Tim Hukumindo
Dalam
kuliah sebelumnya yang berjudul: ‘Tentang Elemen Melawan Hukum’, telah dibahas sekilas perihal melawan hukum, pada
kesempatan ini akan diperluas dengan kajian mengenai pertumbuhan dan batasan
sifat melawan hukum materiil.
Pertumbuhan Sifat
Melawan Hukum Materiil
Pengaruh
yang datangnya dari luar yang berasal dari perkembangan ilmu kemasyarakatan,
politik dan lain sebagainya memberikan corak aneka ragam terhadap sifat melawan
hukum yang materiil. Diantaranya, sifat melawan hukum materiil diartikan
bertentangan dengan norma kebudayaan, bertentangan dengan kewajiban orang,
secara negatif diartikan sebagai orang berbuat tidak melawan hukum apabila
orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna, diartikan
sebagai perbuatan yang bertentangan dengan dasar pikiran faham nasional
sosialis (Jerman pada masa pemerintahan Hitler), diartikan sebagai perbuatan
yang membahayakan masyarakat (Uni Soviet).[1]
Dengan
demikian terdapat perluasan artian daripada perbuatan melawan hukum materiil
sedemikian rupa, sehingga memerlukan kewaspadaan untuk mengikuti ajaran sifat
melawan hukum yang materiil itu, dan dengan sendirinya harus disesuaikan dengan
dasar bangsa dan negara. Berpangkal dari batasan tersebut, diperlukan pemisahan
yang membedakan antara pandangan perbuatan melawan hukum materiil terbatas
murni dalam norma-norma hukum, dan pandangan melawan hukum materiil yang luas
berdasarkan sendi-sendi budaya yang dihukumkan.[2]
Batasan Sifat Melawan
Hukum Materiil
Kiranya
tidak ada alasan untuk menolak diterimanya pandangan perbuatan melawan hukum
materiil dalam pengertian terbatas sebagai “perbuatan
melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang, asas-asas umum, dan
norma-norma hukum tidak tertulis”. Hal mana pernah dianut di dalam putusan
pengadilan HR 20 Februari 1933 NJ 1933 W. No.: 12600. Selain itu, diterimanya
perbuatan melawan hukum secara materiil juga diperkuat dari pengaruh yang
terdapat dalam praktik hukum, seperti: diterimanya penafsiran extensieve, dll.[3]
Simons
dalam Bambang Poernomo adalah tergolong sarjana yang tidak dapat menerima
pandangan perbuatan melawan hukum secara materiil, menurutnya apabila suatu
perbuatan telah masuk ke dalam rumusan delik dan dalam undang-undang tidak
ditentukan pengecualiannya, maka hakim harus menjalankan undang-undang, dan
supaya apa yang ditetapkan dalam hukum positif oleh pembentuk undang-undang
tidak lagi diuji oleh pribadi Hakim. Para pendukungnya adalah Jonkers, Vos, dan
Hazewinkel Suringa.[4]
Vos
menyatakan dengan tegas berhubung adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP penerapannya
harus dalam peranan yang negatif, yaitu secara formil memenuhi rumusan delik,
akan tetapi secara materiil tidak melawan hukum sehingga perbuatan itu tidak
dipidana. Sedangkan menurut Jonkers menyatakan bahwa berhubung dengan Pasal 1
ayat (1) KUHP bagi suatu perbuatan yang dapat dipidana sedikit-dikitnya
disyaratkan perbuatan itu formil melawan hukum dan selanjutnya apakah perbuatan
itu materiil juga harus melawan hukum.[5]
Sebagai
contoh, seorang dokter yang melakukan abortus karena alasan medis tidak terkena
Pasal 348 KUHP, serombongan ekspedisi yang membunuh atas permintaan seorang
anggotanya yang mengalami luka-luka parah tanpa pertolongan tidak dikenai Pasal
344 KUHP, dokter hewan yang menyakiti hewan ternak dengan vaccinasi tidak
dikenal peraturan Veewet, seorang
bapak yang memukul pemuda yang menggoda anak perempuannya tidak dikenai Pasal
352 KUHP, dan semua kejadian itu didasarkan atas asas-asas umum dalam hukum
tidak tertulis, sehingga tidak dapat dijatuhkan pidana bagi orang yang
melakukan perbuatan seperti contoh-contoh tersebut, karena perbuatan melawan
hukum materiil.[6]
Perbuatan
melawan hukum yang dinyatakan sebagai elemen delik biasanya disebut dengan
perkataan “melawan hukum”, akan tetapi di dalam undang-undang kadangkala
dipergunakan perkataan lain yang bersifat implisit seperti dengan tanpa izin,
dll. Sebaliknya, di dalam pasal-pasal KUHP yang lain tidak ditentukan dalam
rumusan, sehingga tidak dijumpai perkataan melawan hukum.[7]
_________________________________
|
1.“Asas-asas
Hukum Pidana”, Prof.
DR. Bambang Poernomo, S.H., Ghalia
Indonesia, Jakarta, Terbitan Keenam, 1993, Hal.: 116.
2. Ibid.
Hal.: 116-117.
3. Ibid.
Hal.: 117.
4. Ibid.
Hal.: 118.
5. Ibid.
Hal.: 118.
6. Ibid.
Hal.: 118.
7. Ibid.
Hal.: 118-119.