-di-balik-aksi-pindah-ibu-kota-ke-jogja
4.  Republika.Co.id, "Tanggal 4 Januari 1946 Ibukota NKRI Pindah ke Yogyakarta", 04 Jan 2011, https://nasional.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/01/04/156100-tanggal-4-januari-1946-ibukota-nkri-pindah-ke-yogyakarta
5.  Jagosejarah.blogspot.com, 22 September 2016, http://jagosejarah.blogspot.com/2014/09/agresi-militer-belanda-2.html
6.  Tirto.id., “Syafruddin Prawiranegara: Menyelamatkan Republik, Lalu Membelot", 15 Februari 2018, https://tirto.id/syafruddin-prawiranegara-menyelamatkan-republik-lalu-membelot-cEwq.

Sabtu, 27 April 2019

Indonesia Constitution of 1945, Bilingual

(iStock)

Oleh:
Tim Hukumindo

Undang-undang Dasar 1945 disahkan pertama kali pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Dalam perjalanan kenegaraan, sempat berlaku Konstitusi RIS, dan UUDS 1950, namun kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

Semenjak era Reformasi, telah dilakukan empat (4) kali amandemen Undang-undang Dasar 1945. Pertama, adalah pada Sidang Umum MPR tahun 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999. Amandemen kedua adalah pada Sidang Umum MPR tahun 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000. Ketiga adalah pada Sidang Umum MPR tahun 2001, tanggal 1-9 November 2001. Serta, amandemen keempat adalah pada Sidang Umum MPR tahun 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002.  

Berikut adalah Undang-undang Dasar 1945 dimaksud dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris, tautan di sini.


Kamis, 25 April 2019

Warisan Satjipto Rahardjo Untuk Hukum Indonesia

(id.Wikipedia.org)

Oleh:
Tim Hukumindo

Satjipto Rahardjo

Tokoh berikut ini dikenal sebagai seorang akademisi ulung. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., dilahirkan di Banyumas, tanggal 15 Desember 1930, adalah Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum-Universitas Diponegoro Semarang. Masyarakat mengenalnya sebagai seorang penulis yang produktif dan sebagian mengenalnya sebagai seorang yang memiliki pena emas yang tajam, sebagian lagi mengenalnya sebagai seorang analis masyarakat dan hukum yang kritis.[1]

Satjipto Rahardjo adalah putra tunggal dari Saleh Kartohoesodo, seorang Mantri Kesehatan di Semarang. Sejak membangun rumah tangga dengan Roesmala Dewi, putri dari dokter Gusti Hasan-Tanggerang, telah dikaruniai empat orang putra-putri ialah Paramita, Harimulyadi, Diah Utami Sandyarini dan Dian Riski Dinihari.[2] Lihat artikel lain dari penulis terkait hukum progresif di laman berikut.

Satjipto Rahardjo meninggal pada hari Jumat, tanggal 8 Januari 2010, di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta akibat penyakit Jantung, dalam usia 79 tahun. Jenazah guru besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini dimakamkan di Pemakaman Keluarga Besar Univesitas Diponegoro di kawasan Tembalang, Kota Semarang.[3] Selamat jalan Prof. Tjip.


Paradigma Hukum Progresif

Sudah banyak murid dan para pengulas hukum progresif di Indonesia. Beragam literatur bisa disebutkan di sini terkait dengan paradigma hukum progresif Satjipto Rahardjo, diantaranya adalah berjudul:
  1. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia;
  2. Penegakkan Hukum Progresif;
  3. Membedah Hukum Progresif;
  4. Menggagas Hukum Progresif Indonesia;
  5. Metodologi Penelitian Hukum Progresif;
  6. Masa Depan Hukum Progresif;
  7. Memahami Hukum Progresif;
  8. Dialektika Hukum Progresif;
  9. Satjipto Rahardjo: Sebuah Biografi Intelektual & Pertaruangan Tafsir Terhadap Hukum Progresif;
  10. Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif;
  11. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Progresif;
  12. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif;
  13. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Progresif;
  14. Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif, Urgensi Dan Kritik;
  15. Membumikan Hukum Progresif;
  16. Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana, Melalui Pendekatan Hukum Progresif;
  17. Pilar-pilar Hukum Progresif;
  18. Pemaknaan Hukum Progresif;
  19. Mafia Hukum: Mengungkap Praktik Tersembunyi Jual Beli Hukum dan Alternatif Pemberantasannya dalam Perspektif Hukum Progresif;
  20. Teori Hukum Integratif;
  21. Biarkan Hukum Mengalir;
  22. Hukum Kata Kerja: Diskursus Filsafat Tentang Hukum Progresif;
  23. Kebijakan Hukum Pertanahan: Sebuah Refleksi Keadilan Hukum Progresif.
Penulis juga salah satu pengulas hukum progresif Satjipto Rahardjo, bahkan salah satu yang paling awal. Penulis adalah salah satu orang yang sangat beruntung dapat mewawancarai langsung almarhum pada kediamannya di Kota Semarang. Sebenarnya buku yang kemudian terbit berjudul: “Menyelami Semangat Hukum Progresif: Terapi Paradigmatik Bagi Lemahnya Hukum Indonesia”, AntonyLib, Yogyakarta, 2009, yang merupakan karangan Penulis adalah skripsi sebagai syarat meraih gelar Sarjana Filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Intinya adalah untuk menegakkan hukum di Indonesia yang lemah pasca Reformasi, ditawarkan paradigma berpikir alternatif oleh Satjipto Rahardjo berupa hukum progresif. Sebagai tawaran penyelesaian, hendaknya agar tegaknya hukum tidak terpaku pada pendekatan teks semata, namun melalui pendekatan sistemik yang lebih menyeluruh.

Warisan Satjipto Rahardjo Untuk Hukum Indonesia

Menurut hemat penulis, sebagai seorang akademisi, warisan terbesar Satjipto Rahardjo kepada dunia hukum Indonesia adalah berupa pemikiran. Pemikiran yang dimaksud adalah paradigma hukum progresif. Paradigma hukum progresif adalah seperangkat cara pandang/analisa/optik khas Satjipto Rahardjo terhadap objek hukum. Diantara ciri-ciri dominan paradigma hukum ini menurut hemat penulis adalah: sosiologis, kritis dan sistemik.

Memang salah satu khas pemikiran Satjipto Rahardjo adalah memandang hukum sebagai ilmu sosial, permasalahan hukum adalah sebagian dari permasalahan sosial-masyarakat. Dari kalangan yang bersebrangan (kalangan Positivistik-Legalistik), seringkali disindir bahwa Satjipto Rahardjo membicarakan hukum tanpa sedikitpun menyinggung Undang-undang. Kritis dalam artian menjadi penolak kondisi status quo yang dalam kondisi tidak ideal. Serta sistemik dalam artian menawarkan solusi atas permasalahan hukum dengan melibatkan aspek atau disiplin ilmu lain di luar hukum.

Dikarenakan warisan ini adalah berupa paradigma, lalu timbul pertanyaan apa paradigma hukum progresif ini telah menunjukan sumbangsihnya dalam praktik hukum? Jawabannya iya. Salah satu contoh sederhana adalah terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Dengan aturan ini, kasus-kasus pencurian dengan nilai kerugian sangat minim seperti pencurian buah kakao oleh Mbok Minah dan pencurian 6 piring oleh Rasminah, dilarang ditahan di penjara. Hal ini adalah sebuah kemajuan. Paradigma hukum progresif kembali mengingatkan kita bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. 
________________________________
1.     "Biografi Nasional Di Daerah Jawa Tengah”, A.T. Soegito, Slamet Ds., Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984, Hal.: 23. Lihat di laman: https://books.google.co.id/books?id=e23RCgAAQBAJ&pg=PA23&lpg=PA23&dq=satjipto+rahardjo%2Bbiografi&source=bl&ots=D4XDQtjtLt&sig=ACfU3U3egr4WTwOllf_B9BHk2u5eMG6xvw&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjZ8_i7-d3hAhUUg-YKHR0NCtI4FBDoATAAegQIChAB#v=onepage&q=satjipto%20rahardjo%2Bbiografi&f=false
2.     A.T. Soegito, Slamet Ds., Ibid., Hal.: 24.
3.     "Satjipto Rahardjo Dimakamkan di Pemakaman Undip", www.kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2010/01/08/2056096/satjipto.rahardjo.dimakamkan.di.pemakaman.undip.

Massachusetts Court Jurisprudence: Wedding Ring Must Be Returned If Marriage is Void

   ( iStock ) By: Team of Hukumindo Previously, the www.hukumindo.com platform has talk about " A Young Woman From England, Falls In Lo...