(liputan6.com)
Oleh:
M. Noor Fajar Al Arif
F., S.H., M.H. & Dr. Jazim Hamidi, S.H., M.H.
(Publikasi hasil Penelitian Sepenuhnya bersumber dari Journal of Indonesian Adat Law (JIAL), Volume: 2, Nomor: 2, Agustus 2018, Hal.: 30-44 dan atas izin salah satu Peneliti)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk
menggambarkan fenomena hukum
dan cara penyelesaian sengketa
di Suku Osing. Suku Osing adalah suku
yang sudah beradaptasi dengan
teknologi dan kehidupan
modern. Penelitian ini masuk
dalam jenis penelitian kualitatif
yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian
deskripsi yang digunakan adalah
metode survei. Dalam mengumpulkan
data digunakan metode wawancara dialogik. Wawancara dilakukan secara informal
terhadap 3 (tiga) orang yang dianggap
mengetahui permasalahan dan konsidi Suku Osing yang terbaru yang akan diteliti. Hasil dari
penelitian ini menunjukan
bahwa Suku Osing hidup rukun,
berdampingan dan masih mempertahankan hukum adatnya. Suku Osing walaupun sudah
berinteraksi dengan teknologi
dan dunia modern
tetapi dalam penyelesaian
sengketa/perselisihan lebih mengutamakan hukum adat dibandingkan dengan hukum
negara. Penyelesaian sengketa di
Suku Osing terkesan tidak tertata dengan baik
dalam hal kelembagaan. Oleh karena
itu warga Suku Osing sebaiknya mengembalikan fungsi
Lembaga Adat Masyarakat
Osing Kemiren (LAMUK) tidak hanya sebagai Lembaga konsultasi untuk
melakukan ritual tetapi juga sebagai lembaga penyelesaian sengketa karena
dengan berfungsinya LAMUK akan menjadi salah satu ciri khas Suku Osing dalam
ranah hukum.
Kata-Kata
kunci: Suku Osing; penyelesaian sengketa; hukum adat.
ABSTRACT
This study aims to
describe the legal phenomena and ways of resolving disputes in the Osing Tribe.
The Osing tribe is a tribe that has adapted to technology and modern life. This
research is included in the type of qualitative research that is descriptive in nature. The type of research
description used is the survey method. In collecting data, a dialogic interview
method is used. Interviews were conducted
informally on 3 (three) people who were considered to be aware of the latest problems and the Osing Tribe
consensus to be studied. The results of this study show that the osing tribe
lives in harmony, side by side and still maintains its customary law. The Osing tribe
even though it has interacted with technology
and the modern world but in resolving disputes/disputes prioritizes customary law compared to state law. The
dispute resolution in the Osing Tribe seems
not well organized in terms of institutions. Therefore the Osing Tribe should restore the function of the Kemiren
Osing Community Institution (LAMUK) not only as a consultation institution to
carry out rituals but also as a dispute settlement institution because the
functioning of LAMUK will be one of the characteristics of the Osing Tribe in
the legal sphere.
Keywords:
Osing Tribe; dispute resolution; adat law.
Pendahuluan
Indonesia
adalah negara yang besar yang tidak hanya dikenal dengan kekayaan alamnya
berupa sumber mineral, flora fauna tetapi juga dikenal dengan memiliki banyak suku, budaya, bahasa dan lain-lain.
Banyaknya suku, budaya dan bahasa memberikan keberagaman tersendiri dan masih
banyak suku yang bisa melestarikan budaya leluhur. Menurut Dhari
dan Suparman, dari
satu sisi, secara teoretis keragaman budaya (multikultural) di satu sisi merupakan konfigurasi budaya (cultural
configuration) yang mencerminkan jati diri bangsa. Secara empirik menjadi unsur pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu kemajemukan budaya juga menjadi modal
budaya (cultural capital) dan kekuatan
budaya (cultural power) yang
menggerakan dinamika kehidupan bangsa dan bernegara (Safa’at, 2015:
48).
Laporan
The
World Conservation Union (1997), dari
sekitar 6000 kebudayaan di dunia,
4000-5000 di antaranya adalah masyarakat adat. Ini berarti masyarakat adat
merupakan 70-80 persen dari semua masyarakat di dunia. Dari jumlah
tersebut sebagian besar
berada di Indonesia
yang tersebar di
berbagai kepulauan (Safa’at, 2013: 162). Salah satu masyarakat adat
yang masih eksis adalah suku osing yang terletak di
Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur.
Asal mula Suku Osing tidak
dapat dilepaskan dari Kerajaan
Blambangan, yaitu Kerajaan Hindu
yang terletak di
ujung timur Pulau Jawa. Banyak anggapan Suku Osing merupakan suku
pemberontak dan tidak dapat diatur, namun sebenarnya pada saat
itu Kerajaan Majapahit runtuh,
diwaktu yang sama
ajaran agama Islam mulai
datang sehingga suku
Osing melepaskan diri ke
wilayah timur, karena
ingin mempertahankan kepercayaannya. Suku osing banyak berdomisili di
desa Kemiren, desa ini memiliki letak strategis di wilayah perjalanan menuju ke
kawah Ijen. Desa ini memiliki luas 117.052 m2, memanjang 3 (tiga) kilometer
yang kedua sisi daerah utara dan selatannya
dibatasi oleh kedua
sungai, Gulung dan
Sobo yang mengalir dari arah barat ke timur. Pemukiman
suku ini berderat memanjang dari timur ke arah barat. Ditengah pemukiman
terdapat sebuah jalan yang cukup tinggi dengan daerah persawahan yang cukup banyak
(Wijaya dan Purwanto, tanpa tahun: 118).
Dalam
kehidupan bermasyarakat, Suku Osing berusaha untuk membangun hubungan baik
dengan komunitas dan
masyarakatnya. Mereka memiliki
prinsip hidup bermasyarakat bahwa
hubungan antarmanusia dalam masyarakat itu
harus baik. Hubungan baik ini dapat dibangun melalui berbagai cara
sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dijadikan sebagai pandangan hidupnya. Bagi
Suku Osing, hubungan antar manusia menduduki
tempat yang penting,
yakni menunjukkan sikap
yang selalu menjunjung tinggi
hubungan horizontal dengan
sesamanya (Suyitno, 2010: 163).
Sebagai suku yang dikelilingi oleh suku Jawa dan suku Madura. Suku Osing masih eksis dan mampu beradaptasi dan berkomunikasi dalam kehidupan bermasyarakat dengan suku-suku lain dalam aktivitas keseharian. Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik antar suku atau pun konflik dalam masyarakat osing itu sendiri.
Menurut
Bohanan, secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak
terpisahkan (inherent) dari kehidupan
manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak
multikultural (Safa’at,
2015: 48). Secara
sosiologis, konflik adalah pertentangan yang
ditandai oleh pergerakan
dari beberapa pihak
sehingga terjadi persinggungan,
konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik
antarkelompok (intergroup conpflict),
konflik antara kelompok dengan
negara (vertikal conflict). Konflik
antarnegara (interstate conflict),
setiap skala memiliki latar belakang dan perkembangannya, masyarakat
manusia di dunia pada dasarnya memiliki
sejarah konflik dalam
skala antara perseorangan sampai
antarnegara, konflik yang
bisa dikelola secara
arif dan bijaksana akan
mendinaminasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial
masyarakat dan tidak mengahadirkan kekerasan (Susan, 2009: xxiii-xxiv).
Penyelesaian konflik
dengan bijak membawa
perubahan pola pikir masyarakat dalam berinteraksi dengan
masyarakat lain. Untuk penyelesaian atau konflik/perselisihan
interpersonal conflict terutama sesama
warga, suku osing masih
memegang teguh kebudayaanya,
suku osing memiliki
sistem hukum tersendiri yang
tumbuh dan berkembang
untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang
terjadi di teritorial suku osing.
Penyelesaian sengketa atau perselisihan yang terjadi
lebih mengutamakan hukum
adatnya dibandingkan dengan
hukum negara, karena
politik pengaturan penyelesaian sengketa atau perselisihan menggunakan hukum
negara bersifat kaku
dan mengedepankan kepastian
undang-undang.
Meskipun kepastian hukum ternyata ada, maka kepastian hukum yang muncul kerapkali hanyalah berupa kepastian hukum yuridis atau teoritikal belaka. Karena di dalam praktik, baik instansi pemerintah ataupun lainnya belum tentu akan tunduk dan taat terhadap hukum. Kadang bahkan dapat dikatakan bahwa penataan pada hukum jarang atau sama sekali tidak ada. Antara perundang-undangan dengan kenyataan kita temukan adanya jurang yang lebar. Dengan kata lain, hanya ada sedikit kepastian hukum yang nyata (real legal certainty)(Irianto dkk, 2012: 121-122).
Metode Penelitian
Penelitian ini masuk dalam jenis
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, merupakan
penelitian yang bertujuan untuk melukiskan (menggambarkan) sesuatu permasalahan di
daerah tertentu atau
pada saat tertentu. Metode penelitian ini digunakan
untuk melukiskan secara
sistematis fakta atau
karakteristik populasi tertentu
atau bidang tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat. Metode
deskriptif bukan saja
menjabarkan (analitis), akan tetapi juga
memadukan. Bukan saja melakukan klasifikasi tetapi juga organisasi.
Metode penelitian deskriptif pada hakikatnya
adalah mencari teori
bukan menguji teori. Metode ini menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (Suteki
dan Galang Taufani, 2010:133-134).
Jenis penelitian
deskripsi yang digunakan
adalah metode survei,
menurut Moh. Nazir, metode
survei yaitu penyelidikan
yang dilakukan untuk
memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada untuk mencari keterangan-keterangan
secara faktual, baik tentang
institusi sosial, ekonomi
atau politik dari
suatu kelompok ataupun suatu
daerah (Suteki dan Taufani, 2010:133-134).
Dalam mengumpulkan
data-data, digunakan dengan
wawancara dialogik. Wawancara dilakukan
secara informal terhadap
3 (tiga) orang
yang dianggap mengetahui permasalahan dan kondisi suku
osing yang terbaru/up date yang akan diteliti. Sumber
yang pertama yaitu Suhaemi adalah ketua adat suku osing. Sumber yang kedua yaitu
Domitus Rato adalah akademisi/ahli sejajarah dan pemerhati suku osing. Sumber
yang ketiga yaitu Irwan adalah
Akademisi Universitas 17
Agustus Banyuwangi.
Kelemahan dalam pencarian data penelitian ini bersifat klasik yaitu keterbatasan waktu
yang dimiliki, namun
peneliti berusaha maksimal
dalam pencarian data yang terpercaya.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Dalam realitas
kehidupan masyarakat, konflik
sebagai fakta sosial merupakan suatu hal
yang pasti dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Adanya perbedaan status,
pandangan, kepentingan dapat dipastikan menjadi alat pemicu terjadinya konflik.
Penerapan
hukum dalam menghadapi realitas seperti itu harus mencari, menemukan dan membangun cara-cara
serta teknik tersendiri untuk bisa menjadi satu-satunya institusi penentu
dan penjaga ketertiban
dalam ruang kehidupan yang supra majemuk itu (Safa’at,
2015:163).
Teori
Pluralisme Hukum
Sebagai Negara mega cultural yang memiliki ratusan
kelompok etnis dan bahasa, sudah menjadi
konsekuensi logis adanya
kemajemukan dalam berinteraksi,
fakta tersebut adalah cerminan dari pluralism hukum. Kultur hukum dan
rotasi dan kondisi masyarakat yang beraneka
ragam ini akan
melahirkan pluralisme hukum
dalam masyarakat. Pluralisme hukum
dalam masyarakat adalah
kenyataan yang cukup banyak
dari para ahli
antropologi atau para
peneliti. Realitas yang
ada pada masyarakat yang
lebih luas dari
satu hukum yang
hidup dan juga
pranatanya Pengaturannya
dapat berjalan bersama-sama, namun
kadang kala terdapat pertentangan di
dalamnya, dalam ruang
pluralisme hukum, seseorang
dapat menggunakan lebih dari satu peraturan untuk merasionalisasi dan
melegitimasi atau prilaku mereka (Hamidi, dkk, 2013: 32).
Menurut John Griffiths, pluralisme hukum
secara umum didefiniskan sebagai suatu
situasi di mana dua atau lebih
sistem hukum bekerja secara berdampingan dalam suatu
bidang kehidupan sosial
yang sama, atau untuk menjelaskan keberadaan dua
atau lebih sistem
pengendalian sosial dalam satu bidang kehidupan. Menurut Hooker, suatau situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi
dalam satu kehidupan dan menurut F. Von Benda-Beckmann, suatu kondisi
dimana lebih dari
satu sistem hukum atau institusi bekerja
secara berdampingan dalam aktivitas-aktivitas dan hubungan-hubungan dalam satu kelompok masyarakat (Nurjaya, 2004: 10).
Memberikan
ruang pengakuan terhadap hukum yang hidup dan berlaku diluar hukum negara yang
sedang dilaksanakan, salah satunya yaitu hukum adat yang masih hidup dan berkembang ditengah berlakunya hukum
negara, inilah yang disebut
pluralisme hukum (Hamidi dkk, 2015: 37), dan kondisi ini disebut
pluralisme hukum yang
kuat (strong legal pluralism)
yaitu situasi ketika antar berbagai
sistem hukum melangsungkan interaksi yang tidak saling mendominasi alias sederajat (HuMa, 2005: 9). Atau menerangkan
terjadinya saling mengisi antar sesama sistem hukum dalam
kehidupan di masyarakat.
Teori
tentang pluralisme hukum sudah lama berkembang. Teori pluralisme hukum ini
bertentangan dengan teori Hans Kelsen dengan teori positivismenya yang menyatakan
bahwa hukum telah menetukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang
seharusnya berperilaku sesuai
pola yang ditentukan
atau dengan kata
lain orang harus menyesuaikan diri
dengan apa yang
telah ditentukan, disinilah
letak sifat normatif dari
hukum, keharusan dan
kewajiban mentaati hukum
karena telah ditentukan demikian,
bukan karena nilai
yang terkandung dalam
materi hukum sendiri.
Hans
Kelsen berpandangan bahwa hukum bersifat otonom tidak mencakup bidang lain atau
fenomena sosial yang tumbuh danberkembang dimasyarakat, maka ideologi yang
dikembangka oleh hans
Kelsen adalah hukum
sentralistik. Hukum sentralistik dijadikan sebagai bagi penguasan untuk
mempertahankan kekuasaannya dengan mengabaikan kepentingan umum.
Konsep
mengenai pluralisme hukum (legal
pluralisme) secara umum dipertentangkan
dengan ideologi sentralisme
hukum (legal centralism). Ideologi sentralisme hukum diartikan sebagai
suatu ideologi yang menghendaki
pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu-satunya hukum
bagi semua warga masyarakat, dengan mengabaikan keberadaan sistem-sistem hukum yang lain, seperti hukum agama (religius
law), hukum kebiasaan (customary law) dan juga semua bentuk
mekanisme pengaturan lokal
(inder-order mechanism) yang secara empiris hidup dan berkembang
dalam kehidupan masyarakat (Nurjaya, 2004: 10).
Menurut John
Griffiths pluralisme hukum
adalah suatu keniscayaan, sementara sentralisme hukum adalah suatu mitos, utopia, klaim dan
ilusi (HuMa, 2005: 74). Jadi secara
ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan
kultur dalam masyarakat, termasuk
di dalamnya norma-norma
lokal yang secara
nyata dianut dan dipatuhi
warga dalam kehidupan
bermasyarakat. (Suteki dan Taufani,
2018: 38).
Penggunaan
hukum adat dikarenakan hukum adat menurut Von Savigny adalah jiwa dari
masyarakat lokal dan hukum kehidupan yang sejati (Tanya dkk, 2013: 94). Senada
yang dikatakan oleh
E. Utrecht, supaya
perdamaian dalam masyarakat tetap
ada maka masyarakat membutuhkan petunjuk hidup (levesvooorschriften) yang
biasanya diberi nama kaidah (norma)
yang terdapat dalam hukum kebiasaan, adat istiadat,
agama dan kesusilaan. Oleh karena masyarakat justru
memerlukan petunjuk hidup,
maka petunjuk itu menjadi
gejala sosial, yakni suatu gejala yang terdapat dalam masyarakat (Fathurokhman,
2016: 29).
Hukum adat
bersifat
pragmatisme-realisme artinya mampu
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat
yang bersifat fungsional
dan religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi
sosial atau keadilan.
Menurut Djojodigoeno, hukum adat
mempunyai sifat yaitu: (1) Statis, hukum
adat selalu ada
dalam masyarakat; (2) Dinamis,
karena hukum adat
dapat mengikuti perkembangan
masyarakat; (3) Plastis/fleksibel, kelenturan hukum adat
sesuai dengan kebutuhan dan
keamanan masyarakat (Utomo, 2016: 7-8).
Teori Penyelesaian
Sengketa
Untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi di masyarakat adat dapat diselesaikan dengan cara adat melalui peradilan adat. Menurut Hilman, peradilan adat yaitu acara yang berlaku menurut hukum adat dalam memeriksa, mempertimbangkan, memutuskan atau menyelesaikan suatu perkara permasalahan adat (Hadikusuma, 1984: 116). Tujuan penyelesaian sengketa adat adalah untuk menjaga keseimbangan hidup masyarakat, apabila keseimbangan itu terganggu maka petugas-petugas hukum masyarakat harus berusaha mengembalikan keseimbangan itu (Hadikusuma, 1984: 21).
Hal
senada dikatakan oleh Suparman dalam Sakinah Safarina Putuhena dkk., bahwa setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu
keseimbangan tatanan masyarakat.
Oleh karena itu,
perlu diupayakan setiap sengketa dapat
diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan.
Agar
imbas dari penyelesaian sengketa/konflik
tidak meluas, maka harus
diidentikasi terlebih dahulu
jenis konflik. Menurut
Suadi dkk., jenis
konflik terbagi menjadi dua yaitu pertama dimensi vertikal atau “konflik atas”, yang dimaksud adalah
konflik antara elit
dan massa (rakyat),
kelompok bisnis atau aparat
militer, kedua yaitu konflik
horizontal, yakni konflik
yang terjadi di kalangan massa (rakyat) itu sendiri
(Susan, 2009: 21).
Penyelesaian
konflik tentunya menggunakan sistem hukum yang akrab, erat dan
mempunyai nilai-nilai yang
mencerminkan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai tersebut
tertuangkan dalam hukum yang hidup dimasyarakat dan menjadi pedoman
hidup masyarakat. Penyelesaian konflik/sengketa adat tergantung dari tipe budaya
hukum masyarakat tersebut. Tipe
Budaya Hukum di bagi menjadi 3 (tiga) yaitu, pertama, tipe budaya parokial (parochial culture), cara berpikir masyarakatnya masih terbatas,
tanggapan terhadap hukum hanya terbatas pada hukumnya sendiri, masyarakat
demikian masih kuat bertahan pada
tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hukum pantang
dirubah, kedua, tipe budaya subjek (subject culture), orientasi pandangan mereka terhadap aspek hukum
yang baru sudah ada
sikap menerima atau
menolak, walapun cara
pengungkapannya masih bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih
tersembunyi, ikut saja pada apa yang dikatakan oleh penguasa baik langsung atau
tidak langsung, ketiga budaya patisipan
(paticipant culture),
cara berpikir dan
berperilaku berbeda-beda, orang sudah mempunyai
kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama
dihadapan hukum, biasanya dalam masyarakat demikian pengetahuan dan pengalaman
anggota masyarakatnya sudah luas, ada perkumpulan atau organisasi (Hadikusuma, 2013: 54-58).
Untuk
menyelesaiakan permasalahan tersebut, menurut Robert, bahwa ada beberapa model
atau cara penyelesaian konflik dalam masyarakat baik masyarakat sederhana
maupun komplek/modern adalah sebagai berikut: (1) Negosiasi, melalui proses
kompromi antara pihak yang berkonflik, tanpa
mengundang pihak ketiga untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi
diantara mereka; (2) Mediasi, melalui kesepakatan diantara
para pihak guna melibatkan pihak
ketiga (mediator) dalam menyelesaikan
konflik, walau hanya berfungsi sebagai perantara (go-between) yang belaku
pasif, karena inisiatif dalam mengambil keputusan sebagai
wujud penyelesaian sengketanya tetap didasarkan
kepada kesepakatan para
pihak yang berkonflik saja; (3)
Arbitrase, merupakan penyelesaian konflik dimana para pihak bersepakat
untuk melibatkan pihak ketiga yang disebut arbitrator sebagai wasit
yang memberi keputusan sehingga keputusan tersebut wajib ditaati serta dilaksanakan oleh
para pihak yang
berkonflik; (4) Ajudikasi,
sebagai model penyelesaian sengketa
melalui institusi pengadilan yang keputusannya mengikat para pihak-pihak yang berkonflik
(Nurjaya, 2008: 78).
Lebih
lanjut I Nyoman Nurjaya mengatakan cara penyelesaian permasalahan yang terjadi
di masyarakat paling
tidak ada 2
(dua) macam yaitu:
(1) Institusi penyelesaian
konflik yang bersifat tradisional, yang bersumber dari sistem politik dan hukum
rakyat dan berlangsung secara tradisional (folk institutions); (2) Institusi
penyelesaian sengketa yang dibangun dari sistem politik dan hukum Negara (state intitutions) (Nurjaya, 2008: 78). Pilihan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
peradilan telah lama
digunakan dan dipraktekan
oleh masyarakat hukum
adat di Indonesia (Safa’at,
2016: 81). Pilihan ini
dilakukan dengan mempertimbangkan segala bentuk
efisiensinya dan sekaligus
menguntungkan bagi para
pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa yang diselesaikan dalam peradilan adat tidak
membedakan apakah itu pelangaran adat, agama,
kesusilaan, kesopanan. Kesemuanya akan
diperiksa dan diadili
oleh hakim adat
sebagai satu kesatuan perkara yang
pertimbangan dan keputusannya
bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang
mempengaruhinya (Hadikusuma, 1984: 22).
Lanjut
Hilman, di dalam masyarakat hukum adat sudah sejak lama sengketa-sengketa yang terjadi
diselesaikan secara musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat yang biasa disebut peradilan adat (Hilman
Hadikusuma, 1984: 22). Penyelesaian dengan musyawarah cerminan
dari hukum adat. Begitupun yang terjadi di
suku osing, penyelesaian sengketa/perselisihan
menggunakan hukum adat dibandingkan dengan hukum lain atau disebut juga soft pluralisme.
Terdapat
beberapa tahap dalam
penyelesian sengketa/perselisihan
di suku osing yaitu: (1) Pra Mediasi yaitu penyelesaian perselisihan para
pihak dimana, perwakilan keluarga para
pihak yang menjadi mediator; (2) Mediasi yaitu penyelesaian perselisihan para
pihak, dimana tokoh masyarakata menjadi mediator; (3) Litigasi yaitu penyelesaian
perselisihan menggunakan hukum negara.
Menurut
Dominikus Rato, Penyelesaian perselisihan di Suku Osing pada awalnya melalui
lembaga adat yaitu Lembaga Adat Masyarakat
Osing Kemiren (LAMUK). Namun seiring waktu lembaga ini sudah tidak difungsikan kembali. LAMUK tidak
lagi digunakan sebagai lembaga penyelesaian
perselisihan, hal ini bukan
dikarenakan tidak adanya sumber
daya manusia (SDM) untuk menyelesaiakan perselisihan,
namun dikarenakan sangat jarang terjadi perselisihan di suku osing, sehingga
fungsi LAMUK saat ini mengalami pergeseran makna yaitu hanya untuk
berkonsultasi bagi suku
osing yang akan
melakukan ritual-ritual kegiatan.
Tidak berfungsinya LAMUK bukan berarti penyelesaian perselisihan serta merta
menggunakan hukum negara,
tetap menggunakan hukum
adat dengan mengedepankan musyawarah.
Selama kurun waktu
40 tahun perselisihan
yang terjadi di suku
osing hanya 1
(satu) yang harus
diselesaikan melalui jalur
litigasi yaitu kasus waris.
Alur skema
penyelesaian sengketa dalam
hukum adat Osing
diselesaikan dengan beberapa tahap yaitu:
Para
pihak yang bertikai menyelesaikan secara musyawarah dan sebagai penengah (mediator) adalah para pihak dari
keluarga masing-masing yang dituakan. Jika tahap pra mediasi belum menemukan
solusi maka dilanjutkan dengan tahap Mediasi.
Tahap Mediasi
Para
pihak boleh memanggil orang lain sebagai mediator. Mediator yang ditunjuk tidak
harus kepala adat tetapi bisa tokoh adat yang dipercaya, memiliki pengetahuan yang luas
dan berwibawa. Menurut Irwan,
sesepuh adat dalam
suku osing terbagi menjadi dua
yaitu, orang tua
yang dituakan karena sudah
pengalaman dan orang muda yang dituakan karena ilmu
pengetahuan yang luas.Jika penyelesaian dengan tokoh adat sebagai mediator
tidak selesai maka, penyelesaian sengketa dilimpahkan ke pemerintahan
desa. Menurut Dominikus
Rato, penyelesaian ke
pemerintahan desa harus di selesaikan terlebih dahulu melalui satuan
perangkat desa yang paling kecil/bawah yaitu Rukun Tetangga (RT), jika masih
belum selesai maka dilanjutkan ke Rukun Warga (RW), namun jika masih belum ada
kata sepakat maka diselesaikan di balai desa, jika di balai desa masih belum
ada kata sepakat pula maka dilanjutkan dengan tahap Litigasi.
Tahap Litigasi
Tahap ini
sebenarnya adalah tahap yang
tidak diinginkan karena
penyelesaiannya menggunakan hukum
negara, jika perkara pidana maka di serahkan ke polisi, jika perkara
waris atau perceraian maka langsung ke pengadilan negeri atau agama.
Jika dilihat
dari alur skema
penyelesaian sengketa Suku Osing.
Telihat sederhana tetapi panjang
dalam proses. Sederhana
artinya penyelesaian sengketa
langsung mendatangkan mediator dan segera mencari solusi dengan
musyawarah. Terlihat panjang dalam
proses dikarenakan suku
osing mempunyai filosofi
hidup yaitu tetap menjaga kerukunan dan
keharmonisan masyarakat dengan penyelesaian musyawarah dan menghindari
penggunaan hukum negara. Menurut Suhaemi, jika terjadi
sengketa/perselisihan antar suku
osing dan penyelesaiannya menggunakan hukum negara,
maka masyarakat tersebut
mendapat stigma sebagai
masyarakat yang kurang baik.
Peran yang
paling menonjol dalam penyelesaian sengketa di suku osing adalah mediator, mediator harus bersikap
adil, mempunyai pengetahuan yang luas dan bijak dalam menyikapi permasalahan dari para pihak dan
mampu mendalami keinginan dari
para pihak. Mediator harus mempunyai solusi-solusi alternatif yang adil dan
bermakna sehingga perselesihan
dapat terselesaikan dengan
cepat dan menghasilkan solusi
yang tepat untuk kedua belah pihak.
Keunikan dalam
penyelesaian sengketa di
suku osing, dimana
mediator (hakim) adalah tokoh
adat bukan kepala adat,
hal ini tentunya
berbeda dengan di beberapa suku lain dalam penyelesaian
sengketa, seperti suku Baduy yang menjadi mediator penyelesaian permasalahan
adalah Puun atau jaro, suku Cisungsang
dan suku Cisitu mediator adalah pemangku adat.
Penyelesaian
sengketa yang diakhiri dengan musyawarah dapat memperkuat tradisi masyarakat
untuk menjaga kedamaian dan kerukunan masyarakat. Kebudayaan dan tradisi
tersebut mencerminkan nilai keadilan, kebersamaan serta asas keharmonisan yang
memberi pedoman agar tidak saling mengembangkan rasa permusuhan atau ketegangan
sosial, empati terhadap pihak yang lemah dan asas keseimbangan sosial.
PENUTUP
Simpulan
Konflik
di masyarakat merupakan suatu hal yang pasti, tidak dapat dihindari dalam kehidupan
bermasyarakat, namun setiap
masyarakat mempunyai cara tersendiri
untuk penyelesaiannya. Seperti Suku Osing, dalam penyelesaian permasalahan yang
terjadi sesama warga, warga suku osing
lebih mengutamakan
penggunaan hukum adat (soft pluralisme) yang mempunyai nilai-nilai kearifan
lokal dan lebih senang penyelesaian
dengan cara non litigasi (musyawarah)
dibandingkan cara litigasi.
Saran
Penyelesaian
sengketa di Suku Osing terkesan tidak tertata dengan baik dalam hal
kelembagaan. Oleh karena itu warga Suku Osing sebaiknya mengembalikan fungsi
Lembaga Adat Masyarakat
Osing Kemiren (LAMUK)
tidak hanya sebagai Lembaga konsultasi untuk
melakukan ritual tetapi
juga sebagai lembaga penyelesaianian sengketa karena
dengan berfungsinya LAMUK akan menjadi salah satu ciri khas suku osing dalam
ranah hukum.
DAFTAR ACUAN
Fathurokhman,
F.(2016). Hukum Pidana Adat Baduy
dan Pembaharuan Hukum Pidana.Depok: INCA Publishing.
Hamidi, J.dkk. (2015).
Demokrasi Lokal nurut
Masyarakat Baduy. Malang:
Nusantara.
Hadikusuma, H. (1984).
Hukum Pidana Adat.Bandung: Alumni.
______.(2013).
Antropologi Hukum Indonesia.cetakan ke-4.Bandung: Alumni.
HuMa.(2005).Pluralisme Hukum
Sebuah Pendekatan Interdisiplin.cetakan pertama. Jakarta:
Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasiskan Masyarakat dan Ekologis (HuMa).
Irianto, S. dkk.
2012. Kajian Sosio-Legal,
edisi pertama, Denpasar:
Pustaka Larasan.
Putuhena, S.S.dkk.
(th). Kewenangan Lembaga Adat dalam Penyelesaian Sengketa pada Masyarakat
Hukum Adat Maluku
Tengah. Makasar: Pascasarjana Unhas.
Nurjaya, I.N.
(2008). Pengelolaan Sumber Daya
Alam Dalam Perspektif Antropologi Hukum. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher.
Nurjaya, I.N.
(2004). “Perkembangan Pemikiran
konsep Pluralisme, Makalah disampaikan dalam konferensi
Internasional Tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam
di Indonesia yang
Sedang berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”,
Makalah. 11-13 Oktober 2004. Hotel santika Jakarta.
Suyitno, I. (2010).
Mengenal Budaya Etnik Melalui Pemahaman Wacana Budaya Budaya Etnik
Osing dalam Lagu
Daerah Banyuwangi Malang: A3
(Asah Asih Asuh).
Susan, N. (2009).
Pengantar Sosiologi Konflik.edisi revisi.Jakarta: Prenada Media Group.
Safa’at, R.dkk. (2015).
Relasi Negara dan Masyarakat Adat Perebutan Kuasa Atas Hak Pengelolaan
Sumberdaya Alam. Malang: Surya Pena Gemilang.
Safa’at, R. (2013).
Rekonstruksi Politik Hukum Pangan Dari Ketahan Pangan Ke Kedaulatan Pangan.
cetakan kedua.UB Press: Malang.
Suteki dan Taufani, G.
(2017). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik).Depok: PT
RajaGrapindo Persada.
Tanya, B.
L.dkk. (2013). Teori Hukum
Stategi Manusia Lintas
Ruang dan Generasi.Cetakan IV.
Yogyakarta: GENTA Publishing.
Utomo, L. (2016).
Hukum Adat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wijaya, P.Y. dan
Purwanto, S.A. (2017). “Studi
Rumah Adat Suku
Osing Banyuwangi Jawa Timur”,
Simposium Nasional RAPI XVI-2017
FT UMS ISSN 1412-9612.
Wawancara dengan Rato,
D. (2018). Audiensi Ilmiah tentang Keunikan Suku Osing, Universitas 17 Agustus
Banyuwangi, 15 Agustus 2018.
Wawancara dengan Suhaemi. (2018). Ketua Adat
Suku Osing, Studi
Ekskursi di Masyarakat Osing
Kemiren Banyuwangi 14 Mei 2018.
Wawancara dengan Irwan. (2018). Universitas 17 Agustus Banyuwangi, pukul 13.00 tanggal 15 Mei 2018.
Biodata Penulis:
M. Noor Fajar Al Arif
F., S.H., M.H.
Lahir di Tangerang, 31 Juli 1982, Jabatan fungsional Lektor, dosen di Fakultas
Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Dr. Jazim Hamidi, S.H.,
M.H. Lahir di
Banyuwangi, 16 November 1966, Jabatan fungsional Lektor Kepala, dosen di
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
____________________