Tim Hukumindo
Telah
kita ikuti kuliah sebelumnya berjudul: “Pembagian Hukum Objektif”, maka dalam kesempatan ini, masih dalam konteks Pengantar
Ilmu Hukum, akan dibahas tentang Hak-hak Subjektif.
I.
Subjek-subjek Hukum (Purusa)
Segala
sesuatu yang mempunyai kewenangan hukum adalah subjek hukum (purusa) dalam arti
yuridis. Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan
hukum adalah kecakapan untuk menjadi pendukung subjek hukum. Kewenangan
hukum adalah sifat yang diberikan oleh hukum objektif dan hanya dimiliki oleh
mereka yang diberikan oleh hukum.[1]
Kini
hukum objektif pada umumnya memberikan kewenangan hukum kepada setiap orang.
Dahulu para wanita dan budak tidak mempunyai kewenangan hukum. Ajaran hukum
kini juga undang-undang mengakui adanya subjek hukum yang lain daripada manusia. Untuk membedakannya, manusia
disebut subjek hukum kodrat (natuurlijke
personen) dan yang lain disebut subjek hukum.[2]
Yang
dimaksud dengan purusa hukum adalah:
1. Tiap-tiap persekutuan manusia, yang bertindak dalam pergaulan hukum
seolah-olah ia sebagai subjek hukum tunggal; dan 2. Tiap-tiap harta dengan
tujuan tertentu, tetapi dengan tiada yang empunya, dalam pergaulan hukum
diperlakukan seolah-olah ia sesuatu subjek hukum.[3]
Persekutuan
manusia ialah: 1. Perhimpunan, yakni
persekutuan-persekutuan yang hidupnya timbul dari pergabungan diri secara
sukarela dari pribadi, didirikan oleh pribadi berdasarkan perjanjian; 2. Persekutuan-persekutuan
yang tidak didirikan oleh subjek-subjek hukum khusus, melainkan tumbuh secara
historis, seperti negara, propinsi dsb.; 3. Persekutuan-persekutuan yang
didirikan oleh kekuasaan umum seperti perusahaan.[4]
II.
Pembagian Hak-hak Subjektif
Hak-hak
subjektif dibagi ke dalam: hak-hak mutlak
atau hak-hak onpersoonlijk dan hak-hak relatif atau hak-hak persoonlijk. Hak-hak mutlak
adalah hak-hak yang memuat kekuasaan untuk bertindak. Hak-hak relatif adalah
hak-hak yang memuat kekuasaan untuk menuntut agar orang lain bertindak, artinya
berbuat sesuatu.[5]
Hak-hak
mutlak ialah: 1. Segala hak publik,
segala hak subjektif yang berdasar dalam hukum publik dalam arti objektif,
terutama apa yang disebut hak-hak dasar, hak-hak kemerdekaan atau hak-hak
manusia, hak-hak manusia yang diuraikan dalam Undang-undang Dasar, yang
memberikan kemerdekaan bertindak dalam berbagai hal, dan yang membawa kewajiban
bagi setiap orang, juga badan-badan pemerintahan untuk tidak melanggarnya. 2.
Sebagian hak-hak perdata (yaitu hak-hak yang bersandar pada hukum perdata dalam
arti objektif, yaitu: a). Hak-hak kepribadian (persoonlijkheidsrechten), contoh hak manusia atas jiwanya; b).
Hak-hak keluarga (familierechten),
seperti kekuasaan orang tua, kekuasaan perwalian dan pengampuan; c). Sebagian
dari hak-hak harta (vermogensrechten);
d). Hak-hak kebendaan (zakelijke rechten);
e). Hak-hak atas barang-barang tak berwujud (rechten op immateriele goederen), contoh hak cipta.[6]
Hak-hak
relatif ialah hak-hak harta, terkecuali hak-hak kebendaan dan hak-hak atau
benda tak berwujud. Dipandang dari sudut yang berhak (penagih hutang), hak-hak
relatif itu dinamai piutang atau hak tagih. Dipandang dari sudut yang
lain (orang-orang yang berhutang), disebut utang.
Biasanya hukum relatif disebut ikatan
(verbintenis). Utang sebenarnya tidak lain dari suatu keadaan yang terdiri
atas hal, bahwa menurut hukum seseorang harus melakukan prestasi atau menerima
prestasi. Jika hal itu dipenuhi, maka timbul keadaan yang dikehendaki oleh
hukum.[7]
III.
Terjadinya Dan Lenyapnya Hak-hak
Subjektif
Pada
bagian ini, secara umum dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: A. Fakta-fakta
Hukum; B. Memperoleh hak secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung.
A. Fakta-fakta
Hukum
Bagaimana
terjadinya hukum hukum subjektif? Hukum subjektif terjadi ketika hukum objektif
bertindak. Agar hukum objektif bergerak dan agar terjadi hukum subjektif,
diperlukan terjadinya suatu peristiwa hukum (peristiwa hukum kemudian menjadi
fakta hukum). Peraturan “pembeli wajib membayar harga pembelian”, baru
menimbulkan sesuatu hukum subjektif (suatu kewajiban untuk membayar dan sesuatu
hak untuk menuntut pembayaran), jika benar-benar diadakan suatu persetujuan
jual-beli.[8]
Apa
yang berlaku untuk terjadinya, berlaku juga untuk lenyapnya hak-hak subjektif.
Hal itu juga tergantung kepada terjadinya sesuatu fakta yang ditunjuk oleh
hukum objektif. Fakta-fakta demikian, agar hukum objektif mengikatkan
terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud, kemudian
disebut fakta hukum.[9]
Fakta-fakta
hukum (agar hukum objektif mengikatkan
terjadinya atau sebaliknya, lenyapnya hak-hak subjektif dimaksud) dapat
dibagi ke dalam: Perbuatan-perbuatan
manusia dan fakta-fakta hukum lainnya.
Diterangkan sebagaimana berikut:[10]
a).
Perbuatan hukum manusia terbagi ke dalam dua bagian, yaitu: perbuatan-perbuatan hukum dan perbuatan-perbuatan lainnya. Perbuatan
hukum adalah perbuatan yang oleh hukum objektif diikatkan kepada terjadinya dan
lenyapnya sesuatu hak subjektif sebagai akibat perbuatan itu, karena hukum
objektif menduga bahwa akibatnya dikehendaki oleh para pihak yang bertindak.
Perbuatan-perbuatan hukum dapat dibagi lagi menjadi perbuatan hukum sepihak
seperti wasiat, atau perbuatan-perbuatan hukum yang berpihak dua (timbal balik)
atau perjanjian. Sedangkan yang termasuk perbuatan-perbuatan lainnya: 1,
Perbuatan-perbuatan dalam hal hukum objektif mengikatkan sesuatu akibat, bebas dari kehendak orang-orang yang
bertindak, artinya tidak perduli ada yang menghendaki atau tidak, contoh:
membuang sebagian muatan kapal untuk kepentingan keselamatan kapal, membuat
sesuatu karya sastra, ilmu pengetahuan atau kesenian yang membawa akibat hak
cipta. 2, Perbuatan-perbuatan tanpa hak
(onrechtmatige handelingen), akibat
perbuatan-perbuatan tersebut hukum mengikatkan sesuatu akibat yang tidak
diinginkan oleh pihak yang bertindak, yaitu berupa ikatan untuk membayar
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan itu.
b).
Termasuk fakta-fakta hukum lainnya, yang tidak merupakan perbuatan manusia,
seperti kelahiran dan kematian, berlangsungnya waktu (dalam hal daluarsa).
B. Memperoleh hak
secara asli dan memperoleh hak secara tidak langsung
Mengenai
terjadinya hak-hak subjektif, kita harus membedakannya ke dalam dua bagian, yaitu:[11]
Pertama, hal-hal dimana timbul sesuatu hak
yang baru seluruhnya, sesuatu hak yang belum ada, juga tidak dalam benih, tidak
merupakan kelanjutan, juga bukan merupakan pertumbuhan dari sesuatu hak yang
telah ada. Disebut juga perolehan hak secara asli, atau original.
Contoh: Waktu memperoleh hak milik dengan cara gadai, hipotek, dll.
Kedua, memperoleh hak yang tidak langsung atau derivatif adalah ketika seseorang memperoleh hak yang telah ada,
atau yang setidaknya tumbuh atau terjadi sebagai lanjutan dari hak yang telah
ada. Disebut juga sebagai perolehan hak secara peralihan atau lanjutan. Contoh:
Penyerahan hak milik (levering) dan
warisan.
_________________________________
|
1. “Pengantar
Ilmu Hukum” atau “Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht”, Prof. Mr. Dr. L. J. Van Apeldorn,
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, (Cetakan
Ke-dua puluh lima), 1993, Hal.: 191.
2.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 192.
3.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 193.
4.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 194.
5.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 198-199.
6.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 199-208.
7.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 209.
8.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
9.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213.
10.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 213-215.
11.
L.
J. van Apeldoorn, Ibid., Hal.: 218-219.